Makan-makan adalah napas pergaulan bagi bangsa Indonesia. Obrolan-obrolan dalam keseharian kita, baik yang ringan lebih sering berada di sekitar makanan, ketimbang minuman, apalagi minuman beralkohol. Para penikmat minuman pun, apalagi kopi, seringkali ditemani oleh makanan ringan. Pendek kata, kultur makan kita itu sangat kuat.
Orang-orang Indonesia yang pindah ke luar negeri juga seringkali berkumpul untuk sekedar ngobrol, merayakan hari spesial, atau bahkan arisan. Kumpul bersama ini biasanya model pot luck, masing-masing orang membawa makanan yang mereka bisa masak.
Ketika awal pindah ke sini, saya nggak bisa masak sama sekali. Saya ingat sekali, di undangan makan-makan pertama, saya membawa sewadah coklat untuk tuan rumah (dan tuan rumah ternyata punya banyak coklat 😖). Di undangan selanjutnya, saya sudah lebih canggih, membawa cake. Tentunya bukan hasil bikin sendiri, tapi hasil membeli. Butuh waktu yang agak panjang bagi saya untuk bisa membawa hasil makanan sendiri, maklum gak bisa masak.
Satu prinsip bergaul yang seringkali diterapkan dan diharapkan, kalau diundang jangan pernah datang dengan tangan kosong. Kalau tak bisa masak, ya beli saja. Atau bisa juga membawa bunga, coklat ataupun anggur. Prinsip ini sendiri juga banyak dipakai di Indonesia, apalagi dengan budaya oleh-oleh kita yang kuat.
Bagi saya sendiri, datang dengan tangan kosong bukanlah satu hal yang harus menjadi isu. Pertama, karena mengundang orang berarti memang sudah siap untuk menyediakan makanan untuk mereka, jadi tak perlu mengandalkan orang lain untuk membawa. Kedua, mereka yang diundang mungkin tak sempat masak, tak bisa masak (seperti saya dulu), atau mungkin sedang bokek. Yang ketiga, sudah kebanyakan orang yang bawa makanan, jadi kalau ada lagi yang bawa jadi terlalu melimpah dan gak kemakan.
Tapi bawa makanan juga bisa menjadi bencana. Bawa makanan yang dinilai kurang oke buat tuan rumah atau kurang oke rasanya. Sudah sengsara bikin kue pandan, misalnya, tapi ternyata kue pandan bantat. Alamat jadi omongan karena kue bantat dibawa. Padahal, gak ada lagi yang bisa dibawa. Lagipula, peminat kue bantat juga banyak lho, apalagi kue cubit bantat. Duh jadi rindu kue cubit buatan abang-abang-abang.
Bikin makanan yang murah meriah juga bisa jadi bahan pembicaraan. Bawa nasi putih ketika ada kumpul-kumpul, atau model saya yang sering bawa kerupuk karena stok kerupuk saya banyak banget. Modyar deh, karena dianggap perhitungan. Sementara yang bawa daging-dagingan sudah berlimpah. Serba salah deh.
Acara makan-makan sendiri juga sering berbuntut dengan bungkus-bungkus. Apalagi kalau makanannya berlimpah dan dari banyak pengalaman, selalu berlimpah. Suatu hari, orang Irlandia yang saya kenal mempertanyakan, mengapa orang-orang pada bungkus-bungkus ketika acara makan-makan belum selesai. Ketika itu masih banyak tamu yang datang. Pola ini rupanya banyak dilakukan ketika tamu yang hadir hanya bisa datang sebentar, lalu buru-buru pulang. Saya sendiri nggak ngeh, karena sudah terlalu biasa melihat hal tersebut.
Selain urusan bungkus-bungkus yang terlalu dini, bungkus-bungkus juga menjadi pembicaraan ketika bawa kerupuk, tapi pulang bawa ayam satu ekor. Nggak seekstrem itu juga kali sih ya, tapi rupanya ada orang-orang yang menghitung berapa yang dibawa dan berapa yang di bawa pulang. Padahal, bungkus-bungkus sendiri sangat didukung oleh tuan rumah yang punya hajat, bahkan plastik dan kotak plastik juga disediakan oleh tuan rumah. Biasanya tuan rumah menawarkan bungkus-bungkus karena makanan yang terlalu banyak dan tak ada yang makan; daripada terbuang percuma, lebih baik dibungkus.
Bagi saya, makan-makan adalah ajang untuk menyambung hubungan dengan rekan-rekan sebangsa dan tentunya memuaskan rindu akan makanan Indonesia. Yang jelas, makan-makan jadi memicu saya untuk jadi belajar masak makanan Indonesia.
Kalian, punya cerita soal makan-makan di tempat kalian tinggal? Liwetan mungkin?
xx,
Tjetje
Cerita bungkus-bungkus ketika saya masih jadi anak kos, pernah saya bahas di sini.