Sekali lagi, Tradisi Natal di Irlandia

Kendati baru dua tahun di Irlandia, Natal ini menjadi Natal ke empat saya di sini. Selama empat kali Natal di sini, saya melihat begitu banyak tradisi yang menarik dan setiap tahunnya ada saja sesuatu yang baru.

View this post on Instagram

Good morning from Henry Street #Dublin.

A post shared by Ailsa Dempsey (@binibule) on

Penyalaan Lampu

Tradisi sederhana untuk pergi ke kota dan melihat lampu hiasan Natal dinyalakan. Jalanan-jalanan utama di kota Dublin dipenuhi para peminat lampu ini. Pemerintah tentunya membuat acara ini jauh lebih meriah dengan aneka penampilan. Bagi saya sendiri tradisi ini engga banget, karena cuaca yang sangat dingin. Lagipula ketika lampu sudah dinyalakan, kita masih bisa melihat meriahnya kota.

Tapi bagi mereka yang sudah memiliki anak, tradisi ini menjadi tradisi penting, untuk mengenalkan “keajaiban Natal” bagi anak-anak.

Jendela toko

Ini tradisi saya, tiap tahun saya melihat jendela dua toko besar di Dublin, Brown Thomas dan Arnott’s yang memasang jendela edisi Natal. Jendela toko-toko ini menarik banget dan dipenuhi dengan ornament-ornamen khas Natal ataupun manekin dengan pakaian yang meriah.

Tiap tahun saya selalu menyempatkan diri untuk melihat jendela-jendela ini, karena ingin tahu ide-ide para tim kreatif. Kadang sambil iseng lihat jendela ini, saya sambil ngitung berapa biaya yang dikeluarkan toko-toko tersebut, ah tapi toh semuanya akan terbayar ketika profit melejit tajam.

Misa Tengah Malam & Misa anak-anak

Tiap tahun, menjadi tradisi di keluarga pasangan saya untuk pergi ke gereja di tengah malam. Misa Tengah malam ini sangat syahdu dan berlangsung sekitar satu jam. Tak seperti di Indonesia dimana orang berdandan cantik untuk datang ke rumah ibadah, di sini orang-orang yang pergi misa mengenakan pakaian kasual saja dan membungkus diri dengan jaket tebal karena hawa yang dingin.

Misa anak sendiri saya hadiri untuk pertama kalinya tahun kemarin. Saat misa ini sang pastor banyak berinteraksi dengan anak-anak dan tentunya membahas Santy Klaus (Santa) dan hadiah yang akan dia bawa. Tentunya sang Pastur mengingatkan esensi Natal sebagai sebuah hari keagamaan.

Late Late Toy Show

TVRInya Irlandia itu bernama RTE dan menjelang Natal mereka selalu memutar episode khusus tentang mainan. Episode ini paling dinanti oleh satu Irlandia, karena anak-anak ini luar biasa lucunya, apalagi mereka yang tinggal di pedesaan.

Acara ini juga suka memberi kejutan. Menariknya, reaksi anak-anak yang diberi kejutan ini seringkali bikin ketawa. Dari bengong doang sampai reaksi mengharukan. Saya sendiri baru empat Natal di Irlandia, jadi belum punya banyak favorite. Tapi edisi kejutan dari Ed Sheeran dan kejutan Bapak yang pulang dari penugasan di Afrika jadi favorit saya.

Ada yang spesial dari Late Late Toy Show tahun ini. Tahun ini untuk pertama kalinya Angklung dan dua anak Indonesia, yang juga kembar, ikut dalam acara ini. Sebagai orang Indonesia (dan komunitas Indonesia di sini kecil), saya rasanya bangga luar biasa. Silahkan di klik video di bawah ini untuk melihat angklung:

 

Penutup

Natal tahun ini, untuk pertama kalinya saya akan terlibat dalam urusan dapur, biasanya saya tak pernah masak apapun dan tahu beres. Tahun ini saya akan menyajikan gado-gado. Di samping gado-gado, saya juga berambisi menyajikan kroket serta risoles untuk snack. Panganan ini setidaknya tak terlalu kaya bumbu dan semoga cocok dengan keluarga besar. Mungkin lebih tepatnya, semoga saya berhasil membuat dan menyajikannya. #Ambisius. Nanti kalau berhasil fotonya akan saya upload di Instagram ya.

Bagaimana dengan kalian, punya rencana apa di liburan Natal tahun ini?

xx,
Tjetje

Advertisement

Basa-basi Sudah Busuk

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, basa-basi berarti

ba.saba.si
Nomina (kata benda)
(1) adat sopan santun; tata krama pergaulan: tidak tahu di basa-basi; hal itu dilakukan hanyalah sebagai basa-basi dalam pergaulan ini;
(2) ungkapan yang digunakan hanya untuk sopan santun dan tidak untuk menyampaikan informasi, misalnya kalimat “apa kabar?” yang diucapkan apabila kita bertemu dengan kawan;
(3) perihal menggunakan ungkapan semacam itu

Menarik sekali melihat bahwa basa-basi merupakan bagian dari tata krama pergaulan ataupun adat sopan santun. Sayangnya tidak terjadi penjelasan lebih lengkap kalimat basa-basi mana yang dianggap sopan dan santun, serta mana yang tidak sopan. Di masyarakat kita, bertanya tentang hal-hal pribadi dianggap sebagai hal yang wajar dan normal. Tapi seiring dengan perkembangan jaman, terjadi pergeseran nilai-nilai sopan santun dalam masyarakat. Dari pengamatan saya, ada banyak kalimat basa-basi yang tadinya dianggap biasa saja sudah menjadi busuk, tak ideal dan tak pantas lagi untuk ditanyakan, bahkan untuk basa-basi sekalipun. Saya mencoba merangkum pertanyaan tersebut menjadi beberapa bagian:

Bicara tentang tubuh

“Kamu gemukan ya sekarang?”

“Wah kamu kok kurus banget sih gak dikasih makan sama suami ya?”

“Ih yang sudah kawin sekarang sehat ya, cocok ya susunya?”

Alih-alih bertanya apa kabar, seringkali orang membuka pembicaraan dengan komentar yang kurang baik tentang tubuh orang yang ditemuinya. Dari mulai gemuk, kurus hingga berkomentar tentang hal-hal yang kurang pantas. Pertanyaan ini sudah tak layak dan tak sopan lagi menjadi bahan pemecah keheningan, karena banyak cerita dibalik tubuh kurus maupun tubuh gemuk. Dari mulai metaboslime tubuh, kelainan hormon, permasalahan psikologis atau bahkan tanpa cerita.

Tapi ada orang-orang yang tidak cuek terhadap hal seperti ini. Dibilang gendut bisa membuat orang malas makan atau bahkan memuntahkan makanan. Bagi sebagian orang contoh ini terdengar berlebihan, tapi kejadian seperti ini terjadi.

Bicara tentang status

“Eh gimana sudah punya pacar? Nunggu apa lagi ayo cepet diresmikan!” Gundulmu, duit buat kawinan gak datang dari langit.

Mimpi buruk bagi semua orang yang masih belum punya pasangan dan yang memiliki pasangan tetapi belum resmi kawin adalah pertanyaan kapan kawin. Ini standar basa-basi bagi para Tante, Tante, Tante, Tante dan Oom (Kebanyakan Tante yang nanya daripada Oom). Niat awalnya iseng-iseng, memecah keheningan, tapi seringkali pertanyaan ini diberi bumbu-bumbu pelengkap yang pedasnya ngalahin cabe. Apalagi kalau ditambahin: “jangan lama-lama,  perempuan kalau kelamaan nanti susah hamil lho”. Eh emangnya situ Tuhan apa.

Basa-basi sederhana ini seringkali berubah menjadi teror sosial, karena kebanyakan ditanyakan orang. Akibatnya mereka yang sering menjadi korban basa-basi ini jadi malas berkumpul dengan keluarga. Sebagian dari emreka memilih untuk berkumpul dengan teman atau bahkan di rumah saja daripada diteror.

Bicara tentang anak

“Ailsa, anakmu sudah berapa?”

Kalimat di atas adalah kalimat pertama yang ditanyakan seorang teman lama saya ketika pertama kali bertemu. Dia tak bertanya tentang kabar, apakah saya sehat ataupun di mana saya tinggal sekarang. Rasanya kalau tak ingat norma-norma kesopanan saat itu saya ingin sekali nyerocos dan berkata bahwa saya masih terlalu muda untuk punya anak, masih ingin bekerja dan menikmati hidup sebagai perempuan lajang. Tapi ketika itu saya terlalu malas menanggapi.

Pertanyaan tentang anak dan kehamilan menjadi mimpi buruk bagi banyak pasangan.“Sudah isi” menjadi pertanyaan standard basa-basi bagi kebanyakan orang. Sama dengan pertanyaan kapan kawin, pertanyaan ini berubah menjadi momok dan bagian dari teror sosial. Kendati dianggap normal, bagi saya tak sepatutnya kita bertanya tentang kehamilan, kecuali jika yang bersangkutan sudah siap untuk mengumumkan. Ada banyak alternatif hal yang bisa dibahas ketimbang kehamilan, dari soal kemacetan sampai harga tomat di pasar. Lebih baik membahas hal tersebut daripada melukai dan menyinggung orang lain.

Yang sudah punya anak pun pasti kebagian basa-basi yang sudah busuk, salah satunya membanding-bandingkan kemampuan anak  orang lain dengan anak atau cucu sendiri. Komentar seperti “Lho kok terlambat jalan, cucu saya umur segini sudah jalan?”. “Lho kok belum bisa ngomong, biasanya balita umur segini sudah bisa ngoceh.” Lho Tante, bayi satu dan bayi lainnya itu kan gak sama.

Basa-basi lain yang buntutnya sering panjang dan akhir-akhir ini menjadi trend di di Indonesia adalah menanyakan tentang ASI atau susu formula. Bagus sih ada sistem sosial untuk mendorong ibu-ibu memberikan ASI, tapi kan gak semua ibu bisa dan mau memberikan ASI. Jadi ya kalau emang maunya basa-basi busuk, gak usahlah memperpanjang pertanyaan dengan penghakiman dan memberi kuliah panjang tentang manfaat ASI bagi mereka yang memberi susu formula.

2012-12-05-a89aa90

Picture belongs to RyanDow.com

Basa-basi Indonesia ada banyak, dari yang sekedar basa-basi tak penting seperti mau kemana?, atau mau sekolah ya? (padahal sudah jelas pakai baju seragam) hingga yang intrusif seperti beberapa basa-basi di atas. Sang penanya biasanya tak terlalu serius bertanya, tapi jadi merasa perlu bertanya ketimbang tak ada yang dibicarakan. Basa-basi ini kemudian merembet dan seringkali berakhir dengan menyakiti dan melukai hati orang lain. Jadi, sebelum berbasa-basi dengan orang lain, mendingan direm dulu deh mulutnya.

Basa-basi lain yang sudah busuk apa ya?

Have a nice weekend!

Tjetje

Thing Indonesians Like: Massage

Indonesians love massage [not all Indonesians though], that it might need to be included in our basic needs along with the food, shelter and clothing. The country itself is a heaven for massage proven by the massage parlors that spreading around the cities and house call massage that available 24/7 at an affordable price. The parlors offer different range of massages, from traditional to weird (like snake body massage). They also offer the happy-ending massage (we call them massage plus plus), but in my opinion, all massage should be called happy ending, if it not making the patron happy, then the do not bother to pay.

For Indonesians, massage must be introduced at tender age. A visit to Dukun Pijat Bayi (massage therapist for baby), for the first massage, could take place when the baby is only few days old. There is a belief that the younger babies introduced to massage, the bigger the chance to love it.

Massage is not only for relaxation, but also belief to be the remedy for any illness. Stroke, broken bone and cancer are only few illnesses than can be cure by massage therapist.  People who are ill believe that massage works better than the doctor. Not to mention that the fee of the therapist is less expensive than the medical doctor.

Massage also helps women to conceive. The massage therapist who is specialized on pregnancy focuses to move the position of the womb to be closer with the vagina and allow the sperm to run a shorter track. I know this might not be so logical for doctor. In my opinion, massage is not the only thing that woman needs; she also needs to practice, practice and practice and at the same time the man has to ensure the quality of his sperm.

Women are not the only one benefited from massage because it is beneficial for men and their ‘best buddy’. Mak Erot (Mrs. Erot) was once praised for her help to enlarge man most vital part, not the brain, but their manhood. What I learned from Google, she massaged the penis and like magic, it grew bigger. Mak Erot passed away few years ago. Her departure, I am sure, regretted by a lot of men who did not have the chance to enjoy her magical hands.

Most of Dukun Pijat Bayi, if not all, are not certified therapists. They got their massage skills from the other therapist or from their parents. There are also Dukun Pijat Tiban, which got the ability to massage from the ‘sky’; the ability falls from the sky. Hence the name tiban (Javanese. Something that falls from somewhere; out of the blue). We should all be grateful that Indonesia only have Dukun Tiban and do not have Doctor Tiban, nor President Tiban.

People also attend courses to be a massage therapist; some of them are people with visual impairments. Despite the fact that people with visual impairment can do almost everything, Indonesian educational system underestimated and prevented them to study other subjects. Thankfully, things are changing now.

The weirdest massage in my life happened years ago when I had a back pain. I was recommended to have a massage session with an old lady who, according to what people say, has special power. I followed their suggestion and ended with a regret. The lady spitted on my back without my consent. The spittle, for sure, did not relieve me for any back pain but I do believe she has power. She made me pay, 5 dollars, for the awful service, that’s how powerful she is.

Massage is our basic need. If one could not afford it then one can seek help from other. So do not be surprised if you see a person massaging someone else’s shoulder at the parking lot. They are just fulfilling their basic need!

liberty

Budaya keseharian masyarakat Irlandia

Seperti biasa kalau mati ide saya suka lihat-lihat search term untuk mencari ide. Rupanya minggu lalu ada yang mencari tahu tentang keseharian masyarakat Irlandia. Berbeda dengan Indonesia yang bermandikan matahari, Irlandia disiram hujan setidaknya terjadi dua kali dalam seminggu. Hujan pertama bertahan selama tiga hari, selama hujan kedua bertahan selama satu minggu. Negeri itu memang kesiram hujan 366 kali selama setahun, tak heran jika budayanya berbeda dengan negeri kita, walaupun ada juga kebiasaan yang mirip dengan kita.

Nongkrong

Orang Indonesia hobinya nongkrong rame-rame sambil nyari Wifi gratisan, terus sibuk ngobrol lewat messenger cek sosial media atau malah mainan Hay Day. Eh. Nah, di Irlandia, budaya nongkrong lama-lama di pelataran minimarket itu gak ada, tapi budaya nongkrongnya punya dong. Mereka nongkrong di depan café pada saat matahari bersinar saat musim panas ataupun musim gugur, berjemur ceritanya. Tak hanya  di café orang Irlandia juga gemar nongkrong di taman sambil ngasih makan bebek & burung (ini mah saya) atapun baca buku. Gak cuma orang Irlandia yang hobi nongkrong di taman, orang-orang di belahan dunia lain yang beruntung punya ruang publik (taman) juga gemar berleha-leha di taman.

Tempat  nongkrong lainnya? di pub dong, sambil menikmati musik, nonton pertandingan olahraga, atau hanya ngobrol-ngobrol. Tanpa laptop, ipad, gadget dan juga power bank di atas meja. Penikmat nongkrong ini tak hanya anak muda, tapi juga orang-orang tua.

Minum teh

Orang Irlandia gemar banget minum teh atau kopi di Café ditemani scone atau cake. Setelah ngeteh, ngobrol-ngobrol ini itu, mereka pada cabut. Nggak lama-lama kalau nongkrong. Soal teh, walaupun tak punya upacara minum teh orang Irlandia konsumsinya tinggi banget. Kalau menurut website ini sih nomor dua di dunia. Ya gimana gak nomor dua kalau mereka jarang minum air putih dan selalu minum teh. Gak heran kalau gigi-gigi orang Irlandia itu pada kecoklatan terkena tannin dari teh. Oh ya, di Irlandia, teh dicampur dengan susu segar dan disajikan tanpa gula.

Nonton Olahraga

Tak cuma anak muda yang hobi nonton olahraga, nenek-nenek di Irlandia juga banyak yang hobi nonton olahraga. Nggak semua tentunya. Jika ada pertandingan tak cuma stadion yang penuh, tapi pub-pub pun dipenuhi para fans. Bahkan, saat ada pertandingan, sudut-sudut kota dan toko-toko pun berhias dengan pernak-pernik olahraga. Kilkenny contohnya, berhias dengan kucing hitam, simbol tim kesayangnnya. Menyusuri Kilkenny yang dipenuhi kucing hitam mengingatkan saya pada Malang saat Arema bertanding, penuh dengan Singo Edannya. Jangan tanya dari mana asalnya Singa di Malang!

Olahraga apa aja yang ditonton orang Irlandia? Selain sepakbola, mereka juga menonton segerombolan pria-pria kekar main rugby. Lihat pria-pria main rugby kan sudah biasa, nah bagaimana kalau rugby dikombinasikan dengan basket dan sepakbola jadilah gaelic football. Olahraga brutal, kalau kata saya. Bagaimana tak brutal jika 30 pria di lapangan ini boleh saling bertabrakan demi 3 poin jika memasukkan bola ke gawang, atau 1 point jika berhasil meloloskan bola di antara dua tiang di atas gawang. Tak seperti sepakbola, olahraga ini tak mengenal offside, jadi ya bablas tabrak sana sini, sikut sana sini, lalu lari sekencang-kencangnya. Mungkin moto olahraga ini tabraklah aku, ku tak peduli.

Gaelic football bukanlah ‘olahraga tercepat di lapangan’, hurling lebih cepat lagi. Hurling mirip dengan gaelic football tapi dengan bola yang lebih kecil dan ditemani stick kayu untuk memukul bola. Olahraga ini mengkombinasikan hoki, lacrosse dan baseball. Olahraga ini buat saya termasuk brutal. Di sepakbola, kalau ketendang dikit pemainnya pura-pura sakit biar wasit kasihan, nah di Hurling (serta Gaelic Football) mereka walaupun kesakitan akan pura-pura sehat. Brutal tho? Tadinya nggak ada peraturan pakai helm saat Hurling, alhasil banyak orang cedera wajah. Tapi sejak 2010 wajib pakai helm dan pelindung wajah, sejak itu cedera di wajah berkurang tapi tangan masih bisa cedera, kesambit stick. Ouch…..

Have a nice week everyone!
Tjetje

Arisan

Beberapa bulan terakhir ini, terutama saat akhir bulan saya meratap dan merana. Bukan karena gaji cuma numpang lewat aja, tapi karena saat mengocok arisan saya tak pernah menang. Menunggu nama keluar saat arisan itu rasanya menggemaskan dan sayangnya tak ada tips untuk menang arisan. Sama seperti banyak orang, saya mah maunya menang arisan di kocokan pertama, biar berasa lotere, tapi apa daya, hingga pengocokan hampir habis saya tak kunjung dapat. Tapi akhir bulan ini dipastikan saya menang arisan, karena akhir bulan ini pengocokan terakhir

Entah sejak kapan arisan ada di negeri ini. Saya sendiri sudah mengenal arisan semenjak kecil, bukan kecil-kecil hobinya ikut arisan ya, tapi karena suka ngikut Mama & Eyang Putri arisan. Perkenalan pertama saya dengan arisan justru dari arisan gaul Mama saya dengan tante-tante di Malang. Uniknya, yang saya ingat dari arisan itu justru mobil milik seorang tante yang ditabrak tante lainnya. Tante yang mobilnya ditabrak tak repot marah-marah, karena dia punya asuransi. Pelajaran berharga tentang asuransi itu meresap di kepala saya.

Selain arisan tante-tante gaul, mama saya juga ikut arisan ibu-ibu RT. Aktivitas ini buat saya menyenangkan setiap kali menang arisan, mama saya selalu bereksperimen menyajikan penganan yang berbeda-beda, dari  mulai serabi, siomay  (yang lain arisan, saya kepanasan di dapur mengukus siomay), aneka rupa pudding, hingga pasta. Arisan, tak cuma hahahihi dan mengocok dadu, tapi juga mengatur menu supaya tamu-tamu pulang ke rumah dengan perut girang. Saat saya kecil, saya sudah melakukan pemetaan tetangga favorit saat arisan (karena kemampuannya menyajikan makanan super lezat) serta tetangga yang tidak favorit (karena kebisaannya untuk menyajikan makanan dengan rasa amburadul). Kecil-kecil reseh ya.

Tak cuma arisan dengan teman ataupun dengan tetangga, arisan keluarga juga eksis. Tujuannya lebih untuk ngumpul-ngumpul antar keluarga dan saling menjaga hubungan. Bagi saya, arisan keluarga itu penting, supaya bisa saling kenal dengan saudara, apalagi kalau keluarganya besar. Yang tak kalah pentingnya, ajang arisan ini juga menjadi momen tepat untuk meneror si lajang supaya segera bisa menjadi istri laki orang. Eh.

dice

Image by Free-Photos from Pixabay

Arisan tak cuma jadi ajang kumpul-kumpul tapi juga jadi ajang investasi. Arisan panci contohnya. Jangan salah lho, harga panci yang bagus, itu ternyata tak murah, bisa berjuta-juta dan demi mendapatkan panci yang bagus, ibu-ibu banyak yang rela berarisan. Arisan investasi lainnya adalah arisan emas, emas koin tentunya, bukan perhiasan emas. Bagi yang duitnya berlimpah, arisan berlian juga bisa menjadi alternatif.

Tak selamanya ajang arisan itu positif, terkadang arisan juga bisa negatif. Salah satu penyebabnya gagal bayar, karena sang partisipan tak menyadari kemampuan keuangannya. Ikut arisan karena gengsi dan malu sama temannya, buntutnya, malah bikin musuhan seumur hidup. Arisan juga seringkali jadi ajang memutakhirkan gossip, tak ubahnya infotainment di pagi, siang, sore dan malam hari (gila ya TV kita isinya infotainment melulu!). Kalau soal pamer-pamer di arisan, dari pamer perhiasan, tas, hingga pamer tinggi sarang lebah di rambut sih udah biasa lah ya.

Banyak orang beranggapan bahwa arisan hanyalah aktivitas perempuan saja, padahal pria-pria juga suka berarisan. Baik sebagai partisipan aktif yang turut rutin membayar, maupun sebagai objek yang dijadikan bahan kemenangan para perempuan peminat arisan. #Eh. Arisan yang satu ini tentunya hanya untuk kenikmatan beberapa menit saja, basuh peluh ya Tante.

Xx,
Tjetje
Berharap segera menang arisan
 
Mbak Yoyen pernah menulis tentang Arisan juga disini, silahkan ditengok.

Tawar Menawar

Menawar adalah bagian dari keseharian dan merupakan sebuah permainan keegoan. Uang memang menjadi salah satu alasan untuk menawar, tapi menurut saya, kegeosian lebih dominan. Ego untuk ‘memenangkan perdebatan’ dan mempengaruhi orang lain. Walaupun dalam tawar menawar, tak ada yang menang ataupun yang kalah, dua-duanya sama-sama mendapatkan keuntungan. Konsumen dapat harga yang lebih murah dari harga yang ditawarkan, sementara pedagang tetap mendapat keuntungan.

Kendati tawar-menawar merupakan bagian dari keseharian kita, tak semua orang punya hati untuk melakukannya. Saya termasuk golongan penawar sadis. Prinsip saya, kalau nawar harus di atas 50%, atau malah 70% supaya kesepakatan harga bisa bertemu di titik 50%. Kelihatan sadis sih, tapi sebenarnya harga-harga yang ditawarkan acapkali sudah dinaikkan berpuluh kali lipat, bahkan di Borobudur harga patung kecil Budha bisa ditawarkan 20 kali lipat dari harga aslinya. Tak selamanya saya sadis, kadang saya suka menawar sampai harga yang saya inginkan, tapi tetap membayar sesuai harga pertama yang ditawarkan, apalagi jika selisihnya tak terlalu banyak.

Selain ‘kesadisan’, pantang hukumnya pasang tampang pengen banget jika ingin menawar. Diperlukan gaya cuek & pura-pura tak berminat. Kalau vendor A tak mau memberikan harga yang kita minta  lebih baik ngeloyor ke kios B sambil minta harga yang lebih murah dari kios A. Kalau toko B tak mau, ya terpaksa telan gengsi balik lagi ke toko A. Makanya, sebelum proses tawar menawar, keliling area untuk melihat harga pasar itu wajib.

Kunci lain dari menawar adalah kemampuan bahasa daerah. Selain bahasa Jawa, saya bisa berbahasa Bali. Jadi di pasar-pasar di Bali saya slamet dari harga yang mencekik karena selalu disangka orang Bali yang kelamaan tinggal di Jakarta. Tapi teknik bahasa daerah tak selamanya berguna, di Madura, saya gagal mendapatkan diskon yang signifikan karena pengrajin batik di sana cenderung malas tawar-menawar, dengan bahasa Madura sekalipun.

Datang pada hari-hari tertentu dan saat toko masih baru buka juga merupakan salah satu trik untuk melancarkan tawar-menawar. Soal hari-hari tertentu, kalau saya tak salah mengingat, Selasa termasuk hari yang kurang baik, jadi banyak pedagang dari etnis tertentu yang ‘jual murah’. CMIIW. Sementara, ketika toko baru buka, pedagang cenderung menjual murah karena tak ingin nasib buruk menimpa sepanjang hari jika menolak pembeli pertama.

Pasar besar

Sesadis-sadisnya saya dalam menawar, ketika berurusan dengan pedagang yang usianya sudah tua, saya seringkali tak tega. Di kos saya yang lama, ada pedagang buah yang usianya mungkin sudah di atas 70 tahun. Setiap kali datang beliau pasti mengetuk kamar saya dan menawarkan buah. Tanpa tawar-tawar buahnya sering saya beli, walau kadang saya tak doyan buah yang dia jual. Sedih rasanya melihat orang yang seharusnya menikmati hari tua harus berdagang di bawah teriknya Jakarta dengan beban dagangan yang berat. Prinsip ini  tak saya terapkan ketika berurusan dengan anak-anak yang berdagang, pantang hukumnya beli dari anak-anak; Walaupun ketika saya di Kamboja saya membeli kartu pos dari anak di bawah umur *nggak tega*.

Tak cuma di pasar, menawar wajib dilakukan dimana saja. Menawar gaji, menawar jasa calo, bahkan tawar menawar tanggal perkawinan *uhuk* bahkan ketika mendaftar gym.  Bicara tentang gym, selain ngotot minta harga yang murah, saya juga suka minta bonus ini itu. Buntutnya, saya punya banyak tas gym. Sales person di gym saya berkata bahwa hanya perempuan yang hobi menawar gila-gilaan. Sementara pria cenderung gengsi untuk menawar. Saya cenderung setuju dengan pernyataan ini, walaupun tak semua pria malas menawar.

Bagi sebagian orang asing, tawar-menawar bukanlah hal yang menyenangkan. Malah cenderung dilihat sebagai wujud ketidaksopanan dan kesombongan. Menawar, apalagi hingga lebih dari lima puluh persen, adalah bentuk penghinaan atas kemampuan ekonomi dari pedagang serta atas kualitas produk yang dia jual. Banyak juga pedangang yang tersinggung jika dagangannya ditawar, apalagi ditawar dengan kejam. Lain ladang, tentunya lain belalang.

Xx,
Tjetje

Pertanyaan Pribadi

Kalau menurut buku “Why Asians Are Less Creative Than Westerner”, orang Asia itu cenderung malu bertanya jadi kurang kreatif. Malu bertanya memang bagian dari kebudayaan dan kebiasaan kita. Ada, mungkin banyak, yang menganggap rajin bertanya berarti tak paham dan kurang cerdas. Dalam urusan scientific memang kita cenderung malas bertanya, takut jadi bahan tertawaan. Konon karena pola pendidikan inilah orang Asia lebih sering dapat medali olimpiade fisika, ketimbang dapat Nobel. Fisika cukup dengan menghapal rumus (cmiiw), sementara Nobel menuntut pemikiran kritis yang memunculkan banyak pertanyaan.

Sebaliknya dalam urusan sosial, bertanya menjadi bagian yang paling digemari; kalau bahasa saya sih orang kita juara. Pertanyaan-pertanyaan yang gak jelas manfaatnya banyak ditanyakan orang. Orientasi seksual contohnya. Orang suka banget bertanya apakah si X gay atau bukan. Orientasi seksual bukanlah suatu hal yang bersifat pribadi dan tidak perlu ditutup-tutupi. Tapi, mengutarakan orientasi seksual di negeri ini beresiko, beresiko didiskriminasi dan dikucilkan. Jika ada orang yang bertanya atau bahkan berkomentar tentang orientasi seksual orang lain, saya akan bertanya balik: Emang kenapa?  Dan seringkali dijawab, ya gak papa sih. Kalau gak papa dan gak penting kenapa nanya? Palingan kan mau bisik-bisik yang menyayangkan ganteng-ganteng kok gay? Please deh, they were born that way. Terus mau menghakimi mereka sebagai pendosa. Lupa ya kalau kita sendiri juga pendosa?

Ketika bertemu transjender, orang juga suka nanya apakah mereka sudah operasi atau belum. Ya kali, mereka aja gak pernah nanya bentuk alat kelamin kita kok kita lancang menanyakan bentuk alat kelamin mereka. Soal kelamin, seorang istri WNA  yang rajin baca blog ini pernah ditanyain masalah suaminya sunat atau belum. Nggak cukup dengan sudah sunat atau belum, orang juga banyak yang nanya masalah ukuran, besar ya? Hah disangka kita perempuan suka ngebanding-bandingin besar terong di toko A dengan warung B apa? Gimana coba tahunya terong A lebih besar dari terong B? Pakai penggaris atau dijajarkan untuk diobservasi? Edan! Orang yang nanya gini sih baiknya dijawab, besar banget, jauh lebih besar dari punya pasangan anda, saya sudah buktikan. Daya nakal deh

Saya sendiri pernah menerima pertanyaan ajaib tentang keperawanan, bukan dari pasangan saya tapi dari orang lain. Kalau pasangan saya yang menanyakan itu wajar karena kami memiliki hubungan, lha tapi kalau orang lain yang nanya, mau ngapain coba? Emangnya saya ini calon istri perwira apa pakai ditanya-tanya? (catatan : di Indonesia calon istri perwira wajib hukumnya mengikuti tes keperawanan).

Pertanyaan mengenai saya dan pasangan tidur bersama juga pernah ditanyakan kepada saya. Kalau dijawab belum, akan ditimpali dengan ‘ooooo’, tapi gak akan percaya. Masak pacaran sama bule gak pernah diapa-apain?  Sementara kalau dijawab sudah tidur bersama saya yakin akan dilanjutkan dengan pertanyaan bagaimana rasanya, bagaimana posenya, dan bagaimana-bagaimana lainnya. Tentunya, detail ini kemudian akan beredar kemana-mana, lengkap dengan bumbu yang super pedas.

Nah itu tadi urusan kelamin dan ranjang, urusan keuangan juga sering ditanyakan. Bertanya gaji, tak cuma gaji saya tapi juga gaji pasangan. Mirip konsultan pajak yang akan menghitung Pph 21. Tak cuma gaji, hadiah natal saya pernah ada yang memperkirakan berapa harganya. Bahkan, ketika saya dilamar, pertanyaan tentang jenis batu di cincin serta ukuran batu juga diungkapkan (demi mengkonfirmasi ketidaknyamanan, situs2 etika saya jelajah). Lalu jika cincin saya tak berbatu, atau malah batu kerikil mau diapakan? Diberi cincin oleh pasangan itu bukan masalah hati, tapi simbolisasi bahwa kami berkomitmen untuk serius dan maju ke jenjang selanjutnya. Eh kalau pengen puas nilai-nilai perhiasaan orang, kerja di pegadaian aja gih!

engagementecard

Basa-basi itu penting, tapi etika, sopan santun dan penghormatan privacy orang lain juga tak kalah pentingnya. Mari berbenah diri dan belajar untuk menjadi individu yang lebih baik, stop nanya-nanya yang gak penting.

xx,
Tjetje

Gado-Gado dari Jayapura

Saya ingat di acara Skyscanner Dodid Wijanarko, seorang pembuat film dokumenter, pernah bilang bahwa pantai dari ujung barat Papua sampai ujung timur Papua itu sama aja, yang membedakan itu orang-orangnya. Jadi, sebelum saya menuliskan pengalaman dikejar Oom-oom di pantai di Papua, ijinkan saya (duile bahasanya, kalau gak diijinin gimana?) untuk bertutur sekilas tentang Papua dan orang Papua. Beberapa hal random tentang Papua ini saya kumpulkan dari berbincang dengan seorang Antropolog, masyarakat yang saya temui selama beberapa hari di sana dan dari mengobservasi. Silahkan mengkoreksi jika ada yang salah, tapi koreksinya yang sopan ya.

Menjadi PNS

Orang Papua, kata Pak Gubernur termarginalisasi di tanahnya sendiri, perdagangan banyak dikuasai oleh pendatang dari Makassar, Ambon, ataupun Jawa. Soal pertambangan apalagi, tapi gak usah dibahas deh ya. Menariknya, orang pendatang, terutama generasi kedua yang lahir dan besar di Papua, juga banyak yang merasa terdiskriminasi. Mereka tak punya ikatan dengan tempat asal orang tuanya, tapi di tempat mereka lahir dan besar, mereka tak dianggap sebagai putra daerah. Alhasil, timbul kesulitan mendapatkan pekerjaan di kantor-kantor pemerintahan, alias menjadi PNS, karena orang Papua lebih diprioritaskan. Kalau gak diprioritaskan, apa mereka gak tambah terdiskriminasi?

Prostitusi dan HIV/AIDS

Saya emang agak ajaib, tiap kali mengunjungi suatu tempat selalu ingin tahu apakah ada tempat prostitusi. Lokasi prostitusi di Papua bersebelahan dengan danau Sentani yang cantik. Disini, penggunaan kondom wajib 100%. HIV/AIDS di Papua itu memang paling tinggi di negeri ini, jadi tak heran kalau kondom hukumnya wajib. Para pekerja seksual disini didatangkan dari luar Papua, termasuk Sulawesi, Jawa, bahkan ada yang dari Malang.

100% kondom

Ngomong-ngomong tentang HIV/AIDS ada satu project photo yang dikerjakan oleh Adrian Tambunan, judulnya Against All Odd. Saya kebetulan punya bukunya, buku photo tersebut merekam photo-photo tentang orang Papua dan HIV/AIDS. Sumpah bakalan nangis ngeliat photo-photo tersebut, karena bener-bener menyayat hati (saya emang cengeng).

Orang asli Papua

Saya inget banget jaman saya getol belajar Antropolog (bahkan bela-belain beli bukunya Koentjoroningrat & jadi satu-satunya murid yang punya buku ini), kalau suku bangsa orang Papua itu beda dari orang Afrika. Suku bangsa mereka adalah Melanesia.  Saking senengnya, dulu saya bahkan njelimet ngapalin aneka rupa upacara, yang saya ingat, di salah satu wilayah Papua, ada proses penguburan/ pembakaran mayat dimana posisi jenazah diposisikan seperti posisi bayi dalam rahim. Guru Antropologi saya, Ibu Anoek, bilang: datang dan berpulang dalam posisi yang sama.

Di Papua sendiri ada 250 suku bangsa di Papua dan mereka dipisahkan dalam enam wilayah adat. Bahasa adat suku yang satu dengan suku yang lain juga berbeda, tetanggaan pun bisa berbeda bahasa. Makanya mereka menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu, kendati tak semuanya bisa berbahasa Indonesia.

sebaran wilayah dan bahasa

Hayo dimanakah orang pohon itu berdiam?

Dua suku katanya mendapatkan benefit langsung dari Freeport, Kamoro dan Amungme. Kalau saya tak salah mengingat selain Kamoro dan Amungme ada beberapa suku lain yang mendapatkan benefit. Katanya lho ini, kebenarannya nggak tahu. Btw, sekelumit cerita tentang Kamoro dan tifa bisa dibaca disini.

Masih menurut sang Antropolog, orang Papua, punya kepercayaan bahwa suatu hari orang kulit putih akan datang membawa kebahagiaan, makanya misionaris diterima dengan baik oleh mereka. Tapi saya lupa nanya, suku yang mana yang punya mitologi ini, karena Rockefeller yang berkulit putih pun mati di tanah Papua.

Menariknya, orang Papua gak kenal koteka, bagi orang Papua, penutup penis itu disebut sebagai honim. Saya membeli sebuah honim, yang ternyata labu yang dikeringkan, harganya 80 ribu untuk yang besar dan sekitar 60 ribu untuk ukuran kecil. Konon besar atau kecil, panjang atau pendek tidaklah melambangkan sesuatu.

Entah oleh siapa, di Papua orang-orang juga dipisahkan menjadi orang pantai dan orang gunung. Konon orang pantai lebih ramah ketimbang orang gunung. Orang gunung katanya kakinya lebar, entah apa maksudnya, dan temperamental. Ini pelabelan yang bagi saya terdengar tidak baik. Buat saya, mereka terlihat sama, sama-sama orang Papua dan sama-sama orang Indonesia. Oh ya, orang Papua menurut saya sangatlah ramah, karena orang yang tidak kita kenal pun menyapa “Selamat Sore, Selamat Siang” dan ini gak cuma anak-anak kecil lho, tapi juga orang dewasa.

Di Papua, tradisi mengunyah pinang masih merupakan bagian dari keseharian masyarakat. Pedagangnya bisa ditemukan dimana-mana, begitu juga dengan liur merahnya. Liur ini menempel dimana-mana, bahkan di pantai. Jorok banget ya dan sedihnya, warna ini tampak tak bisa hilang. Yang ngunyah pinang nggak cuma orang tua lho, anak-anak muda juga ngunyah pinang. Padahal ngunyah pinang itu ternyata berisiko bikin kanker mulut dan juga jadi media penyebaran TBC.

Jayapura

Oh ya ada yang lucu, pejabat-pejabat di Jayapura itu rumahnya di kawasan Angkasapura, tapi wilayah ini lebih sering disebut Angkasa. Pejabat tinggal di angkasa, jadi ya jangan heran kalau susah banget ngeraih mereka.

Mahal

Kendati harga bensin di Jayapura sama dengan harga di Jakarta, beberapa hal, terutama pakaian dan makanan masihlah mahal. Katanya kemahalan ini karena semua barang dikirim dari luar Jayapura, termasuk beras. Lha terus apa yang diproduksi di Jayapura?

Mahal itu mungkin juga disebabkan karena struktur Kota Jayapura yang berbukit-bukit dan infrastrukrur yang begitulah. Bandaranya ada di atas, dekat danau Sentani, sementara kota Jayapuranya di pinggir laut. Kontur tanahnya rawan longsor (ya karena berbukit-bukit), konon, kalau mau bikin jalan, bukit-bukit itu harus di bom dulu. Nggak heranlah kalau apa-apa mahal, saking mahalnya taksi dari bandara ke Hotel aja lima ratus ribu rupiah. Hadeuh…..Tapi, biarpun jalanannya naik turun, bahkan ada tanjakan yang kira-kira 50 derajat, orang-orang Jayapura saya lihat semangat lari sore-sore. Demi apa lari-lari di bukit, itu dengkul apa nggak sakit ?

Tukang Bungkus-bungkus

Dalam satu perhelatan perkawinan, saya pernah menangkap basah saudara pengantin, dengan seragam kebanggaannya, mengeluarkan kotak-kotak plastik aneka rupa. Tanpa malu-malu, dimasukkanlan makanan yang disajikan di area VIP tersebut ke dalam kotak plastik. Padahal, pada saat itu tamu masih banyak berseliweran dan belum pulang. Perilaku tersebut merupakan perilaku terencana yang direncanakan dengan matang. Kalau ini merupakan pembunuhan, maka pembunuhan berencana itu hukumannya lebih besar ketimbang yang tidak direncanakan.

Budaya bungkus-membungkus di negeri kita ini sudah mendarah daging sejak dahulu kala. Tengok saja ketika arisan, ibu-ibu itu sudah diberikan kotak berisi makanan untuk dibawa pulang, eh masih juga kotak itu dipenuhi hingga mau meledak dengan sisa makanan yang tersaji di meja. Ya harap maklum, ibu-ibu ini kan diajari kalau nyapu harus bersih, jadi kalau dalam arisan, semua makanan di piring juga harus disapu bersih dan tak bersisa. Lagipula, para ibu ini berhati mulia lho, motonya: lebih baik saya yang kegendutan daripada tuan rumah yang kegendutan.

Pada dasarnya, kebiasaan bungkus membungkus ini didasari kecintaan kita pada perut sendiri, kecintaan pada orang lain di rumah serta keengganan untuk membuang makanan dan budaya berbagi. Dua yang terakhir nggak perlu diperdebatkan, niatnya mulia kan, biar bumi lebih indah dan biar orang yang kelaperan bisa kenyang.

Kecintaan pada perut sendiri biasanya terjadi kepada anak kos, seperti saya, melihat makanan berlimpah ruah, sayang jika terbuang. Bagi anak kos, kesempatan membungkus itu tidak boleh disia-siakan,  supaya anak kos nggak perlu repot-repot masak, tinggal menghangatkan untuk makan hingga seminggu ke depan. Disamping itu, membungkus makanan sisa juga memberikan kesempatan bagi anak kos untuk menghemat uang karena nggak perlu makan di luar. Biar gaji anak kos belasan atau puluhan juta juga tetep ngelakuin ini, prinsipnya kan menghemat biar cepet kaya.

Selain anak kos, ibu-ibu yang males masak juga suka kegiatan bungkus membungkus ini. Alasannya, selain supaya orang-orang tercinta di rumah bisa merasakan makanan, biar menghemat uang dan biar nggak perlu repot masak. Istri yang pintar mengatur uang, tentunya akan jadi pujaan suami. Perkara  makanan yang dibungkus mengandung micin sekilo, digoreng pakai minyak jelantah atau bahkan mengandung minyak B2, urusan belakangan. Soal penampilan makanan juga tak penting, yang penting bawa aja dulu. Bener deh kalau ketemu ibu-ibu brutal begini, biasanya aneka makanan dijejalkan ke dalam plastik, hingga bentuk (dan tentunya rasanya) berubah.

Ibu-ibu vs Pekerja dengan Keterampilan Terbatas

Suka nggak suka, di negeri ini pembagian kasta itu masih eksis. Gak percaya? Lihat aja kalau ada perhelatan makan-makan, pasti para pekerja dengan keterampilan terbatas (unskilled labour) seperti pekerja pembersih, pekerja rumah tangga, aparat keamanan biasanya baru boleh makan, atau baru mau makan, setelah para VIP ini selesai makan.

Mereka ini lebih tahu diri dari kita lho, buat mereka mendingan dapat sisa makanan tapi semua tamu kenyang dan bahagia, daripada mereka makan dahulu lalu tamunya nggak kebagian.Lucunya, saya sering mendapati mereka beradu cepat dengan ibu-ibu yang membungkus makanan. Sudah mereka mendapatkan makanan ‘sisa’, masih juga harus beradu cepat dengan para pembungkus makanan. Kita memang sering lupa kalau para pekerja ini berhak makan dengan tenang, seperti tamu agung.

Dari merekalah seharusnya kita belajar. Belajar supaya nggak usah bungkus-bungkus makanan dan memprioritaskan makanan sisa untuk dibagikan ke mereka yang memerlukan. Harusnya merekalah yang kita encourage untuk bungkus-bungkus, bukan kita yang nggak pernah kesulitan beli sayur, apalagi beli daging-dagingan.

Saya juga gak menampik fakta bahwa saya suka bungkus-bungkus, walaupun sekarang lebih memilih membungkus buah-buahan dari rumah tante. Kalaupun kemudian saya bungkus lauk pauk atau makanan lain yang non-buah-buahan, makanan tersebut biasanya berakhir di  post keamanan kos atau pekerja kos . Selain takut kegendutan, saya juga males kalau harus makan makanan yang sama selama seminggu kedepan.

Jadi, kapan terakhir kali kamu ngebungkus makanan?

Things Indonesians Do when Eating

I have a lot of respect to the nannies in Indonesia, their job is tough. In order to feed their employer’s kids, or should I call them the Queen and the King, they have to run around the mall, wedding hall, house, park or other places, while holding a bowl full of rice. The nannies, who are often wearing white, pink, or blue uniform with a rucksack on their back, have an important job to chase the kids and to feed them. Although we, Indonesians consider eat while walking (or even running) as rude, when it comes to kids, we make an exception.

Some, if not most, kids in Indonesia are not taught to eat by themselves. They need to be fed so that the nannies have job  so that their clothes and the tablecloth remain clean. Apparently, appearance is more important that the ability to be independent. Being fed feels good, the hands could freely doing anything else, while the mouth can chew the food. Maybe that is why many people do not want their parents to stop it until their adulthood. The menu however is replaced by cars, money, apartment, house, allowance for the monthly bills, or  a job. Providing for children is never wrong, but at some point the parents must teach their children to stand on their own feet.

Ailsa_Gary_WeddingDay_Bali_Inpairspho-0127

If the West opt for seating dinner during wedding party, many Indonesians opt for standing party. Some people might find it impolite, but standing party is the only way to accommodate hundreds if not thousands guests. In most of our wedding parties, chairs and tables are only reserved for VIP guests or family of the bride and groom. Eating while standing is impolite, but again, we make another exception.

Speaking about wedding, there a general rule about it, when invited, eat every single thing served at the buffet table. Mix the salad with the rice, pasta, beef, chicken, fish and the soup. If one can put everything in one plate, why put it in different plates? Our desire to mix food, might have been the reason for the invention of nasi campur, rice which served with many condiments. This meal allow us to taste as many food as possible. This might explain why set menu is not popular in this country, it is just too boring and not varied enough. Therefore, the next time you see Indonesia seating in a fancy French Restaurant, sharing foie gras or steak please do not be surprised. As I mentioned above, Indonesians tend to want to taste as many food as possible. Mr. Foreigner Chef, please do not complain about this. 

Any foreigner Chef who work in Indonesia should also never be offended when Indonesians put ketchup on foie gras or salad. No matter how good (and how expensive) the food is, if it is not spicy, then it does not deserve a place in the stomach. Providing a bottle of ketchup, soy sauce, vinegar, sambal on the table is a must.  Italian might find it sinful to put sambal in spaghetti carbonara, but again, if they want to rest peacefully in the stomach, then it has to be spicy. One might find joy in juicy steak, while other find the comfort in a spicy steak.

Beside proper three times per day meal, Indonesians also have ngemil time! If tea times come in the morning or in the afternoon, ngemil or snacking, comes at anytime. We love it so much that we do it all the time, even during working hour. Having gorengan, kerupuk (chips), keripik (also chips), bread, and/or other snack during working hour is important for us. Never mind the silence that needed by the other colleagues, just keep chewing.

Having a box of snack during meeting is also a common practice here. An institution or company might be considered miser if there is no snack served. Should there is a budget limitation, then at least coffee or tea should be provided. Make sure you put few spoonful of sugar to show that your company is wealthy enough.

Another interesting thing about Indonesians is that many of us remember the lesson taught from our tender age: to burp after meal. These babies who have the elephant’s memory, bring the lesson to their adulthood and do it anywhere they want. Some do it at warung (small and often less expensive eatery), while some do it at restaurant. Basically everywhere. Burping, sometimes, is not considered rude here.

Finally, foreigners are often surprised by our table manner, custom and etiquette. They often feel that Indonesians are just impolite. They are able to afford expensive meal but lack of manner. They also find it weird that we eat pre-cooked and re-heated meals for breakfast, lunch and dinner. What these people should remember is that we, Indonesians enjoy food in different way, it doesn’t mean that we do it better, but not worse either. We just eat different things in different way and we are happy with it.

If there is only one thing that you should complain about our eating manner is when one could not close the mouth while chewing. That you can complain!