Keliling Harlem dengan Jukung

Begitu keluar dari Jayapura, kami langsung paham kenapa sang pengemudi meminta biaya 800ribu rupiah untuk mengantar kami ke dermaga di Distrik Depapre. Perjalanan yang harusnya dua jam pun molor jadi tiga jam karena jalan berlubang serta jembatang ambruk. Sungguhlah, Kabupaten Jayapura masih perlu perbaikan infrastruktur.

Kapal untuk mengantarkan ke Harlem dapat dengan mudah ditemukan di Dermaga Depapre. Kami dikenakan biaya 350ribu rupiah untuk antar jemput. Kali ini, kami tak mau menawar lagi.  Kapal yang mengantarkan kami kapal berbahan viber, bermesin 40 pk, dan tak dilengkapi dengan safety vest. Selama menuju pantai saya komat-kami berdoa supaya nggak nyemplung ; ini gara-gara beberapa hari sebelum kami ke Harlem rombongan polisi yang lagi mancing di Sulawesi kapalnya terbalik dan mereka terkatung-katung selama beberapa jam.

Jarak tempuh menuju pantai cantik ini ternyata hanya 15 menit saja. Dari kejauhan saya sudah bisa melihat pasir super putih. Garis pantainya pun tak panjang dan bisa disusuri dalam jangka waktu beberapa menit saja. Soal kebersihan, pantai ini masih relatif bersih, walaupun di beberapa sudut sudah ditemukan sampah. 

Harlem

Sayangnya, baju renang ketinggalan, begitu juga dengan celana pendek. Sebagai orang Indonesia asli saya pun cuek aja masuk air dengan pakaian lengkap. Hari itu, di sisi pantai yang lain ada rombongan yang snorkeling ber-banana boat. Entah dari mana datangnya banana boat tersebut.

Miyeki dan teman-temannya

Lagi ngelamun di pinggir pantai, tiba-tiba dari kejauhan muncul dua jukung yang dikemudikan *apa sih kata kerjanya yang tepat?* anak-anak kecil, termasuk seorang anak TK. Mereka kemudian menepi dan bermain di pantai Harlem. Kesempatan bergaul dengan masyarakat lokal tak disia-siakan dan teman saya (yang tak mau basah karena lupa peralatan renang) sukses merayu Miyeki, seorang murid kelas empat SD yang baru pulang sekolah untuk mengantar kami berkeliling pantai dengan jukungnya.

Kata Miyeki, boleh saja berkeliling, tapi bayar. Ketika ditanya berapa, ia menjawab seratus ribu. Kami pun mengiyakan saja, walaupun ini namanya mempekerjakan anak di bawah umur. Ah setidaknya dia sudah pulang sekolah. Btw, pengemudi kami ngomel-ngomel karena kami ‘merusak harga pasar’. Keputusan kami untuk merusak harga pasar ternyata sangat tepat dan membuat kami terenyuh;  si bocah berkata: Uangnya untuk Bapa’. Sang Bapa’ bekerja sebagai nelayan.

Dibawalah kami mengelilingi Harlem naik jukung yang super kecil, tapi ternyata pas untuk pantat saya (I am not that big eh?). Miyeki juga menunjukkan kampungnya, serta memperkenalkan saya pada seekor anjing yang bisa berenang di laut. Dia juga berceloteh tentang ular besar yang ditemuinya di dalam laut. Ular ini yang bikin dia minggir ke pantai, karena dia ketakutan. Terimakasih ular!

Bahasa menjadi kendala buat saya, kami sama-sama berbicara bahasa Indonesia, bahkan saya  mencoba berbica Indonesia lurus, tanpa aksen dan dengan pemilihan kata yang resmi.  Bahkan saya mencoba keras untuk berdiskusi tentang bola, walaupun saya gak tahu apa-apa tentang bola. Hasilnya, tetap komunikasi kami nggak nyambung. Ternyata tak mudah berkomunikasi dengan Miyeki.

Miyeki

Di tengah laut si Miyeki berkata kalau dia sudah loyo. Dengan instruksi Miyeki pun saya dan teman pun bergantian mendayung. Bukannya ke tengah, kami malah semakin ke pinggir. Dududududu….anak kota kompetensinya beda dengan anak laut. Perjalanan kami memang jadi lebih menarik karena interaksi kami dengan Miyeki dan teman-temannya, walaupun mereka malu-malu dan bahasa kami sering nggak nyambung.

Ailsa in Jayapura

Memori harlem beach kemudian disempunakan dengan teriak nenek-nenek minta uang, bukan kepada kami sih, tapi kepada orang lain. Fenomena ini emang terjadi dimana-mana di Papua; tapi ya harap dipahami saja, mereka meminta karena mereka tak kebagian gula-gula pembangunan. Sementara harga pinang juga tak murah. Sebelum meninggalkan pulau itu, kami memberikan uang buat si nenek itu. Nggak wajib sih, tapi begitulah adatnya disana. Tak lupa saya bawa kembali sampahnya karena saya tak ingin pantai cantik ini dikotori sampah.

20140524_130030

 

Selamat berakhir pekan kawan, semoga weekend kalian seindah pantai ini!

Advertisement

Dikejar Oom-Oom di Pantai Base G

Pantai Base G konon merupakan salah satu pantai yang bayak disukai dan mudah diakses karena lokasinya tak jauh dari tengah kota. Selain terkenal karena keindahannya, pantai ini juga terkenal karena kemahalannya. Masuk ke lokasi pantai bayar sepuluh ribu, parkir kendaraan bayar lima puluh ribu, duduk di salah satu balai-balainya bayar – konon hingga dua ratus ribu, bahkan ada guyonan, sewa tikar bayar, nanti menggelar tikar sewaannya pun harus bayar.

 Senja di Base G

Kami tak berencana untuk duduk lama-lama di pantai itu, karena males dengan urusan bayar-membayarnya. Mobil sewaan kami tinggalkan dalam keadaan hidup, bersebelahan dengan mobil yaris warna merah. Baru juga kami meninggalkan mobil, kami sudah diteriaki dengan galak Bapak parkir. Mendadak, Oom-oom di mobil Yaris merah mengatakan pada pengemudi kami, dia yang akan atur semuanya. Melengganglah kami, tanpa prasangka apa-apa. Sementara bapak tukang parkir dipanggil Oom-oom dalam mobil, dan entah bagaimana, tiba-tiba si bapak yang galak itu tersenyum-senyum sambil menggangguk-angguk.

Konon pantai ini digunakan latihan lari pemain Persipura. Pasirnya bikin terjerembab kalau jalan kaki, lha jalan aja susah kok lari..

Ailsa in base G

Seperti di banyak tempat di Jayapura, pantai ini juga diwarnai oleh bekas ludah berwarna merah. Tak hanya itu, sampah pun merusak keindahan pantai ini. Sungguh disayangkan.

sampah di Base G

photo milik penulis

Nggak sampai sejam, kami pun kembali ke kendaraan. Masuk mobil, semuanya masih aman-aman. Begitu beranjak meninggalkan area parkir, pengemudi kami tiba-tiba memencet klakson dan melambai pada si mobil merah. Tiba-tiba mobil merah pun mengikuti kendaraan kami, mengejar rupanya. Eh maaf ya yang ngebayangin kejar-kejaran ala film India, kejar-kejarannya gak seheboh itu. Hadeuh, jadilah kami nyuruh si pengemudi untuk ngebut dan untungnya kami berhasil menghindari kejaran Oom-oom yang ternyata mabuk.

Kata pengemudi kami, orang-orang yang naik Yaris di Jayapura itu gaya doang, karena dengan struktrur berbukit gitu, mobil sedan nggak cocok. Biasanya mereka yang pakai sedan adalah pejabat yang gaya-gayaan doang. Baiklah, dicatat: kami dikejar Oom-oom dengan mobil merah yang mabuk dan gaya-gayaan doang. Tak apalah dikejar, nggak ketangkep juga, dan yang paling penting, kami gak bayar parkir di pantai base G. Lima puluh ribu bow!

Selain ke pantai base G, kami juga pergi ke Pantai Harlem; ini pantai tenang dan masih jarang terjamah. . Cerita tentang Harlem akan saya susulkan pada postingan berikutnya yah. Saya kasih intip bintang utama dari perjalanan saya di Harlem kemarin ya, Miyeki dan kapal kecilnya:

Miyeki Harlem

 

 

Gado-Gado dari Jayapura

Saya ingat di acara Skyscanner Dodid Wijanarko, seorang pembuat film dokumenter, pernah bilang bahwa pantai dari ujung barat Papua sampai ujung timur Papua itu sama aja, yang membedakan itu orang-orangnya. Jadi, sebelum saya menuliskan pengalaman dikejar Oom-oom di pantai di Papua, ijinkan saya (duile bahasanya, kalau gak diijinin gimana?) untuk bertutur sekilas tentang Papua dan orang Papua. Beberapa hal random tentang Papua ini saya kumpulkan dari berbincang dengan seorang Antropolog, masyarakat yang saya temui selama beberapa hari di sana dan dari mengobservasi. Silahkan mengkoreksi jika ada yang salah, tapi koreksinya yang sopan ya.

Menjadi PNS

Orang Papua, kata Pak Gubernur termarginalisasi di tanahnya sendiri, perdagangan banyak dikuasai oleh pendatang dari Makassar, Ambon, ataupun Jawa. Soal pertambangan apalagi, tapi gak usah dibahas deh ya. Menariknya, orang pendatang, terutama generasi kedua yang lahir dan besar di Papua, juga banyak yang merasa terdiskriminasi. Mereka tak punya ikatan dengan tempat asal orang tuanya, tapi di tempat mereka lahir dan besar, mereka tak dianggap sebagai putra daerah. Alhasil, timbul kesulitan mendapatkan pekerjaan di kantor-kantor pemerintahan, alias menjadi PNS, karena orang Papua lebih diprioritaskan. Kalau gak diprioritaskan, apa mereka gak tambah terdiskriminasi?

Prostitusi dan HIV/AIDS

Saya emang agak ajaib, tiap kali mengunjungi suatu tempat selalu ingin tahu apakah ada tempat prostitusi. Lokasi prostitusi di Papua bersebelahan dengan danau Sentani yang cantik. Disini, penggunaan kondom wajib 100%. HIV/AIDS di Papua itu memang paling tinggi di negeri ini, jadi tak heran kalau kondom hukumnya wajib. Para pekerja seksual disini didatangkan dari luar Papua, termasuk Sulawesi, Jawa, bahkan ada yang dari Malang.

100% kondom

Ngomong-ngomong tentang HIV/AIDS ada satu project photo yang dikerjakan oleh Adrian Tambunan, judulnya Against All Odd. Saya kebetulan punya bukunya, buku photo tersebut merekam photo-photo tentang orang Papua dan HIV/AIDS. Sumpah bakalan nangis ngeliat photo-photo tersebut, karena bener-bener menyayat hati (saya emang cengeng).

Orang asli Papua

Saya inget banget jaman saya getol belajar Antropolog (bahkan bela-belain beli bukunya Koentjoroningrat & jadi satu-satunya murid yang punya buku ini), kalau suku bangsa orang Papua itu beda dari orang Afrika. Suku bangsa mereka adalah Melanesia.  Saking senengnya, dulu saya bahkan njelimet ngapalin aneka rupa upacara, yang saya ingat, di salah satu wilayah Papua, ada proses penguburan/ pembakaran mayat dimana posisi jenazah diposisikan seperti posisi bayi dalam rahim. Guru Antropologi saya, Ibu Anoek, bilang: datang dan berpulang dalam posisi yang sama.

Di Papua sendiri ada 250 suku bangsa di Papua dan mereka dipisahkan dalam enam wilayah adat. Bahasa adat suku yang satu dengan suku yang lain juga berbeda, tetanggaan pun bisa berbeda bahasa. Makanya mereka menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu, kendati tak semuanya bisa berbahasa Indonesia.

sebaran wilayah dan bahasa

Hayo dimanakah orang pohon itu berdiam?

Dua suku katanya mendapatkan benefit langsung dari Freeport, Kamoro dan Amungme. Kalau saya tak salah mengingat selain Kamoro dan Amungme ada beberapa suku lain yang mendapatkan benefit. Katanya lho ini, kebenarannya nggak tahu. Btw, sekelumit cerita tentang Kamoro dan tifa bisa dibaca disini.

Masih menurut sang Antropolog, orang Papua, punya kepercayaan bahwa suatu hari orang kulit putih akan datang membawa kebahagiaan, makanya misionaris diterima dengan baik oleh mereka. Tapi saya lupa nanya, suku yang mana yang punya mitologi ini, karena Rockefeller yang berkulit putih pun mati di tanah Papua.

Menariknya, orang Papua gak kenal koteka, bagi orang Papua, penutup penis itu disebut sebagai honim. Saya membeli sebuah honim, yang ternyata labu yang dikeringkan, harganya 80 ribu untuk yang besar dan sekitar 60 ribu untuk ukuran kecil. Konon besar atau kecil, panjang atau pendek tidaklah melambangkan sesuatu.

Entah oleh siapa, di Papua orang-orang juga dipisahkan menjadi orang pantai dan orang gunung. Konon orang pantai lebih ramah ketimbang orang gunung. Orang gunung katanya kakinya lebar, entah apa maksudnya, dan temperamental. Ini pelabelan yang bagi saya terdengar tidak baik. Buat saya, mereka terlihat sama, sama-sama orang Papua dan sama-sama orang Indonesia. Oh ya, orang Papua menurut saya sangatlah ramah, karena orang yang tidak kita kenal pun menyapa “Selamat Sore, Selamat Siang” dan ini gak cuma anak-anak kecil lho, tapi juga orang dewasa.

Di Papua, tradisi mengunyah pinang masih merupakan bagian dari keseharian masyarakat. Pedagangnya bisa ditemukan dimana-mana, begitu juga dengan liur merahnya. Liur ini menempel dimana-mana, bahkan di pantai. Jorok banget ya dan sedihnya, warna ini tampak tak bisa hilang. Yang ngunyah pinang nggak cuma orang tua lho, anak-anak muda juga ngunyah pinang. Padahal ngunyah pinang itu ternyata berisiko bikin kanker mulut dan juga jadi media penyebaran TBC.

Jayapura

Oh ya ada yang lucu, pejabat-pejabat di Jayapura itu rumahnya di kawasan Angkasapura, tapi wilayah ini lebih sering disebut Angkasa. Pejabat tinggal di angkasa, jadi ya jangan heran kalau susah banget ngeraih mereka.

Mahal

Kendati harga bensin di Jayapura sama dengan harga di Jakarta, beberapa hal, terutama pakaian dan makanan masihlah mahal. Katanya kemahalan ini karena semua barang dikirim dari luar Jayapura, termasuk beras. Lha terus apa yang diproduksi di Jayapura?

Mahal itu mungkin juga disebabkan karena struktur Kota Jayapura yang berbukit-bukit dan infrastrukrur yang begitulah. Bandaranya ada di atas, dekat danau Sentani, sementara kota Jayapuranya di pinggir laut. Kontur tanahnya rawan longsor (ya karena berbukit-bukit), konon, kalau mau bikin jalan, bukit-bukit itu harus di bom dulu. Nggak heranlah kalau apa-apa mahal, saking mahalnya taksi dari bandara ke Hotel aja lima ratus ribu rupiah. Hadeuh…..Tapi, biarpun jalanannya naik turun, bahkan ada tanjakan yang kira-kira 50 derajat, orang-orang Jayapura saya lihat semangat lari sore-sore. Demi apa lari-lari di bukit, itu dengkul apa nggak sakit ?