Undangan Kumpul-Kumpul

Jadi observer itu menyenangkan, seringkali kita menemukan ide hanya dari duduk diam satu dua jam melihat dan mendengar kelakukan orang lain. Tapi tak selamanya menyenangkan, kadang-kadang suka bikin gemes, apalagi kalau ngelihat kelakukan yang buat gw itu pet peeve. Pet peeve itu kelakuan yang mengganggu buat gw, sekali lagi buat gw lho ya, buat orang lain mungkin biasa aja.


Bawa Tamu Tambahan

Di Indonesia itu kalau ada pesta dari orang-orang tertentu, tamunya suka minta diundang. Minta diundang, berasa VIP aja. Jadi jangan heran kalau pesta-pesta di Indonesia awalnya hanya 1000 orang (dan udah memperhitungkan dua kepala, plus anak-anak, plus pengasuh anak, nenek, kakek dan lain-lain), lalu bisa bertambah jadi 5000 orang. Lha minta diundang.

Di Irlandia kalau urusan tamu sangat strict, apalagi kalau acara makan yang harus duduk manis dan jumlah kursi dan porsi makanan harus pas untuk semua tamu. Kalau pestanya di rumah, si tuan rumah juga mesti memperhitungkan kapasitas rumah. Biasanya konfirmasi undangan itu perlu banget dan kalau mau bawa plus-plus (gak cuma plus 1), permisi dulu dari jauh-jauh hari. Kalau tuan rumah punya kapasitas tentunya diijinkan.

Nah yang epic entunya yang model tiba-tiba muncul di depan pintu dengan tamu tambahan ketika jumlah porsi dan kursi sudah pas. Tuan rumah gak cuma bingung cari kursi, tapi panik ngerebus kentang dan lari nangkap ayam di halaman belakang untuk tamu dadakan.

Ngobrol dengan tuan rumah

Namanya orang ngumpul-ngumpul itu tujuannya untuk catching up, apalagi di masa pandemik gini. Orang rindu berinteraksi. Jadi kalau beruntung diundang untuk datang ke rumah orang pastinya semangat untuk ngobrol-ngobrol, nanya kabar dan bagaimana menjaga jiwa selama pandemik.

Sebelum gw pindah ke sini, gw udah sempat diwanti-wanti sama salah satu blogger senior tentang segregasi orang Indonesia kalau ngumpul. Yang orang Indonesia di dapur ngobrol Bahasa Indonesia, yang bukan orang Indonesia di ruang tamu ngobrol bahasa lain. Yang guwe perhatiin gak cuma itu aja, ada lagi kebiasaan yang sangat gak inklusif. Jelas-jelas ada orang asing yang tak bisa berbahasa Indonesia, terus-menerus aja bicara Bahasa Indonesia. Gregetan banget kalau lihat model begini, karena nganggep orang asing itu invisible, making gregetan kalau kemudian orang asingnya kasih kode.

Soal ngobrol juga seringkali ada pertanyaan yang intrusif soal tuan rumah. Seringkali pertanyaannya kepo dan model interogasi, pembicaraan gak mengalir dan bahasa tubuh tuan rumah biasanya udah gak nyaman banget. Kalau observing orang, biasanya momen ini yang jadi momen penting buat guwe, karena level pertanyaan kepo orang itu suka gak karuan anehnya.  

Buka Kulkas

Di tempat tinggal guwe dulu sering banget ada acara yang melibatkan banyak tamu. Biasanya banyak tante-tante yang datang ikut ngebantuin dan berurusan dengan kulkas. Entah ngambil makanan di kulkas, atau memasukkan makanan di kulkas. Yang gw perhatiin, tante-tante ini suka rikuh kalau harus berurusan dengan kulkas, minta ijin dulu atau seringnya nyuruh guwe. “Dik, ijin mau masukin makanan ke dalam kulkas”. Duh jadi kangen deh sama tante-tante ini.

Di Irlandia, jika ada pesta apalagi saat musim panas, minuman seringkali dimasukkan ke dalam kulkas. Tamu datang membawa birnya sendiri, titip di kulkas  dan ketika akan minum tinggal ambil sendiri. Biasanya mereka yang mau taruh minuman permisi dulu sama tuan rumah dan tuan rumah yang natain, kenapa? Karena ngobok-ngobok dan mindahin isi kulkas tuan rumah itu gak sopan banget, kecuali kalau tuan rumah kasih ijin kulkasnya diobok-obok.

Nanti kalau mau ambil minum lagi, permisi lagi sama tuan rumah. Di sini, sama kayak di Indonesia, buka tutup kulkas orang itu bukan sebuah hal yang normal. Kedekatan tamu dengan tuan rumah juga suka menentukan, kalau tamunya udah deket banget biasanya lebih relaks soal ini dan tuan rumah suka nyuruh buka sendiri.

Soal Makanan

Nah ini sumber drama. Ada tamu yang suka nggak mikir kalau masih ada tamu lain yang akan datang. Acara belum mulai, gorengan sudah habis dimakan oleh satu tamu. Semua tamu belum datang, udah ada yang bungkus-bungkusin makanan dan dimasukin ke tas. Ini gak cuma di iklan aja, di kehidupan nyata banyak dan gak cuma orang Indonesia aja kok, orang Irlandia juga ada yang model begini. Bedanya kalau orang kita bungkus gorengan, orang luar bungkusin kue-kue Irlandia.

Ada juga tuan rumah yang perhitungan kalau orang datang, dihitung apa yang dibawa dan apa yang dibungkus. Ngeri udah kalau diundang tuan rumah model begini, karena disuruh bungkus tapi dipelototin. Sukur-sukur kalau dipelototin, kalau sampai diomongin kemana-mana itu yang makan ati. Bungkusan makanan nilainya tak seberapa, reputasi dirusak.

Gak cuma bungkus-bungkus aja, tapi juga soal ngambil makanan. Begitu lihat makanan Indonesia melimpah ruah, langsung pengen nyoba semua. Abis itu engga diabisin dan makanan harus berakhir di tempat sampah. Beberapa yang punya anak kecil juga sering melakukan hal serupa. Ambil makanan agak banyak, lalu anaknya gak doyan, makanan disingkirkan begitu saja. Ada beberapa ibu-ibu yang saya salut banget, kalau anaknya gak abis, ibunya yang makan.

“Aku gak pernah diajarin buang-buang makanan”.


Penutup

Gak di Indonesia gak di Irlandia kalau acara kumpul-kumpul itu selalu berwarna-warni, ada aja dramanya dan kelakuan aneh-anehnya. Dari yang flexing, saingan sama tuan rumah, gak berbaur sama tamu lainnya hingga tentunya yang berkelahi di rumah orang. Hidup jadi berwarna, tapi kadang-kadang warna-warni ini gak diperlukan. Too much, too bright.

Gw sendiri pernah ngalami tamu datang, pulang dilepas di depan pintu, eh begitu keluar rumah langsung menghela napas panjang kayak naga yang abis lari marathon. Di depan muka guwe sebagai tuan rumah. Kayaknya lega banget keluar dari rumah gw. Engga lagi deh ngundang model naga gini.


Pandemik ini, masih suka ngumpul-ngumpul?

Namaste,
Kumpul sama yg sehati aja

Advertisement

Tanya Gaji

Suatu ketika, seseorang berkunjung ke kost saya. Sambil ngobrol, yang bersangkutan bertanya-tanya tentang fasilitas kost. Saya tak segan memberitahu apa saja fasilitas kost. Ketika ditanya berapa ongkos sewa, dengan sopan juga saya jawab. Kesalahan besar, karena ternyata muncul pertanyaan atau lebih tepatnya pernyataan: “Wah Mbak gajinya pasti [menyebut angka] ya? Kalau gaji cuma [menyebut angka lagi} nggak bakalan bisa tinggal di kost-kostan seperti ini.”

Tak cukup dengan bertanya gaji saya, dalam sebuah kesempatan yang lain, baik orang yang sama dan juga orang lain bertanya “Wah gajinya Masnya pasti segini ya [menyebut angka lagi!], kok  bisa bolak-balik ke Irlandia terus”. Saya tak menjawab pertanyaan tersebut, hanya tersenyum sambil membatin, ini orang mulutnya bener-bener minta dicabein ya.

Pertanyaan reseh tak berhenti disitu, masih ada pertanyaan berapa uang bulanan yang saya terima dari pasangan setiap bulannya. Agak aneh sebenarnya karena jika mereka bisa mengambil kesimpulan jumlah gaji saya, tentunya bisa tahu bahwa gaji saya cukup tanpa perlu minta uang pada pasangan. Tapi agaknya ada keharusan di dalam masyarakat supaya perempuan minta uang bulanan pada pasangan. Waaaaah kalau sudah berdebat soal ini, makin panjang dan buntutnya diakhiri dengan nasihat: jangan mau rugi kalau punya pasangan orang asing. Nampaknya bagi sebagian orang hubungan percintaan tak berbeda dengan hubungan dagang. Perempuan mesti menukar cintanya dengan rupiah atau bahkan Dollar dan Euro supaya tidak mengalami kerugian. Ilmu dagang cinta rupanya.

Tak hanya saya yang ditanya tentang gaji, Ibunda saya juga tak ketinggalan. Bukan ditanya gaji beliau, tapi ditanya gaji saya. Suatu ketika ada kenalan lama yang saya bahkan sudah lama tak bertukar kabar yang bertanya tentang gaji saya pada Mama. “Tante, gajinya Mbak Ail {menyebut angka} ya?”. Dasar mama saya, pertanyaan itu diiyakan saja. Perkara gaji saya di atas atau di bawah angka yang disebut tak penting. Yang penting sang penanya diam.

Saya perhatikan, di sekitaran kita, bertanya tentang gaji (dan juga sumber-sumber pendapatan lainnya) kadang-kadang menjadi hal yang tidak tabu. Padahal pembicaraan tentang uang dalam situasi tertentu seharusnya menjadi rahasia dapur masing-masing. Dalam situasi tertentu lho ya, dalam banyak situasi berbicaraan tentang gaji bisa menjadi pembicaraan yang penting dan justru perlu ditanyakan. Tabu atau tidaknya pertanyaan tentang gaji bergantung pada satu hal: tujuan dari pertanyaan tersebut. Nah kalau pertanyaan-pertanyaan di atas, apa pentingnya orang lain tahu tentang besarnya gaji saya, apalagi pasangan saya?

Menebak besarnya gaji orang lain bagi saya berkorelasi dengan pelabelan apakah orang tersebut mampu secara ekonomi atau tidak. Pengasosiasian ini kemudian berkaitan dengan kotak-kotak sosial. Mereka yang lebih mampu atau setidaknya dianggap lebih mampu karena bisa menunjukkan simbol-simbol kekayaan secara otomatis ditempatkan dalam kelas sosial yang lebih tinggi, sementara yang kurang mampu diletakkan dalam kelas sosial lain.

Di Indonesia, seringkali pengelompokan ini menjadi ‘penting’ karena berkaitan dengan penghormatan dari orang lain. Mereka yang penghasilannya lebih tinggi lebih dihormati karena dianggap berlebih, sementara mereka yang penghasilannya di bawah seringkali tak dipedulikan. Ya harap dimaklumi saja, kesenjangan di negeri kita memang masih sangat tinggi.

Pengkotak-kotakan ini seringkali menimbulkan ketidaknyamanan. Baik yang ditempatkan di kelas social yang lebih rendah maupun yang lebih tinggi. Yang lebih kaya misalnya, seringkali dihujani dengan berbagai permintaan, dari yang paling remeh seperti minta traktir hingga meminta bantuan dan pinjaman uang. Sementara yang ekonominya dinilai lebih rendah seringkali kurang dihormati karena dianggap tak mampu secara ekonomi.

Tapi dalam pertemanan, sepenting itukah mengetahui gaji orang lain? Besar atau kecilnya gaji tak bisa sekedar dilihat dari banyaknya angka nol saja, tapi juga bergantung dengan komponen lain seperti besarnya kebutuhan dan pengeluaran mereka. Lagipula apa pentingnya sih nanya gaji orang, kalau ingin berteman ya berteman sajalah, tak perlu tahu berapa banyak isi kantong saya, apalagi kantong pasangan saya. Eh tapi barangkali konsep pertemanannya seperti konsep usaha dagang, supaya tak merugi, apalagi jika butuh pinjaman.

Bagaimana dengan kalian, pernah ditanya tentang besarnya gaji kalian?

xx,

Tjetje

Basa-basi Sudah Busuk

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, basa-basi berarti

ba.saba.si
Nomina (kata benda)
(1) adat sopan santun; tata krama pergaulan: tidak tahu di basa-basi; hal itu dilakukan hanyalah sebagai basa-basi dalam pergaulan ini;
(2) ungkapan yang digunakan hanya untuk sopan santun dan tidak untuk menyampaikan informasi, misalnya kalimat “apa kabar?” yang diucapkan apabila kita bertemu dengan kawan;
(3) perihal menggunakan ungkapan semacam itu

Menarik sekali melihat bahwa basa-basi merupakan bagian dari tata krama pergaulan ataupun adat sopan santun. Sayangnya tidak terjadi penjelasan lebih lengkap kalimat basa-basi mana yang dianggap sopan dan santun, serta mana yang tidak sopan. Di masyarakat kita, bertanya tentang hal-hal pribadi dianggap sebagai hal yang wajar dan normal. Tapi seiring dengan perkembangan jaman, terjadi pergeseran nilai-nilai sopan santun dalam masyarakat. Dari pengamatan saya, ada banyak kalimat basa-basi yang tadinya dianggap biasa saja sudah menjadi busuk, tak ideal dan tak pantas lagi untuk ditanyakan, bahkan untuk basa-basi sekalipun. Saya mencoba merangkum pertanyaan tersebut menjadi beberapa bagian:

Bicara tentang tubuh

“Kamu gemukan ya sekarang?”

“Wah kamu kok kurus banget sih gak dikasih makan sama suami ya?”

“Ih yang sudah kawin sekarang sehat ya, cocok ya susunya?”

Alih-alih bertanya apa kabar, seringkali orang membuka pembicaraan dengan komentar yang kurang baik tentang tubuh orang yang ditemuinya. Dari mulai gemuk, kurus hingga berkomentar tentang hal-hal yang kurang pantas. Pertanyaan ini sudah tak layak dan tak sopan lagi menjadi bahan pemecah keheningan, karena banyak cerita dibalik tubuh kurus maupun tubuh gemuk. Dari mulai metaboslime tubuh, kelainan hormon, permasalahan psikologis atau bahkan tanpa cerita.

Tapi ada orang-orang yang tidak cuek terhadap hal seperti ini. Dibilang gendut bisa membuat orang malas makan atau bahkan memuntahkan makanan. Bagi sebagian orang contoh ini terdengar berlebihan, tapi kejadian seperti ini terjadi.

Bicara tentang status

“Eh gimana sudah punya pacar? Nunggu apa lagi ayo cepet diresmikan!” Gundulmu, duit buat kawinan gak datang dari langit.

Mimpi buruk bagi semua orang yang masih belum punya pasangan dan yang memiliki pasangan tetapi belum resmi kawin adalah pertanyaan kapan kawin. Ini standar basa-basi bagi para Tante, Tante, Tante, Tante dan Oom (Kebanyakan Tante yang nanya daripada Oom). Niat awalnya iseng-iseng, memecah keheningan, tapi seringkali pertanyaan ini diberi bumbu-bumbu pelengkap yang pedasnya ngalahin cabe. Apalagi kalau ditambahin: “jangan lama-lama,  perempuan kalau kelamaan nanti susah hamil lho”. Eh emangnya situ Tuhan apa.

Basa-basi sederhana ini seringkali berubah menjadi teror sosial, karena kebanyakan ditanyakan orang. Akibatnya mereka yang sering menjadi korban basa-basi ini jadi malas berkumpul dengan keluarga. Sebagian dari emreka memilih untuk berkumpul dengan teman atau bahkan di rumah saja daripada diteror.

Bicara tentang anak

“Ailsa, anakmu sudah berapa?”

Kalimat di atas adalah kalimat pertama yang ditanyakan seorang teman lama saya ketika pertama kali bertemu. Dia tak bertanya tentang kabar, apakah saya sehat ataupun di mana saya tinggal sekarang. Rasanya kalau tak ingat norma-norma kesopanan saat itu saya ingin sekali nyerocos dan berkata bahwa saya masih terlalu muda untuk punya anak, masih ingin bekerja dan menikmati hidup sebagai perempuan lajang. Tapi ketika itu saya terlalu malas menanggapi.

Pertanyaan tentang anak dan kehamilan menjadi mimpi buruk bagi banyak pasangan.“Sudah isi” menjadi pertanyaan standard basa-basi bagi kebanyakan orang. Sama dengan pertanyaan kapan kawin, pertanyaan ini berubah menjadi momok dan bagian dari teror sosial. Kendati dianggap normal, bagi saya tak sepatutnya kita bertanya tentang kehamilan, kecuali jika yang bersangkutan sudah siap untuk mengumumkan. Ada banyak alternatif hal yang bisa dibahas ketimbang kehamilan, dari soal kemacetan sampai harga tomat di pasar. Lebih baik membahas hal tersebut daripada melukai dan menyinggung orang lain.

Yang sudah punya anak pun pasti kebagian basa-basi yang sudah busuk, salah satunya membanding-bandingkan kemampuan anak  orang lain dengan anak atau cucu sendiri. Komentar seperti “Lho kok terlambat jalan, cucu saya umur segini sudah jalan?”. “Lho kok belum bisa ngomong, biasanya balita umur segini sudah bisa ngoceh.” Lho Tante, bayi satu dan bayi lainnya itu kan gak sama.

Basa-basi lain yang buntutnya sering panjang dan akhir-akhir ini menjadi trend di di Indonesia adalah menanyakan tentang ASI atau susu formula. Bagus sih ada sistem sosial untuk mendorong ibu-ibu memberikan ASI, tapi kan gak semua ibu bisa dan mau memberikan ASI. Jadi ya kalau emang maunya basa-basi busuk, gak usahlah memperpanjang pertanyaan dengan penghakiman dan memberi kuliah panjang tentang manfaat ASI bagi mereka yang memberi susu formula.

2012-12-05-a89aa90

Picture belongs to RyanDow.com

Basa-basi Indonesia ada banyak, dari yang sekedar basa-basi tak penting seperti mau kemana?, atau mau sekolah ya? (padahal sudah jelas pakai baju seragam) hingga yang intrusif seperti beberapa basa-basi di atas. Sang penanya biasanya tak terlalu serius bertanya, tapi jadi merasa perlu bertanya ketimbang tak ada yang dibicarakan. Basa-basi ini kemudian merembet dan seringkali berakhir dengan menyakiti dan melukai hati orang lain. Jadi, sebelum berbasa-basi dengan orang lain, mendingan direm dulu deh mulutnya.

Basa-basi lain yang sudah busuk apa ya?

Have a nice weekend!

Tjetje

Pertanyaan Pribadi

Kalau menurut buku “Why Asians Are Less Creative Than Westerner”, orang Asia itu cenderung malu bertanya jadi kurang kreatif. Malu bertanya memang bagian dari kebudayaan dan kebiasaan kita. Ada, mungkin banyak, yang menganggap rajin bertanya berarti tak paham dan kurang cerdas. Dalam urusan scientific memang kita cenderung malas bertanya, takut jadi bahan tertawaan. Konon karena pola pendidikan inilah orang Asia lebih sering dapat medali olimpiade fisika, ketimbang dapat Nobel. Fisika cukup dengan menghapal rumus (cmiiw), sementara Nobel menuntut pemikiran kritis yang memunculkan banyak pertanyaan.

Sebaliknya dalam urusan sosial, bertanya menjadi bagian yang paling digemari; kalau bahasa saya sih orang kita juara. Pertanyaan-pertanyaan yang gak jelas manfaatnya banyak ditanyakan orang. Orientasi seksual contohnya. Orang suka banget bertanya apakah si X gay atau bukan. Orientasi seksual bukanlah suatu hal yang bersifat pribadi dan tidak perlu ditutup-tutupi. Tapi, mengutarakan orientasi seksual di negeri ini beresiko, beresiko didiskriminasi dan dikucilkan. Jika ada orang yang bertanya atau bahkan berkomentar tentang orientasi seksual orang lain, saya akan bertanya balik: Emang kenapa?  Dan seringkali dijawab, ya gak papa sih. Kalau gak papa dan gak penting kenapa nanya? Palingan kan mau bisik-bisik yang menyayangkan ganteng-ganteng kok gay? Please deh, they were born that way. Terus mau menghakimi mereka sebagai pendosa. Lupa ya kalau kita sendiri juga pendosa?

Ketika bertemu transjender, orang juga suka nanya apakah mereka sudah operasi atau belum. Ya kali, mereka aja gak pernah nanya bentuk alat kelamin kita kok kita lancang menanyakan bentuk alat kelamin mereka. Soal kelamin, seorang istri WNA  yang rajin baca blog ini pernah ditanyain masalah suaminya sunat atau belum. Nggak cukup dengan sudah sunat atau belum, orang juga banyak yang nanya masalah ukuran, besar ya? Hah disangka kita perempuan suka ngebanding-bandingin besar terong di toko A dengan warung B apa? Gimana coba tahunya terong A lebih besar dari terong B? Pakai penggaris atau dijajarkan untuk diobservasi? Edan! Orang yang nanya gini sih baiknya dijawab, besar banget, jauh lebih besar dari punya pasangan anda, saya sudah buktikan. Daya nakal deh

Saya sendiri pernah menerima pertanyaan ajaib tentang keperawanan, bukan dari pasangan saya tapi dari orang lain. Kalau pasangan saya yang menanyakan itu wajar karena kami memiliki hubungan, lha tapi kalau orang lain yang nanya, mau ngapain coba? Emangnya saya ini calon istri perwira apa pakai ditanya-tanya? (catatan : di Indonesia calon istri perwira wajib hukumnya mengikuti tes keperawanan).

Pertanyaan mengenai saya dan pasangan tidur bersama juga pernah ditanyakan kepada saya. Kalau dijawab belum, akan ditimpali dengan ‘ooooo’, tapi gak akan percaya. Masak pacaran sama bule gak pernah diapa-apain?  Sementara kalau dijawab sudah tidur bersama saya yakin akan dilanjutkan dengan pertanyaan bagaimana rasanya, bagaimana posenya, dan bagaimana-bagaimana lainnya. Tentunya, detail ini kemudian akan beredar kemana-mana, lengkap dengan bumbu yang super pedas.

Nah itu tadi urusan kelamin dan ranjang, urusan keuangan juga sering ditanyakan. Bertanya gaji, tak cuma gaji saya tapi juga gaji pasangan. Mirip konsultan pajak yang akan menghitung Pph 21. Tak cuma gaji, hadiah natal saya pernah ada yang memperkirakan berapa harganya. Bahkan, ketika saya dilamar, pertanyaan tentang jenis batu di cincin serta ukuran batu juga diungkapkan (demi mengkonfirmasi ketidaknyamanan, situs2 etika saya jelajah). Lalu jika cincin saya tak berbatu, atau malah batu kerikil mau diapakan? Diberi cincin oleh pasangan itu bukan masalah hati, tapi simbolisasi bahwa kami berkomitmen untuk serius dan maju ke jenjang selanjutnya. Eh kalau pengen puas nilai-nilai perhiasaan orang, kerja di pegadaian aja gih!

engagementecard

Basa-basi itu penting, tapi etika, sopan santun dan penghormatan privacy orang lain juga tak kalah pentingnya. Mari berbenah diri dan belajar untuk menjadi individu yang lebih baik, stop nanya-nanya yang gak penting.

xx,
Tjetje