Obsesi Orang Indonesia: Makan-Makan

Disclaimer dulu ya, gak semua orang Indonesia itu terobsesi dengan makan-makan. Banyak yang berjuang setengah mati untuk bisa makan sesuap nasi. Yang saya gambarkan di sini tentunya hanya potongan kecil dari sebagain masyarakat Indonesia.

Selama tinggal di Indonesia, acara makan-makan di rumah itu bukan sesuatu yang saya pandang sebagai satu hal yang spesial. Makan-makan adalah bagian dari ritual dalam sebuah acara, semisal lamaran, pertunangan, arisan, perkawinan, ulang tahun, kumpul-kumpul keluarga, atau bahkan ritual keagamaan seperti pengajian, halal bi halal, misa bersama, ataupun odalan.

Begitu pula ketika bekerja, urusan makan-makan juga menjadi sebuah hal yang biasa saja, kalau ada yang ulang tahun makan siang rame-rame (minta dibayarin pula), atau ketemu teman/ kolega lama untuk sekedar catching up, pasti urusannya di seputaran makan. Kalau gak makan tentunya ngopi-ngopi cantik. But hey, makanan lebih penting daripada kopi.

Begitu pindah ke Irlandia, saya melihat kultur makan-makan orang Indonesia ini masih sangat melekat kuat. Undangan untuk ngumpul-ngumpul untuk makan siang bersama, dilanjutkan ngobrol panjang masih sangat sering dilakukan. Tentunya, situasi di sini berbeda, makan-makan harus potluck. Semua orang berkontribusi untuk membawa sesuatu dan dinikmati bersama. Kultur makan ini juga dibawa pada saat ketemuan, pasti akan nyerempet ke makan di luar bersama. Bagi kita, makan-makan adalah bagian besar dari hidup dan mungkin, hidup adalah makan.

Kultur ini masih diperkuat dengan hobi kita untuk melakukan wisata kuliner. Coba yang sering jalan-jalan, atau mengunjungi teman yang orang Indonesia, pasti pertanyaannya tak jauh-jauh dari “Pengen makan apa?”. Bagi kebanyakan dari kita, yang mungkin dipanggil kaum menengah ngehek, jarak jauh atau antrian untuk mencoba makanan bukanlah sebuah masalah. Kalau sudah sampai suatu daerah, ya wajib mencoba kuliner lokal. Terkadang, usaha untuk mendapatkan makanan ini dipandang aneh oleh mereka yang tak paham tentang makanan.

Ambil contoh, saya yang naik becak berkilo-kilometer di Banjarmasin demi makan semangkuk soto Banjar, karena gak nemu taksi. Jaman itu tak ada taksi online. Gila katanya membayar becak 100ribu demi soto yang jauh lebih murah dari ongkos becak. Atau jauh-jauh ke Ubud demi nasi ayam (padahal nginep di Sanur). Soal nasi ayam ini, saya bahkan pernah mampir bungkus nasi ayam untuk dibawa ke Jakarta, untungnya gak ketinggalan pesawat. Bicara ketinggalan pesawat, saya pernah jadi penumpang terakhir yang naik ke dalam pesawat dan dipanggil namanya hingga berkali-kali karena nekat makan ayam tangkap dulu di Banda Aceh.

Kegemaran kita dengan makan-makan juga dikukuhkan dengan kebiasaan lain, membawa makanan khas untuk dibagikan dengan teman, saudara, keluarga ataupun kolega. Oleh-oleh, topik yang jadi mimpi buruk bagi banyak traveler. Di setiap sudut nusantara, selalu ada oleh-oleh khas sebuah daerah yang berkaitan dengan makanan, dari mulai pia Sabang, kepiting dandito, hingga roti abon Manokwari. Obsesi kita terhadap makanan khas inilah yang kemudian ditangkap oleh usaha kecil menengah hingga para artis papan atas yang datang dengan ide tak orisinal.

Saya bukan termasuk penggemar kuliner, karena saya ini picky eater. Ribet kalau ngajak saya makan. Dengan latar belakang bukan penggila kuliner ini, saya tetap mengalami gegar budaya ketika tiba di Irlandia. Orang Irlandia tak punya obsesi terhadap makanan seperti kita. Restauran-restauran yang katanya happening itu menyajikan makanan yang meh, gak sepadan dengan harganya. Rasanya, polos dan tak kenal bumbu. Bahkan, ada restauran mewah yang makanannya didatangkan dari Inggris dan dipanaskan lagi ketika sampai Irlandia. Alamak!

Nah kalau kultur makan di restauran saja bisa begitu parah, bagaimana dengan di rumah? Ketika awal datang ke Irlandia dan mendapatkan undangan ulang tahun, saya tak makan banyak, takut terlalu kenyang. Eh begitu sampai di acara, ternyata makanan yang disajikan berupa keripik-keripik, roti lapis dan kue ulang tahun. Sungguh jauh berbeda dengan kultur kita yang pantang mengundang orang kalau mereka tak pulang kekenyangan dengan bungkusan di tangan.

Lemahnya kultur makan di negeri ini bisa dipahami, karena alcohol punya peran yang terlalu besar dalam kehidupan masyarakat. Ketemu teman ya di pub, sambil minum. Bukan makan. BBQ makan burger satu aja, lalu minum alcohol sebanyak-banyaknya. Pokoknya minum.

Di negara ini, kultur kuliner memang tak sekaya negara-negara tetangga. Dan kalaupun ada satu hal yang membuat saya bersyukur, saya bersyukur jadi orang Indonesia yang terobsesi dengan makanan dan makan-makan. Apalah artinya hidup tanpa makan enak tanpa rasa. Meh.

Kamu makan apa hari ini?

xx,
Tjetje

Baca juga:
Drama Makan-Makan
Undangan Makan-Makan

Advertisement

Undangan Makan-makan

Makan-makan adalah napas pergaulan bagi bangsa Indonesia. Obrolan-obrolan dalam keseharian kita, baik yang ringan lebih sering berada di sekitar makanan, ketimbang minuman, apalagi minuman beralkohol. Para penikmat minuman pun, apalagi kopi, seringkali ditemani oleh makanan ringan. Pendek kata, kultur makan kita itu sangat kuat.

Orang-orang Indonesia yang pindah ke luar negeri juga seringkali berkumpul untuk sekedar ngobrol, merayakan hari spesial, atau bahkan arisan. Kumpul bersama ini biasanya model  pot luck, masing-masing orang membawa makanan yang mereka bisa masak.

Ketika awal pindah ke sini, saya nggak bisa masak sama sekali. Saya ingat sekali, di undangan makan-makan pertama, saya membawa sewadah coklat untuk tuan rumah (dan tuan rumah ternyata punya banyak coklat 😖). Di undangan selanjutnya, saya sudah lebih canggih, membawa cake. Tentunya bukan hasil bikin sendiri, tapi hasil membeli. Butuh waktu yang agak panjang bagi saya untuk bisa membawa hasil makanan sendiri, maklum gak bisa masak.

Satu prinsip bergaul yang seringkali diterapkan dan diharapkan, kalau diundang jangan pernah datang dengan tangan kosong. Kalau tak bisa masak, ya beli saja. Atau bisa juga membawa bunga, coklat ataupun anggur. Prinsip ini sendiri juga banyak dipakai di Indonesia, apalagi dengan budaya oleh-oleh kita yang kuat.

Bagi saya sendiri, datang dengan tangan kosong bukanlah satu hal yang harus menjadi isu. Pertama, karena mengundang orang berarti memang sudah siap untuk menyediakan makanan untuk mereka, jadi tak perlu mengandalkan orang lain untuk membawa. Kedua, mereka yang diundang mungkin tak sempat masak, tak bisa masak (seperti saya dulu), atau mungkin sedang bokek. Yang ketiga, sudah kebanyakan orang yang bawa makanan, jadi kalau ada lagi yang bawa jadi terlalu melimpah dan gak kemakan.

Tapi bawa makanan juga bisa menjadi bencana. Bawa makanan yang dinilai kurang oke buat tuan rumah atau kurang oke rasanya. Sudah sengsara bikin kue pandan, misalnya, tapi ternyata kue pandan bantat. Alamat jadi omongan karena kue bantat dibawa. Padahal, gak ada lagi yang bisa dibawa. Lagipula, peminat kue bantat juga banyak lho, apalagi kue cubit bantat. Duh jadi rindu kue cubit buatan abang-abang-abang.

Bikin makanan yang murah meriah juga bisa jadi bahan pembicaraan. Bawa nasi putih ketika ada kumpul-kumpul, atau model saya yang sering bawa kerupuk karena stok kerupuk saya banyak banget. Modyar deh, karena dianggap perhitungan. Sementara yang bawa daging-dagingan sudah berlimpah. Serba salah deh.

Acara makan-makan sendiri juga sering berbuntut dengan bungkus-bungkus. Apalagi kalau makanannya berlimpah dan dari banyak pengalaman, selalu berlimpah. Suatu hari, orang Irlandia yang saya kenal mempertanyakan, mengapa orang-orang pada bungkus-bungkus ketika acara makan-makan belum selesai. Ketika itu masih banyak tamu yang datang. Pola ini rupanya banyak dilakukan ketika tamu yang hadir hanya bisa datang sebentar, lalu buru-buru pulang. Saya sendiri nggak ngeh, karena sudah terlalu biasa melihat hal tersebut.

Selain urusan bungkus-bungkus yang terlalu dini, bungkus-bungkus juga menjadi pembicaraan ketika bawa kerupuk, tapi pulang bawa ayam satu ekor. Nggak seekstrem itu juga kali sih ya, tapi rupanya ada orang-orang yang menghitung berapa yang dibawa dan berapa yang di bawa pulang. Padahal, bungkus-bungkus sendiri sangat didukung oleh tuan rumah yang punya hajat, bahkan plastik dan kotak plastik juga disediakan oleh tuan rumah. Biasanya tuan rumah menawarkan bungkus-bungkus karena makanan yang terlalu banyak dan tak ada yang makan; daripada terbuang percuma, lebih baik dibungkus.

Bagi saya, makan-makan adalah ajang untuk menyambung hubungan dengan rekan-rekan sebangsa dan tentunya memuaskan rindu akan makanan Indonesia. Yang jelas, makan-makan jadi memicu saya untuk jadi belajar masak makanan Indonesia.

Kalian, punya cerita soal makan-makan di tempat kalian tinggal? Liwetan mungkin?

xx,
Tjetje

Cerita bungkus-bungkus ketika saya masih jadi anak kos, pernah saya bahas di sini.

Drama Makan-makan

Di Indonesia, hajatan makan-makan yang diadakan di rumah biasanya diadakan karena alasan khusus, seperti arisan, ulang tahun, khitanan, atau acara berdoa bersama. Sebaliknya, bagi kami yang tinggal di luar negeri, hajatan kumpul-kumpul dan makan-makan tak memerlukan alasan apapun. Di negara yang tak memiliki warung Indonesia berkualitas, makan-makan menjadi ajang obat rindu terhadap penganan nusantara.

Sebelum pindah ke Irlandia, saya sudah banyak mendengar tentang drama-drama seputar makan-makan dari berbagai teman di belahan dunia. Urusan makan-makan yang seharusnya sederhana, bisa menjadi meriah karena drama-drama ini, baik drama kecil maupun drama besar. Ilustrasi drama yang saya tuliskan di bawah ini berdasar pengalaman saya dan juga banyak orang yang namanya tak bisa disebutkan satu-satu. Kalau merasa tersindir, tak perlu baper, karena sesungguhnya saya gak nyindir orang-orang tertentu. Saya hanya memberi gambaran general saja. Perlu saya beri disclaimer terlebih dahulu bahwa hal-hal di bawah ini tak dilakukan oleh semua orang ya, hanya ada segelintir yang melakukan hal tersebut, tapi justru merekalah yang buat hidup jadi lebih berwarna dan tentunya penuh dengan drama.

Ajang menghakimi  kekayaan orang lain

“Eh rumahnya si ini ternyata biasa-biasa aja ya, dia gak kaya-kaya amat”

Mengundang orang untuk makan bersama ternyata juga dijadikan ajang untuk memperkirakan berapa aset orang yang mengundang. Harap maklum, yang diundang mungkin bekas sales property, jadi begitu pintu dibuka lebar dan para tamu dipersilahkan untuk masuk, matanya langsung jelatatan melihat seluruh sudut rumah. Tak hanya melihat debu-debu yang terlewatkan ketika dibersihkan, tapi juga mulai memperkirakan berapa harga setiap barang yang jadi pajangan di sudut-sudut rumah.

Kita semua tahu bahwa hidup jaman sekarang memang sangat materialistis dan ukuran kesuksesan seseorang biasanya dilihat dari berapa banyak uang yang dipunya hingga soal tipe pekerjaannya. Dan gak perlu pakai munafik, kalau ke rumah temen yang uber kaya kita juga pasti langsung terpukau lihat gerbang yang super tinggi serta satpam yang berlari-lari buka pintu pagar. Tapi sungguh terkadang saya dan banyak orang jika ketemu yang model begini pasti akan langsung terpukau dengan kecepatan mata dan kecepatan kepala ketika melakukan aksi jelatatan. Mungkin dulunya bekas penari…..

Jangan juga gagal paham dengan orang-orang yang mau menyeleksi pertemanan dengan mereka yang hanya memiliki jumlah kekayaan tertentu. This is completely normal, kan pusing kalau mau ngopi di hotel bintang kejora, sementara temennya cuma mampu minum kopi di starbike. Atau ketika ingin ngajak temen shopping bareng ke Grand Indonesia, tapi temennya cuma mampu ke Grand Indonesia coret, alias Thamrin City. Bukankah pertemanan memang harus dinilai dengan mata uang?

Marah karena gak diundang

Tak seperti di Indonesia yang rumah bisa luas dengan kebun durian serta kandang kuda, di sebagian tempat di luar negeri orang-orang tinggal di rumah mungil. Dengan segala keterbatasan rumah, otomatis jumlah undangan juga harus dibatasi sesuai kapasitas rumah. Skala prioritas pun diterapkan, yang diundang yang dekat-dekat aja. Dong…dong…dimana-mana ini ternyata suka bikin drama karena sering banget ada yang sensitif karena gak diundang. Kalau nurutin orang-orang yang sensitif gini ya, acara makan-makan siang biasa bisa buka tenda biru deh, karena semuanya minta diundang.

Pot luck

Di banyak tempat, kumpul-kumpul makan orang Indonesia itu tipenya pot luck, undangan menyiapkan beberapa menu, sementara tiap tamu yang datang membawa makanan sendiri. Yang tak bisa masak seperti saya sih mudah, tinggal pesan atau beli makanan pencuci. Selesai? tentu saja belum, karena sebagian orang suka sekali mempermasalahkan harga makanan yang dibawa dengan jumlah makanan yang dibawa pulang. Sekali lagi, pertemanan harus dihitung dengan uang ya.

Gak salah juga sih tuan rumah ngomel-ngomel kalau tamunya datang bawa nasi putih satu kotak kecil, lalu kembalinya bawa ayam goreng satu kotak besar. Tamunya mungkin bekas pedagang, tak mau rugi. Nah karena kita bangsa yang berbudaya, tamu-tamu seperti ini tak ditegur langsung, hanya dibicarakan di belakang, lewat bisik-bisik tetangga lalu sang tamu tak pernah diundang lagi. Kapok sang pengundangnya.

Musuh bebuyutan bertemu

Jadi manusia itu tak harus selalu cocok, tapi pada saat yang sama kalau gak cocok juga mesti diplomatis, tak perlu berhenti ngomong selamanya. Kalaupun mau berhenti ngomong selamanya, itu pilihan. Tapi yang saya perhatikan mereka yang bermusuhan ini tak mau sendirian, kalau musuhan rame-rame ngajak teman satu geng dan tabiat ini disempurnakan dengan kebiasaan memboikot acara.

Tuan rumah yang tak punya masalah dengan kedua belah pihak harus memilih salah satu pihak untuk diundang, kalaupun dua-duanya diundang, biasanya salah satu pihak enggan muncul. Penyelenggara acara yang cerdas sih biasanya mengirimkan undangan secara terpisah dan pada saat hari H, dua musuh bebuyutan berada dalam satu ruangan. Duaaaar…seru deh, sementara para tamu pura-pura sibuk memandangi nasi panas yang mengepul.

Owalaaaah mak, tinggal di luar negeri mau kumpul saudara sebangsa dan setanah air untuk makan rendang jengkol saja dramanya kok mengalahkan sinetron Tersanjung. Jadi kamu pernah mengalami drama urusan makan?

xx,
Tjetje