Papua: Menabuh Darah Manusia

Pernah baca tentang Kall Muller yang banyak bekerja dengan orang Kamoro dan mempromosikan kerajian Kamoro? Gak pernah denger? Silahkan di Google kalau begitu. Thanks to him, hari ini saya mendapat kesempatan untuk bertemu orang Kamoro dari Papua dan melihat hasil kerajinan mereka serta merekam dalam kepala secuil tradisi mereka.

Pameran art Kamoro ini merupakan kegiatan rutin yang dilaksanakan dua kali dalam setahun dan disponsori oleh perusahaan pertambangan Amerika Freeport. Tujuan dari acara ini sih untuk menjelaskan dan berbagi tentang tradisi orang-orang Kamoro serta untuk menjual karya-karya orang Kamoro. Karya seni masyarakat Kamoro, baik dari yang kecil hingga yang paling besar, dibawa dari Timika ke Jakarta dan disimpan di Jakarta untuk dijual di galeri ini. Karya mereka bisa dibilang karya-karya yang sederhana, tak serumit karya orang Jepara, kadang tak ada maknanya sama sekali dan banyak terbuat dari kayu-kayu lokal. Saya bahkan sempat menemukan peti yang dihargai tak sampai dua juta rupiah. Peti tersebut tapi tak sempurna karena pegangan untuk mengangkatnya terbuat dari plastik, bukan dari kayu.

Denger kerajinan dikirimkan dari Papua ke Jakarta pasti langsung ngebayangin harganya kan? Jangan risau, karena harganya bisa dibilang sangat terjangkau walaupun diterbangan dari ujung timur Indonesia. Ongkos kirim ditanggung oleh perusahaan tersebut dan 100% hasil penjualan akan diserahkan pada artis yang membuat. Harga yang terpampang bukanlah harga mati, yang hobi nawar seperti saya masih boleh nawar. Tapi menawar sendiri tak terlalu disarankan, karena setiap rupiah yang kita tawar, adalah setiap rupiah yang kita ambil dari orang-orang Kamoro. Maklum, seluruh hasil penjualan memang diberikan kepada orang Kamoro tanpa dipotong apa-apa. Gak tega deh mau nawar kejam, apalagi nawar sampai lima puluh persen.

Tak hanya disuguhi karya seni, hari itu kami juga dimanjakan dan disambut dengan tarian selamat datang. Tarian sederhana ini melibatkan drum dan goyangan pantat. Bukan goyangan sensual macam dangdut, hanya goyangan sederhana yang unik dan bagi saya terlihat tak mudah.

image

Bagi orang Kamoro, drum atau alat tetabuhan, atau disebut juga tifa, adalah media komunikasi dengan leluhur. Makanya, keterlibatan darah dalam proses pembuatan drum ini sangatlah penting. Lagi-lagi saya merasa beruntung karena saya bisa melihat langsung prosesi pemasangan reptil air pada alat tabuh. Catat ya, pemasangan kulit ini wajib menggunakan darah manusia.

Darah diambil dengan cara menyayat lengan seorang pria. Sebelum disayat tangan tersebut diikat supaya pembuluh darahnya terlihat. Mirip ketika diambil darah di laboratorium. Darah ini kemudian ditampung dengan kulit kerang. Patut dicatat, tak ada diskriminasi gender, perempuan ataupun pria dapat ‘menyumbangkan’ darahnya.

image

Darah tersebut kemudian dicampur dengan kapur untuk dioleskan pada bagian alat tabuh.

image

Setelah dioleskan dengan rata, tibalah saat pemasangan kulit reptil.  Para pria itu kemudian beramai-ramai menarik kulit reptil tersebut dan mengikatnya.

image

Setelah dipasang, kulit reptil ini dibakar agar kulitnya mengembang dengan tepat.

image

Konon, tanpa darah manusia suara alat tabuh ini tidak akan “tepat”. Benarkan begitu? Entahlah karena saya tak bisa main drum.

image

Selain sukses membawa pulang wood carving, saya juga dihadiahi sebuah buku tentang Orang Kamoro. Wah pekerjaan rumah selanjutnya adalah melahap buku-buku ini. Bagi yang ingin belanja barang-barang kerajian Orang Kamoro, bisa bikin janji bertemu untuk belanja di galeri yang terletak di Menteng ini, persis di belakang Kedutaan Amerika.

Bagaimana, berminat mengkoleksi barang-barang kerajian orang Kamoro?

xx,
Tjetje

5 thoughts on “Papua: Menabuh Darah Manusia

Show me love, leave your thought here!