Belajar dari Florence Sihombing  

Setelah 12 hari berturut-turut kerja di Bali, saya yang super sibuk ini akhirnya bisa kembali mengurus blog. Saking sibuknya saya nggak tahu kalau dunia social media Indonesia dihebohkan dengan amarah dan kicauan Florence Sihombing di Path. Setelah membaca beberapa ocehan (dari yang baik hingga yang paling kejam) dan melihat videonya, saya merasa perlu menulis catatan kecil tentang pelajaran yang bisa kita ambil dari Florence Sihombing.

Antrian

Satu pelajaran berharga dari Florence yang wajib kita camkan dalam kehidupan sehari-hari adalah belajar ngantri. Perilaku Florence ini,kalau bener informasi yang bilang dia nyerobot antrian di bagian mobil, adalah perilaku kita dalam kehidupan sehari-hari. Kesadaran orang-orang di Indonesia untuk mengantri itu sangatlah lemah, bahkan kita terbiasa mengantri dengan cara brutal, saling menyerobot dan saling menyikut. Halte TransJakarta dan toilet perempuan merupakan salah satu tempat untuk melihat peradaban dan perilaku manusia yang seringkali tak berbudaya. Orang yang datang duluan tak selamanya harus masuk duluan, hanya mereka yang kuat, kuat malu dan kuat menyikut, yang boleh masuk duluan. Sudah kayak di hutan kah? Herannya, orang Indonesia bisa mengantri di tempat-tempat lain seperti bank dan mesin ATM atau jika berada di luar negeri.

Saya tak mengerti mengapa Florence tak mau mengantri, mungkin ia terburu-buru, mungkin pula ia pikir mengantri tak penting. Tapi sadarkah kita bahwa banyak dari kita yang juga tak mau mengantri karena banyak alasan. Salah satunya karena mentang-mentang kaya dan terbiasa masuk ruangan VIP bank. Kebanyakan angka nol di rekening tabungan tak otomatis membuat tata krama kita semakin baik. Tak hanya orang kaya, pengguna motor (mau motor ratusan juta sampai motor belasan juta) juga sama kelakukannya, sama-sama suka mendahului dan jarang bisa tertib. Berapa kali kita baca komplain tentang arogansi motor gede di koran? Mentalitas ini yang harus kita semua ubah. Saya rasa pelajaran bagi kita semua, memotong antrian itu hanya boleh dilakukan oleh orang yang sedang sakit atau diujung maut.  Pejabat sekalipun tak seharusnya motong antrian, udah digaji rakyat kok masih bikin rakyat sengsara. Jadi kalau ada yang motong antrian sumpahin aja biar segera ketemu ujung mautnya. Lha?!

Sosial Media

Kesalahan Florence lainnya adalah berteriak-teriak di social media. Sosial media, baik itu Twitter, Path, Facebook dan banyak lainnya adalah media yang bisa dianggap baru. Otomatis kita masih sama-sama belajar memakai dan belajar memahami etika menggunakan social media (mungkin sudah saatnya sosial media masuk kurikulum). Tanpa kita sadari, social media menjadi wadah untuk curhat ke seluruh dunia, ajang pamer kekayaan dan ajang pamer cinta ke pasangan (ya tolong ya kalau kangen sama pasangan itu sms aja, gak usah ngoceh di social media), ajang jualan (hallo buzzer!) dan tentunya menjadi ruang untuk mengkritik. Yang terakhir ini sering dilakukan banyak orang dan bisa sangat berbahaya bagi reputasi dan masa depan. Oleh karena itu, wajib hukumnya bagi semua pengguna social media untuk bertanya kepada diri sendiri sebelum menulis segala sesuatu. Tanya juga, apakah teman-teman yang ada di list itu layak membaca komplainan kita. Itu temennya Florence yang nyebarin screen shot bisa tidur nggak, happy gak ya ngelihat temennya sengsara?

Anyway, saya pernah berencana mengundang seroang pakar untuk menjadi pembicara, ini pakar dengan titel berjejer. Tapi, setelah saya lihat twitnya yang mengkritisi dengan cara tak elegan lembaga tempat saya bekerja, saya jadi urung. Nulis di sosial media memang harus hati-hati, karena sosial media adalah ruang reputasi kita, kalau nggak tawaran pekerjaan bisa melayang.

Florence

Perisakan/ Bullying

Tak hanya belajar untuk bertanya sebelum posting, kita juga perlu menahan diri untuk tidak melakukan bullying. Florence Sihombing memang membuat kesalahan besar dengan tidak bisa mengantri dan menyakiti perasaan masyarakat Yogyakarta dengan melabeli mereka. Tapi, banyak netizen yang melakukan kesalahan yang sama, bahkan lebih buruk dengan membully dia. Florence itu perlu ditegur, diingatkan dan diberitahu mana yang baik dan benar, bukan di bully habis-habisan.

Parahnya, tak cuma dibully, Florence juga diancam dimasukkan bui (atau jangan-jangan sudah dimasukkan bui?). Masalah ini menurut saya cukup diselesaikan dengan minta maaf dan diberi pengertian tentang cara menggunakan social media. Daripada aparat disibukkan dengan kicauan di social media, kenapa aparat tak dikerahkan untuk memenjarakan mereka yang menabrak orang sampai meninggal dunia?

Hukuman sosial dari masyarakat sudah cukup berat bagi Florence dan keluarganya. Kalau ingin memperberat hukuman dia, jangan masukkan dia ke dalam penjara, tapi suruh saja dia angon bebek di sawah selama sebulan, supaya dia bisa belajar dari bebek. Belajar untuk mengatri dengan baik dan benar dan kitapun perlu belajar dari bebek juga. Wong sebagian dari kita masih sering nyerobot antrian.

Bebek aja bisa antri kok manusia nggak bisa disiplin ngantri?

xx,
Ailtje

Advertisement

Things Indonesians Do when Eating

I have a lot of respect to the nannies in Indonesia, their job is tough. In order to feed their employer’s kids, or should I call them the Queen and the King, they have to run around the mall, wedding hall, house, park or other places, while holding a bowl full of rice. The nannies, who are often wearing white, pink, or blue uniform with a rucksack on their back, have an important job to chase the kids and to feed them. Although we, Indonesians consider eat while walking (or even running) as rude, when it comes to kids, we make an exception.

Some, if not most, kids in Indonesia are not taught to eat by themselves. They need to be fed so that the nannies have job  so that their clothes and the tablecloth remain clean. Apparently, appearance is more important that the ability to be independent. Being fed feels good, the hands could freely doing anything else, while the mouth can chew the food. Maybe that is why many people do not want their parents to stop it until their adulthood. The menu however is replaced by cars, money, apartment, house, allowance for the monthly bills, or  a job. Providing for children is never wrong, but at some point the parents must teach their children to stand on their own feet.

Ailsa_Gary_WeddingDay_Bali_Inpairspho-0127

If the West opt for seating dinner during wedding party, many Indonesians opt for standing party. Some people might find it impolite, but standing party is the only way to accommodate hundreds if not thousands guests. In most of our wedding parties, chairs and tables are only reserved for VIP guests or family of the bride and groom. Eating while standing is impolite, but again, we make another exception.

Speaking about wedding, there a general rule about it, when invited, eat every single thing served at the buffet table. Mix the salad with the rice, pasta, beef, chicken, fish and the soup. If one can put everything in one plate, why put it in different plates? Our desire to mix food, might have been the reason for the invention of nasi campur, rice which served with many condiments. This meal allow us to taste as many food as possible. This might explain why set menu is not popular in this country, it is just too boring and not varied enough. Therefore, the next time you see Indonesia seating in a fancy French Restaurant, sharing foie gras or steak please do not be surprised. As I mentioned above, Indonesians tend to want to taste as many food as possible. Mr. Foreigner Chef, please do not complain about this. 

Any foreigner Chef who work in Indonesia should also never be offended when Indonesians put ketchup on foie gras or salad. No matter how good (and how expensive) the food is, if it is not spicy, then it does not deserve a place in the stomach. Providing a bottle of ketchup, soy sauce, vinegar, sambal on the table is a must.  Italian might find it sinful to put sambal in spaghetti carbonara, but again, if they want to rest peacefully in the stomach, then it has to be spicy. One might find joy in juicy steak, while other find the comfort in a spicy steak.

Beside proper three times per day meal, Indonesians also have ngemil time! If tea times come in the morning or in the afternoon, ngemil or snacking, comes at anytime. We love it so much that we do it all the time, even during working hour. Having gorengan, kerupuk (chips), keripik (also chips), bread, and/or other snack during working hour is important for us. Never mind the silence that needed by the other colleagues, just keep chewing.

Having a box of snack during meeting is also a common practice here. An institution or company might be considered miser if there is no snack served. Should there is a budget limitation, then at least coffee or tea should be provided. Make sure you put few spoonful of sugar to show that your company is wealthy enough.

Another interesting thing about Indonesians is that many of us remember the lesson taught from our tender age: to burp after meal. These babies who have the elephant’s memory, bring the lesson to their adulthood and do it anywhere they want. Some do it at warung (small and often less expensive eatery), while some do it at restaurant. Basically everywhere. Burping, sometimes, is not considered rude here.

Finally, foreigners are often surprised by our table manner, custom and etiquette. They often feel that Indonesians are just impolite. They are able to afford expensive meal but lack of manner. They also find it weird that we eat pre-cooked and re-heated meals for breakfast, lunch and dinner. What these people should remember is that we, Indonesians enjoy food in different way, it doesn’t mean that we do it better, but not worse either. We just eat different things in different way and we are happy with it.

If there is only one thing that you should complain about our eating manner is when one could not close the mouth while chewing. That you can complain!

Kondom Tak Selalu Berarti Seks Pranikah

Haduh…pusing deh kalau ngomongin kondom dan orang Indonesia. Orang Indonesia itu mengasosiasikan kondom dengan kegiatan seks bebas. Kalau kemudian dikasih kondom gratisan, ya harus dipakai. Ini otak bego atau otak porno saya nggak tahu. Yang jelas, tiga tahun saya kerja di kantor yang memberikan kondom gratis dan selama tiga tahun itu saya cuma ambil dua kondom untuk difoto, bukan  untuk seks bebas. Jadi pertanyaanya, salah siapa kalau dikasih kondom pengen dipakai? Kalau kata saya, salah otaknya yang memilih mengasosiakan kondom dengan seks bebas.

Kondom, yang selalu saya promosikan setiap Jumat, dalam seri #JumatKondom adalah produk yang terbuat dari lateks yang mengurangi resiko penyebaran infeksi seksual menular termasuk HIV/AIDS. Kondom juga mengurangi resiko kehamilan, tapi mengurangi ya nggak menghentikan. Gesekan dalam hubungan seksual masih bisa bikin kondom bocor dan perempuan hamil. Ingat Rachel dan Ross yang tiba-tiba jadi orang tua karena kondom bocor kan? Tak hanya itu, pelumas salah pun, kondom bisa langsung bocor. Ada dua macam pelumas oil based untuk skin to skin dan water based untuk yang menggunakan kondom. Jangan keliru, salah pelumas masa depan bisa hancur.

Kenapa saya gencar menginformasikan fakta-fakta ajaib tentang kondom, dari tentang anal seks dan kondom, sampai tentang bahan-bahan kondom? Pertama karena saya mendapatkan akses informasi, saya mendapatkan training tentang infeksi seksual menular dan HIV/AIDS. Sayang kalau ilmu saya cuma berakhir di otak saya, jadi lebih baik dibagikan. Kedua, karena seperti SBY, saya prihatin. Banyak teman-teman saya yang melakukan hubungan seks pranikah atau bahkan jajan dengan pekerja seksual tanpa pengaman. Bukan tugas saya menghakimi perilaku mereka, mereka toh manusia dewasa yang udah tahu apa mau mereka, tapi ketika mereka yang terpelajar ini mendadak jadi bodoh dan oon serta melupakan kondom, rasanya pengen diuyel-uyel deh. Nggak cuma pria yang menolak kondom, perempuan pun ada yang cukup bodoh dan menolak kondom karena ketidaknyamanannya, padahal kondom itu adalah satu-satunya alat kontrasepsi yang tidak merubah tubuh perempuan. Dengan kondom, badan perempuan nggak perlu berubah hormonnya seperti kalau nelan pil KB, suntik hormon. Tubuh juga gak tersiksa karena IUD yang cara memasukkannya pun sudah pengen bikin tutup telinga. Bayangkan, perempuan secara sadar membiarkan dirinya berhubungan dengan beberapa pria pada kesempatan yang berbeda-beda dan secara sadar memaparkan dirinya pada infeksi menular seksual hanya karena kondom dirasa tidak nyaman, kurang bodoh apa itu?

condom_vs_tampon706

Picture was taken from addfunny.com

Pemerintah dan Kondom

Bukan rahasia lagi kalau Ibu Menteri Kesehatan kita mendukung distribusi kondom ke berbagai pihak. Saya pribadi mendukung ini. Kenapa? karena mental orang Indonesia yang masih anti kondom. Asal ada kondom selalu diasosiasikan dengan seks pranikah, seks bebas ataupun homoseksual. Mentalitas ini yang harus dirubah, mengasosiakan kondom dengan hal negatif. Ada lagi perilaku menghakimi pasangan  homoseksual dan perilakuk seks mereka. Data membuktikan bahwa penyebaran HIV/AIDS terbanyak itu ada pada pasangan heteroseksual, bukan homoseksual. Nah lho?

Penderita HIV/AIDS yang banyak itu justru ibu rumah tangga. Lha kalau ini ibu rumah tangga baik-baik yang setia pada suaminya aja, darimanakah kira-kira dapat HIV/AIDS atau infeksi menular seksual lainnya? Ya dari mana lagi kalau gak dari bapak rumah tangga yang hobinya jajan, yang kalau dinas ke Jakarta pasti menyempatkan mampir ke utara Jakarta dan nggak pakai kondom. Entah karena tidak nyaman, tidak tahu dan tidak mau tahu fungsi kondom (karena anti kondom itu cool), atau karena emang mereka tidak punya akses pengetahuan terhadap infeksi menular seksual dan kondom. Tak hanya bagi-bagi kondom, bu Menteri harus mengedukasi para tukang jajan ini supaya lebih paham tentang resiko dan bisa memilih untuk mengurangi resiko.

Aktivitas Pranikah dan Remaja

Nggak bisa dipungkiri juga bahwa kegiatan seks pranikah di negeri ini emang cukup tinggi. Dari jaman saya sekolah dulu, kehamilan pranikah dan aborsi itu adalah hal yang biasa saya dengar. Catat ya, saya sekolah di Malang, kota biasa-biasa aja, bukan kota gaul. Banyak perempuan dari jaman saya dulu yang sudah sibuk berasyik masuk ketika usia belum memasuki 20, bahkan saya tahu beberapa teman yang melakukan aborsi ketika mereka belum lulus kuliah. Setelah aborsi langsung disuruh dokternya pulang, rahim baru diobok-obok, langsung disuruh pulang dari kabupaten Malang, naik bis ke Kotamadya Malang. Itu jaman saya sekolah, puluhan tahun lalu, ketika jaman Nanda dan Ahmed heboh bikin video Bandung Lautan Asmara.

Jaman sekarang, internet makin mudah diakses, film biru dengan mudahnya di download. Tifatul boleh aja bikin program internet sehat, tapi selalu ada banyak cara untuk mengunduh film porno dan mempraktikannya. Nggak ada yang bisa menghentikan anak-anak muda ini dalam mempraktikan keingintahuan mereka untuk mengeksplor seks. Rayuan maut selalu dilancarkan pria untuk membuat perempuan bertekuk lutut, tak hanya pria yang merayu, perempuan pun juga merayu pria. Ini udah hukum alam, dari jaman mama saya sekolah sampai jaman saya sekolah, selalu bisa menunjuk, siapa-siapa aja yang hamil di luar nikah. Anehnya, mereka selalu disalahkan karena kebodohan tidak mengeluarkan diluar, nggak pernah disalahkan karena tidak pakai kondom. Sementara, pendidikan seksual yang memadai tabu untuk diberikan dengan beribu alasan. Padahal informasi yang tepat adalah cara untuk mengurangi resiko. Anak-anak ini perlu dibuka matanya agar melek resiko infeksi sesual. Kalau masih nggak takut juga dan kalau agama pun ikutan gagal menghentikan mereka, ya sudah biarkan mereka melakukan, toh itu hidup mereka. Tapi beri mereka akses terhadap perlindungan. Setidaknya mereka bisa memilih, jalan mana yang mereka mau ambil, jalan aman atau jalan tidak aman.

Soal akses pengetahuan, berapa banyak sih dari yang anti kondom yang tahu cara buka bungkus kondom yang baik dan benar. Masih cara buka lho ya, belum cara pasang yang baik dan benar. Saya yakin, dari sekian banyak orang yang teriak nolak kondom itu, nggak semuanya tahu cara buka bungkus kondom dengan baik dan benar, apalagi cara pasang kondom. Yang saya mau garis bawahi, kalau dikasih kondom gratis dan anda pelaku seks pranikah, silahkan digunakan untuk keselamatan. Kalau nggak suka, buang aja. Gitu aja kok repot? Hidup udah ribet nggak usah ditambah ribet dengan kondom. Kondom itu bisa berguna banget, kalau otak emang niatnya menggunakan kondom untuk hal yang baik dan bisa juga menjadi tidak baik kalau emang niatnya udah nggak baik.

condom

Pictures was taken from http://www.69jokes.com

Saya ulang sekali lagi, di kantor saya ada puluhan orang yang tiap hari punya akses terhadap kondom gratis dan kami hanya membiarkan kondom-kondom itu berdebu hingga masa kadarluarsanya tiba. Entah mengapa kami nggak tertarik untuk mengambil kondom itu dan mencobanya. Mungkin karena kami tahu resiko seks pranikah, kami tahu resiko infeksi seksual menular, kami  menerima pengetahuan yang memadai tentang infeksi seksual menular dan kami memilih untuk tidak menuju jalan itu. Selain itu juga karena otak kami tidak mengasosiakan kondom dengan seks bebas, seks pranikah dan langsung iseng pengen nyoba kondom. Kami memilih mengasosiasikan kondom dengan perlindungan, sebagai benda yang mengurangi resiko penyakit seksual menular.

Lanjutkan bagi-bagi kondomnya ibu Menteri, saya mendukungmu untuk mengurangi resiko penyebaran HIV/AIDS! Kalau kemudian mereka pada ribut karena otak mereka memilih mengasosiakan kondom dengan seks pranikah ya biarkan saja, toh sudah pada besar, sudah seharusnya tahu mana yang baik dan mana yang tidak baik.

Tahukah kamu kalau para pekerja seksual di Filipina tidak menggunakan kondom karena dilarang agama?

Ramadan in Indonesia

This year, Ramadan-the holy month for Moslem- falls from July to August. For many Moslem, this is the best time to get closer to God. While for beggars, this is the best time for their business. Ramadan in Indonesia are very different than other part of the world, here are the interesting things about Ramadan in Indonesia

1. Traffic

Well, it is not unique, but traffic during Ramadan is dantesque. Working hours in Indonesia are normally cut to seven hours per day because people do not go out for lunch.  During Ramadan, people  leave the office as early as possible to enjoy iftar with the family. This mean, cars are on the road at the same time, heading to the same direction, housing areas outside Jakarta.

2. Early call

People, often children, walk around the neighborhood to wake people up so that they could have their early meals. They will bring any single thing that make noise and wake everyone.  One could also use the voice and screaming on the street to wake people up. This can be useful if those who are observing Ramadan are finding it difficult to wake up early, but for those who have sleeping problem, this can be a big issue.

3. The THR

According the labour law, employers in Indonesia are oblige to give THR, Tunjangan Hari Raya (the holiday allowance) to its staff. The amount is equivalent to one month salary. If employers fail to do so, they will face prosecution. Theoretically, THR is only between employer and employee, but in reality, everyone has to give THR to other people. Here are my THR list this year:

  • A group of security guards in the area; I do not know these people.
  • A group of young people from the Mosque; same as above, I do not know these people.
  • Staff in the kost, who are hired by the landowner; and I am the tenant!
  • My aunt’s helper; she talked to me in sign language (she’s deaf) indicating she wants money. Beside her, my mom’s helper is also on the list as well. She would expect something from me.
  • Contribution box distributed for security and policemen (who are paid by the taxpayer money) in my office.
  • Ketua RT & Ketua RW (the leader in the community) through their assistant.

The spirit of THR is good, to share the fortune with other. But I feel that people are starting to abuse it by begging and forcing other to give. Anyway, look at this official letter from a forum in Jakarta, requesting money:

betawi rempong

Found in social media

4. The beggars

Ever wonder why jalan Pondok Indah or jalan Fatmawati is flooded by beggars? They are pengemis gerobak, the temporary beggars who live in wooden cart during Ramadan. For a month, they will stay in Jakarta, living with their kids on the street and begging for money. They do this simply because the Jakartans are well-known for their generosity. Thanks to that, some kids are now playing around the street until late and missing their classes.

alms

5. Eating in public is punishable?

Everyone should respect people who are observing Ramadan. Gus Dur was the only person who said the other way.  I’ve been so lucky that I’ve never sent on missions to Aceh during Ramadan. However, I lost my lucky charm when I was assigned to Banjarmasin early this July. The city regulates that restaurants, including the one in the hotel must be closed during puasa (from dawn to dusk). I even tried to find restaurant that open in the pecinan (chinatown) but nothing, everyone in Banjarmasin are not allowed to eat during Ramadan. However, in Jakarta, people can eat at anytime. Some restaurant will also give discount during lunch time; and of course the restaurant’s windows will be covered by curtain to protect those who are fasting.

6. Crowded Restaurant

Ramadan brings old friends back to catch up (and gossiping) over dinner, this tradition known as buka bersama. People start to have this dinner together in the second to the last week of Ramadan. Malls are usually crowded, while mosque started to be less attractive. Restaurants are usually fully booked, some even refused reservation and oblige its patrons to walk-in. Smart Indonesian will start to come at 4.30 pm, an hour and a half before the time to break the fast. If you happen to have a craving for something, please make sure it is earlier than 4.30 pm!

Ramadan in Indonesia is indeed different from other part of the world, but the spirit of Ramadan remains the same, to observe the religion’s duties and to be closer with family and friends. So Ramadan Mubarak everyone, I hope you are having a good one!

 

Pulau Tunda: Surganya Kambing

Kumpul di Slipi Jaya jam 9.
Sampai di Pakupatan jam 1130
Nyambung ke Karangantu
naik boat ke Pulau Tunda jam 2
tiba di home stay jam 4 pagi

Waktu baca itinerary yang ambisius ini saya sempet malas ngikut, apalagi kondisi badan lagi teler. Tapi karena sudah bayar DP, akhirnya berangkat aja. Semuanya #DemiPulauTunda, demi lihat lumba-lumba.

Perawan di Sarang Penyamun

Dari Slipi, kami naik bis menuju Merak. Rombongan berangkat dalam grup kecil karena ga ada bis kosong. Bayarnya 20k, tapi kalau naik primajasa 17k. Setelah 5 menit berdiri, saya dipersilakan duduk di bagian belakang bis yang wujudnya tampak seperti akuarium di karaoke plus-plus. Ada 11 pria, saya jadi satu-satunya perempuan. Ya sudahlah. Mereka kasih komentar usil masih bisa dicuekin, lagu dangdut dari hp murahan  masih bisa dicuekin, begitu ada yang ngrokok saya pindah deh ke depan, berdiri lagi. Nggak lama setelah berdiri, dapat kursi, niatnya sih mau tidur, tapi belum sempat tidur, eh sudah sampai di Terminal bis Pakupatan, Serang. Dari Slipi ke Serang memakan waktu sekitar 2.5 jam saja, tanpa macet. Sampai di terminal kami disambut 2 angkot yang siap mengangkut ke tempat Pelelangan Karang Antu.

image

Bule Pakistan

Semua orang sudah duduk manis di dalam angkot, tiba-tiba mobil polisi dengan lampu diskonya berhenti di tengah jalan. Pak Polisi kemudian nanya-nanya tujuan kita. Setelah itu si Bapak nanya dokumen seorang WNA yang ada di rombongan kami. Alasannya: imigran gelap dari Pakistan, padahal itu WNA itu tak terlihat seperti orang Pakistan. Karakter fisiknya sangat barat/ bule, lalu Pakistan dari mana coba? Dalam situasi seperti ini, apalagi udah bertele-tele, daripada dimintai uang ataupun digeret ke kantor polisi, saya pun mengeluarkan kartu identitas sakti, kali ini berhasil.

Syah Bandar

Ga cuma di terminal, di Pelelangan ikan Karang Antu, bule lagi-lagi jadi masalah. Alasannya sekali lagi: imigran gelap asal Pakistan. Entah pegawai kantor Syah bandar ini udah BBM-an sama pak polisi, atau emang orang Serang mengasumsikan semua bule aslinya Pakistan. Tiga puluh menit lebih temen saya urusan sama pegawai sudah bandar, panjang bener nggak selesai-selesai. Akhirnya saya turun, sekali lagi ngeluarin kartu identitas ajaib. Nggak pakai ngomel, cukup pasang muka tegas. Urusan bule selesai, eh kali ini dipermasalahkan urusan ijin berlayar, karena kapal yang kami tumpangi adalah hapal nelayan bukan untuk angkut manusia.

Duh ini pegawai kantor Syah Bandar kalau emang ada masalah itu mestinya semua masalah dikeluarkan semua, jadi nggak satu-satu, terkesan cari perkara. Alasan bapak-bapak ini, tanpa ijin berlayar mereka takut kalau ada patroli, resiko tertangkap patroli adalah: penjara. Solusinya, bapak nahkoda kami harus menghubungi seorang petinggi, minta ijin. Setelah bergelut nelpon, akhirnya kami pun diperbolehkan berlayar di tengah malam, dengan kapal nelayan, tanpa life jacket. Duh bertaruh nyawa deh.

Kambing, Kambing dan Kambing

Menjelang subuh kami sampai di pulau ini, ga disambut karpet merah tapi disambut hamparan mutiara hitam, kotoran kambing. Rupanya, kambing di sini dilepas untuk gaul bersama kucing, ayam dan bebek. Berebut tulang ikan, sumpah ga bohong, kambing di sini makan ikan.

Beberapa kambing yang terkantuk-kantuk terpaksa menyingkir dari tengah jalan demi memberi ruang pada rombongan kami yang malam itu berbagi tikar dan satu toilet di rumah pink di belakang sekolah. Satu toilet 26 orang, jangan tanya gimana antri nya kalau sakit perut!

image

Kapal nelayan ini dibandrol 80 juta

Pulau ini berpenduduk kurang lebih 1000 jiwa, semuanya Muslim. Jadi jangan coba2 jalan-jalan menggunakan bikini. Pakai baju lengkap saja jadi tontonan, apalagi bikini. Rupanya, pulau ini tak populer untuk snorkeling, kami merupakan satu-satunya rombongan turis snorkeling. Rombongan lainnya adalah rombongan pemancing, tapi nggak heboh kayak kami, jadi nggak layak jadi tontonan. Pulau ini punya Masjid, tapi belum jadi, ga punya dokter, tapi punya bidan & ruang bersalin. Transportasi publiknya, kapal kuning Tunda Express hanya ada pada hari Sabtu, Senin dan Rabu, ongkosnya 15k/kepala. Di luar hari tersebut, sang kapten bersedia mengantar asal rombongan terdiri dari 70 orang.

Snorkeling

Ga ada wisata lain yang bisa dilakukan di sini, cuma snorkeling. Spotsnya OK, bahkan nggak perlu turun pun bisa terlihat dari atas. Karena cuma ada dua spots, jadi jam dua siang pun kami sudah selesai. Selain snorkeling? tangkap kambing aja deh. Bisa juga jalan ke pantai yang cuma seiprit & kotor! Kalau punya keberanian bisa juga olahraga naik ke atas lighthouse.

Keesokan paginya kami sempat berburu lumba-lumba dengan muterin pulau ini, 360 derajat. Jarak tempuh 45 menit, lumayan sambil berjemur di atas kapal pagi-pagi. Kami nggak ketemu lumba-lumba, ternyata ini bukan daerah lumba-lumba. Dulu pernah ada grup yang ketemu, karena mereka lagi beruntung. Jadi kalau ke pulau ini, mendingan gak usah ngarep lihat lumba-lumba, tapi ngarep lihat  kapal tanker & kapal penambang pasir, pasti ketemu. Konon pasir yang dikeruk dari sini untuk Ancol!

image

Uniknya, air sumur di pulau ini nggak payau, jadi seger nggak lengket. Kalau mau mandi mesti nimba dulu ya. Lumayan olahraga. Biarpun ada mesin penyedot listik, kalau siang mesin itu gak jalan, karena listrinya gak ada. Mestinya kami kemaren ngajak pak Dahlan Iskan di rombongan supaya beliau tahu kalau listrik di pulau Tunda cuma ada di malam hari, sedangkan kalau siang mati.

image

Perlu dicatat makanan disini cukup sederhana. Sarapan dan makan siang kami ikan, nasi & oseng kulit belinjo. Sementara makan malamnya nasi goreng, mie goreng & ikan bakar. Kualitas makanannya belum seperti di pulau-pulau lain di kepulauan 1000, tapi justru karena kesederhanannya itulah pulau ini jadi berbeda.

Berhubung cuma bisa snorkeling & ga ada hiburan lain yang bisa dilakukan. Jadi pulau ini hanya disarankan untuk dikunjungi eksekutif muda yang gak bisa lepas dari gadget. Alamat bakal fresh kepalanya, karena tak ada sinyal Simpati. Sementara sinyal XL & Indosat hanya muncul di beberapa tempat, itupun harus jalan ke pinggir pantai.

Berminat ke Pulau Tunda?

 

Papua: Menabuh Darah Manusia

Pernah baca tentang Kall Muller yang banyak bekerja dengan orang Kamoro dan mempromosikan kerajian Kamoro? Gak pernah denger? Silahkan di Google kalau begitu. Thanks to him, hari ini saya mendapat kesempatan untuk bertemu orang Kamoro dari Papua dan melihat hasil kerajinan mereka serta merekam dalam kepala secuil tradisi mereka.

Pameran art Kamoro ini merupakan kegiatan rutin yang dilaksanakan dua kali dalam setahun dan disponsori oleh perusahaan pertambangan Amerika Freeport. Tujuan dari acara ini sih untuk menjelaskan dan berbagi tentang tradisi orang-orang Kamoro serta untuk menjual karya-karya orang Kamoro. Karya seni masyarakat Kamoro, baik dari yang kecil hingga yang paling besar, dibawa dari Timika ke Jakarta dan disimpan di Jakarta untuk dijual di galeri ini. Karya mereka bisa dibilang karya-karya yang sederhana, tak serumit karya orang Jepara, kadang tak ada maknanya sama sekali dan banyak terbuat dari kayu-kayu lokal. Saya bahkan sempat menemukan peti yang dihargai tak sampai dua juta rupiah. Peti tersebut tapi tak sempurna karena pegangan untuk mengangkatnya terbuat dari plastik, bukan dari kayu.

Denger kerajinan dikirimkan dari Papua ke Jakarta pasti langsung ngebayangin harganya kan? Jangan risau, karena harganya bisa dibilang sangat terjangkau walaupun diterbangan dari ujung timur Indonesia. Ongkos kirim ditanggung oleh perusahaan tersebut dan 100% hasil penjualan akan diserahkan pada artis yang membuat. Harga yang terpampang bukanlah harga mati, yang hobi nawar seperti saya masih boleh nawar. Tapi menawar sendiri tak terlalu disarankan, karena setiap rupiah yang kita tawar, adalah setiap rupiah yang kita ambil dari orang-orang Kamoro. Maklum, seluruh hasil penjualan memang diberikan kepada orang Kamoro tanpa dipotong apa-apa. Gak tega deh mau nawar kejam, apalagi nawar sampai lima puluh persen.

Tak hanya disuguhi karya seni, hari itu kami juga dimanjakan dan disambut dengan tarian selamat datang. Tarian sederhana ini melibatkan drum dan goyangan pantat. Bukan goyangan sensual macam dangdut, hanya goyangan sederhana yang unik dan bagi saya terlihat tak mudah.

image

Bagi orang Kamoro, drum atau alat tetabuhan, atau disebut juga tifa, adalah media komunikasi dengan leluhur. Makanya, keterlibatan darah dalam proses pembuatan drum ini sangatlah penting. Lagi-lagi saya merasa beruntung karena saya bisa melihat langsung prosesi pemasangan reptil air pada alat tabuh. Catat ya, pemasangan kulit ini wajib menggunakan darah manusia.

Darah diambil dengan cara menyayat lengan seorang pria. Sebelum disayat tangan tersebut diikat supaya pembuluh darahnya terlihat. Mirip ketika diambil darah di laboratorium. Darah ini kemudian ditampung dengan kulit kerang. Patut dicatat, tak ada diskriminasi gender, perempuan ataupun pria dapat ‘menyumbangkan’ darahnya.

image

Darah tersebut kemudian dicampur dengan kapur untuk dioleskan pada bagian alat tabuh.

image

Setelah dioleskan dengan rata, tibalah saat pemasangan kulit reptil.  Para pria itu kemudian beramai-ramai menarik kulit reptil tersebut dan mengikatnya.

image

Setelah dipasang, kulit reptil ini dibakar agar kulitnya mengembang dengan tepat.

image

Konon, tanpa darah manusia suara alat tabuh ini tidak akan “tepat”. Benarkan begitu? Entahlah karena saya tak bisa main drum.

image

Selain sukses membawa pulang wood carving, saya juga dihadiahi sebuah buku tentang Orang Kamoro. Wah pekerjaan rumah selanjutnya adalah melahap buku-buku ini. Bagi yang ingin belanja barang-barang kerajian Orang Kamoro, bisa bikin janji bertemu untuk belanja di galeri yang terletak di Menteng ini, persis di belakang Kedutaan Amerika.

Bagaimana, berminat mengkoleksi barang-barang kerajian orang Kamoro?

xx,
Tjetje

Serangan TKW

Setelah tersesat di konsulat Irlandia, akhirnya saya beneran pergi ke Irlandia. Perjalanan panjang selama lebih dari 19 jam dari Jakarta – Abu Dhabi – Dublin – Abu Dhabi – Dublin diwarnai banyak cerita. Menurut saya bagian paling kocak tapi juga menyedihkan adalah perjalanan yang barengan tenaga kerja wanita.

Pas berangkat, mbak TKW di samping saya, sebut saja mbak A, bawa 2 HP yang sukses bunyi ketika pesawat taxi. Bapak2 diujung kiri sampai melotot menyuruh mematikan. Si Mbak dengan polosnya bilang: “saya nggak tahu cara matiinnya”. Nggak cuma cara matiin HP, mbak ini juga gak tahu caranya connecting ke penerbangan berikutnya. Aduh saya sedih banget deh dengernya.

Dalam perjalanan pulang dari Irlandia, saya berhenti di di Abu Dhabi selama 6 jam. Rencanya saya: tidur, tapi rencanya tinggal rencana. Para TKW duduk beramai-ramai di lantai bawah, ngerumpi, cekikikan diiringi “Gelas-gelas Kaca”. Suaranya membahana di sekitar ruang tunggu. Kehebohan gerombolan TKW ini masih ditambahi dengan beberapa TKW yang memukul botol plastik kosong layaknya supporter tim sepakbola. Jangan ditanya urusan sampah, berserakan dengan indahnya di lantai bandara. Aduh bangsaku!

Setelah bersusah payah masuk ke dalam pesawat, karena mereka buru-buru ingin masuk pesawat, serundul sana sini, bahkan nekat masuk barisan Business Class (dan lolos, bravo atas kenekatan mereka!) akhirnya saya sampai di kursi yang terletak di sisi lorong. Di samping kanan saya ada mbak B, yang super jutek dan di dekat jendela mbak C. Biasanya saya paling males basa-basi, eh hari itu saya sok ramah nanya mau pulang ke mana, jawabannya: “Ya pulang ke Jakarta lah mbak, ini kan satu kapal tujuannya sama semua ke Jakarta.” Hahaha…bener juga sih.

Sebelum duduk saya sempat bersitegang sama mbak B ini, karena dia meletakan dua buah tas yang super besar di bawah kaki. Saya berbaik hati menjelaskan kalau itu bahaya. Jika ada kecelakaan mbak C pasti tidak bisa keluar karena terganjal tas. Dia ngotot gak mau menyimpan tasnya di atas. Saya pun nyerah sambil bilang: tunggu aja pramugarinya yang menjelaskan. Eh dia nyerah, tasnya langsung diberikan kepada saya untuk digotong ke atas. Lumayan!

Kalau mbak B jutek, mbak C lebih sering diam. Mbak ini giginya hampir habis, rontok dihantam bekas majikannya beberapa tahun lalu. Tapi gak kapok, dia balik lagi ke negeri unta, demi gaji 1.5 juta rupiah per bulan. Gaji memang kecil, tapi bonus bisa didapatkan setiap saat. Konon, jika ada tamu yang bertamu, mereka suka kecipratan uang jajan. Bahkan, jika puasa Ramadan penuh 30 hari, majikan pun tak segan memberi hadiah.

Godaan dalam perjalanan ini termasuk tidur. Setelah keberisikan 6 jam mendengarkan kehebohan para TKW, saya nggak bisa tidur & memutuskan nonton film. Eh sama mbak B saya dipaksa disuruh tidur karena sudah malam. Ketika akhirnya tertidur, saya pun dibangunkan mbak B dengan tubuh yang diguncang, “Kamu bangun dong”. Uaaaargh….perjalanan sangat tak tenang.

Saat paling seru adalah saat makan. Ketika menu dibagikan, mbak B nanya itu untuk apa. Saya yang lagi baik menjelaskan satu-satu. Eh si mbak lalu melipat tangannya, sambil manyun bilang “Saya nggak ngerti, kamu aja yang pesan makanannya”. Begitu sudah dipesankan yang kira-kira mirip makanan Indonesia dan mengandung nasi, dia ga doyan. Duh kasihan lihatnya, apalagi perjalanan panjang.

Masih seputar makanan, di sisi kiri depan saya, terpisahkan oleh lorong, ada mbak-mbak TKW juga, sebut saja namanya D. Ketika saya akan makan, tiba-tiba tangannya melayang ke atas makanan saya sambil berujar “Kamu makan apa?”. What sungguh serangan tiba-tiba yang tak saya duga, untungnya (masih sempat bilang untung) makanan saya masih tertutup rapi jadi tidak tercemari tangan orang. Duh aduh aduh mbak, kalau engga kan buyar semua…..

Soal toilet juga menjadi masalah. Mbak B & C ini nggak tahu gimana caranya ke toilet kering. Saya pun mengajarkan untuk menampung air dari wastafel dengan menggunakan gelas plastic. Pas mbak di kursi belakang berseru gak jadi ke toilet karena tak ada air, si Mbak B ini dengan galak dan gayanya ngomong: “Kata siapa gak ada? Itu kan ada kerannya”.

Anyway, para TKW ini kalau mau ke toilet nggak pakai permisi-permisi. Tiba-tiba berdiri nyeruduk di depan saya. Waktu pesawat sudah landing, pintu belum dibuka, kejadian nyeruduk terulang lagi. Gak cuma menyeruduk saya, mereka juga memerintah mas- mas yang duduk di depan kursi saya menjadi kuli angkut. Si Mas diminta menurunkan berbagai macam tas dari penyimpanan bagasi.

Perjalanan panjang hari itu, diakhiri dengan pembagian custom declaration. Saya pun lancar mengisi. Mbak B tiba-tiba berkata “Kamu isi punya saya yah”, mbak C juga ikut-ikutan minta diisi. Lalu dari kursi belakang, mbak TKW lainnya berdiri sambil berkata: “Mbak ini gimana ngisinya, tolong isiin dong.” Ngisi form itu adalah hal yang paling sederhana dan sedihnya mbak-mbak ini gak tahu cara ngisinya. Sejujurnya, saya sangat-sangat sedih. 

Urusan ngambil bagasi juga tak terbebas dengan kekocakan. Seorang TKW dengan polosnya ngecek bagasi yang sudah dinaikan ke troli salah satu penumpang. Ada juga yang jalan-jalan sampai lost and found dan mengecek bagasi yang diletakkan di luar satu persatu. Ketika petugas bandara tanya pesawatnya apa, si Mbak cuma bisa berujar “nggak tahu, nggak tahu” sambil kabur. Sebegitu takutnya mereka pada aparat.

Delapan jam bersama TKW, saya jadi bertanya-tanya:  Yayasan yang selama ini motong gaji TKW yang sudah kecil itu kerjaannya ngajari apa aja?

xx,
Tjetje

The Act of Killing – Jagal

Penantian saya selama satu bulan berbuah manis juga. Akhirnya kedapatan kesempatan nonton film documenter karya Joshua Oppenheinmer yang berdurasi 2 jam 39 menit dan ditaburi tokoh penting di Indonesia. Tokoh2 penting itu antara lain: Wapres Jusuf Kalla yang menggaris bawahi pentingnya pemuda, Ketua Pemuda Pancasila Yapto Soerjosumarno, Rahmad Shah anggota DPR yang hobinya berburu dan punya museum hewan di Medan, Sakhyan Asmara salah satu pejabat di Kemenpora. Ada juga anggota DPRD Medan dari Partai Golkar yang berkicau tentang bisnis illegal Pemuda Pancasila.

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/en/c/ca/The_Act_of_Killing_(2012_film).jpg

Dipinjam dari Wikipedia

Adegan dibuka dengan enam orang perempuan cantik, Anwar Congo dan Erman (anggota Pemuda Pancasila) menari-nari di bawah sebuah air terjun. Sungguh awal yang mengejutkan untuk film  yang membahas tentang kejahatan anak manusia.

https://i0.wp.com/static.guim.co.uk/sys-images/Film/Pix/pictures/2012/9/14/1347638153352/The-Act-of-Killing-008.jpg
                                       Dipinjam dari Guardian.co.uk

Anwar Congo lalu muncul, mengenakan celana putih (baju piknik katanya) & atasan hijau muda menyala. Membawa kita berpiknik ke tempat dimana dia mengeksekusi anak manusia yang dianggap berafiliasi dengan Partai terlarang. Anak-anak manusia yang tak bisa diselamatkan lagi. Dengan tenangnya, si Anwar menunjukkan bagaimana ia menghabisi korbannya dengan seutas tali/ senar dan meminimalisasi pertumpahan darah. Tak lupa dia menunjukkan tarian cha cha-nya yang bikin dia ngetop. Teknik membunuh lain yang diceritakan adalah dengan meja. Leher korban diletakkan di salah satu kaki meja, lalu mereka pun beramai-ramai duduk di atas meja sambil bernyanyi dan memandangi jalanan di luar jendela.

Selain Anwar Congo, ada juga rekan penjagal lainnya, Adi Zulkadry. Si Bapak ini gak merasa berdosa sama sekali atas perbuatannya. Calon mertua yang kebetulan keturunan Tionghoa pun dihabisi sama dia. Konyolnya, si anak bapak ini muncul beberapa kali di film ini. Lagi nge-mall, foto-foto narsis, bahkan totok wajah. Ini film lagi ngebahas tentang aksi non-humanis dan si Mbak muncul dengan ibunya dengan wajah lempeng, belanja di Mall. Bolehkah saya asumsikan bahwa keluarga Bapak ini menganggap apa yang dilakukan oleh si Bapak sebagai hal yang wajar, normal or worse, something that she should be proud of? Atau jangan-jangan mereka nggak pernah tahu?

Anyway, si Pak Adi ini mengganggap apa yang dilakukannya sebagai hal yang heroic dan dia merasa tidak bersalah. Bahkan nantangin supaya dia bisa dibawa ke Pengadilan Internasional di Den Haag. Pas ditanya tentang Konvensi Genewa, si Bapak malah nantang mau bikin Konvensi tandingan. Konvensi Jakarta.

Ada satu adegan yang menggelitik, tentang bebek. Seekor anak bebek terluka kakinya. Si Anwar lalu menyuruh entah anaknya, entah cucunya, untuk meminta maaf karena telah melukai si bebek. Bahkan si adik kecil ini diminta mengelus-elus si Bebek sebagai tanda cinta kasih. Saking takjubnya, saya gak bisa berkomentar sama adegan ini. Emosi keaduk-aduk.

Adegan lain yang saya anggap penting dan membuat saya Prihatin adalah adegan wawancara dengan TVRI. Si Pembawa Acara, memasang senyum, mengatakan bahwa Anwar Congo telah menemukan cara pembunuhan yang paling efisien dan humanis. D’uh..ini Mbak dulu sekolah di mana sih?

Di akhir cerita, Anwar menerima kalungan medali dari salah satu korbannya sebagai simbol terimakasih karena telah membunuhnya dan mengirimnya ke surga. Kalau benar ide adegan datang dari Anwar dan teman-temannya, maka saya cuma bisa mengelus dada.

Satu hal penting yang perlu digarisbawahi, mereka mengatakan bahwa PKI dianggap kejam. Tapi sebenarnya anggapan itu salah, karena yang lebih kejam itu adalah mereka, para penjagal ini. I couldn’t agree more.

Warning: Film ini mengganggu banget. Saya keluar dari tempat nonton dengan kondisi gemetar dan emosi bercampur aduk. Antara heran ada manusia yang menganggap dirinya tidak jahat padahal tangannya belumur darah dan gemas dengan ketidakadilan.

Yang berminat nonton film ini harap bersabar dan siapkan mental!

Update per 15/12/2013: Film ini sudah bisa diunduh gratis buat yang di Indonesia. Silahkan mengunduh disini: http://actofkilling.com/.

xx,
Tjetje