Saya ingat di acara Skyscanner Dodid Wijanarko, seorang pembuat film dokumenter, pernah bilang bahwa pantai dari ujung barat Papua sampai ujung timur Papua itu sama aja, yang membedakan itu orang-orangnya. Jadi, sebelum saya menuliskan pengalaman dikejar Oom-oom di pantai di Papua, ijinkan saya (duile bahasanya, kalau gak diijinin gimana?) untuk bertutur sekilas tentang Papua dan orang Papua. Beberapa hal random tentang Papua ini saya kumpulkan dari berbincang dengan seorang Antropolog, masyarakat yang saya temui selama beberapa hari di sana dan dari mengobservasi. Silahkan mengkoreksi jika ada yang salah, tapi koreksinya yang sopan ya.
Menjadi PNS
Orang Papua, kata Pak Gubernur termarginalisasi di tanahnya sendiri, perdagangan banyak dikuasai oleh pendatang dari Makassar, Ambon, ataupun Jawa. Soal pertambangan apalagi, tapi gak usah dibahas deh ya. Menariknya, orang pendatang, terutama generasi kedua yang lahir dan besar di Papua, juga banyak yang merasa terdiskriminasi. Mereka tak punya ikatan dengan tempat asal orang tuanya, tapi di tempat mereka lahir dan besar, mereka tak dianggap sebagai putra daerah. Alhasil, timbul kesulitan mendapatkan pekerjaan di kantor-kantor pemerintahan, alias menjadi PNS, karena orang Papua lebih diprioritaskan. Kalau gak diprioritaskan, apa mereka gak tambah terdiskriminasi?
Prostitusi dan HIV/AIDS
Saya emang agak ajaib, tiap kali mengunjungi suatu tempat selalu ingin tahu apakah ada tempat prostitusi. Lokasi prostitusi di Papua bersebelahan dengan danau Sentani yang cantik. Disini, penggunaan kondom wajib 100%. HIV/AIDS di Papua itu memang paling tinggi di negeri ini, jadi tak heran kalau kondom hukumnya wajib. Para pekerja seksual disini didatangkan dari luar Papua, termasuk Sulawesi, Jawa, bahkan ada yang dari Malang.
Ngomong-ngomong tentang HIV/AIDS ada satu project photo yang dikerjakan oleh Adrian Tambunan, judulnya Against All Odd. Saya kebetulan punya bukunya, buku photo tersebut merekam photo-photo tentang orang Papua dan HIV/AIDS. Sumpah bakalan nangis ngeliat photo-photo tersebut, karena bener-bener menyayat hati (saya emang cengeng).
Orang asli Papua
Saya inget banget jaman saya getol belajar Antropolog (bahkan bela-belain beli bukunya Koentjoroningrat & jadi satu-satunya murid yang punya buku ini), kalau suku bangsa orang Papua itu beda dari orang Afrika. Suku bangsa mereka adalah Melanesia. Saking senengnya, dulu saya bahkan njelimet ngapalin aneka rupa upacara, yang saya ingat, di salah satu wilayah Papua, ada proses penguburan/ pembakaran mayat dimana posisi jenazah diposisikan seperti posisi bayi dalam rahim. Guru Antropologi saya, Ibu Anoek, bilang: datang dan berpulang dalam posisi yang sama.
Di Papua sendiri ada 250 suku bangsa di Papua dan mereka dipisahkan dalam enam wilayah adat. Bahasa adat suku yang satu dengan suku yang lain juga berbeda, tetanggaan pun bisa berbeda bahasa. Makanya mereka menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu, kendati tak semuanya bisa berbahasa Indonesia.
Dua suku katanya mendapatkan benefit langsung dari Freeport, Kamoro dan Amungme. Kalau saya tak salah mengingat selain Kamoro dan Amungme ada beberapa suku lain yang mendapatkan benefit. Katanya lho ini, kebenarannya nggak tahu. Btw, sekelumit cerita tentang Kamoro dan tifa bisa dibaca disini.
Masih menurut sang Antropolog, orang Papua, punya kepercayaan bahwa suatu hari orang kulit putih akan datang membawa kebahagiaan, makanya misionaris diterima dengan baik oleh mereka. Tapi saya lupa nanya, suku yang mana yang punya mitologi ini, karena Rockefeller yang berkulit putih pun mati di tanah Papua.
Menariknya, orang Papua gak kenal koteka, bagi orang Papua, penutup penis itu disebut sebagai honim. Saya membeli sebuah honim, yang ternyata labu yang dikeringkan, harganya 80 ribu untuk yang besar dan sekitar 60 ribu untuk ukuran kecil. Konon besar atau kecil, panjang atau pendek tidaklah melambangkan sesuatu.
Entah oleh siapa, di Papua orang-orang juga dipisahkan menjadi orang pantai dan orang gunung. Konon orang pantai lebih ramah ketimbang orang gunung. Orang gunung katanya kakinya lebar, entah apa maksudnya, dan temperamental. Ini pelabelan yang bagi saya terdengar tidak baik. Buat saya, mereka terlihat sama, sama-sama orang Papua dan sama-sama orang Indonesia. Oh ya, orang Papua menurut saya sangatlah ramah, karena orang yang tidak kita kenal pun menyapa “Selamat Sore, Selamat Siang” dan ini gak cuma anak-anak kecil lho, tapi juga orang dewasa.
Di Papua, tradisi mengunyah pinang masih merupakan bagian dari keseharian masyarakat. Pedagangnya bisa ditemukan dimana-mana, begitu juga dengan liur merahnya. Liur ini menempel dimana-mana, bahkan di pantai. Jorok banget ya dan sedihnya, warna ini tampak tak bisa hilang. Yang ngunyah pinang nggak cuma orang tua lho, anak-anak muda juga ngunyah pinang. Padahal ngunyah pinang itu ternyata berisiko bikin kanker mulut dan juga jadi media penyebaran TBC.
Oh ya ada yang lucu, pejabat-pejabat di Jayapura itu rumahnya di kawasan Angkasapura, tapi wilayah ini lebih sering disebut Angkasa. Pejabat tinggal di angkasa, jadi ya jangan heran kalau susah banget ngeraih mereka.
Mahal
Kendati harga bensin di Jayapura sama dengan harga di Jakarta, beberapa hal, terutama pakaian dan makanan masihlah mahal. Katanya kemahalan ini karena semua barang dikirim dari luar Jayapura, termasuk beras. Lha terus apa yang diproduksi di Jayapura?
Mahal itu mungkin juga disebabkan karena struktur Kota Jayapura yang berbukit-bukit dan infrastrukrur yang begitulah. Bandaranya ada di atas, dekat danau Sentani, sementara kota Jayapuranya di pinggir laut. Kontur tanahnya rawan longsor (ya karena berbukit-bukit), konon, kalau mau bikin jalan, bukit-bukit itu harus di bom dulu. Nggak heranlah kalau apa-apa mahal, saking mahalnya taksi dari bandara ke Hotel aja lima ratus ribu rupiah. Hadeuh…..Tapi, biarpun jalanannya naik turun, bahkan ada tanjakan yang kira-kira 50 derajat, orang-orang Jayapura saya lihat semangat lari sore-sore. Demi apa lari-lari di bukit, itu dengkul apa nggak sakit ?