Menawar adalah bagian dari keseharian dan merupakan sebuah permainan keegoan. Uang memang menjadi salah satu alasan untuk menawar, tapi menurut saya, kegeosian lebih dominan. Ego untuk ‘memenangkan perdebatan’ dan mempengaruhi orang lain. Walaupun dalam tawar menawar, tak ada yang menang ataupun yang kalah, dua-duanya sama-sama mendapatkan keuntungan. Konsumen dapat harga yang lebih murah dari harga yang ditawarkan, sementara pedagang tetap mendapat keuntungan.
Kendati tawar-menawar merupakan bagian dari keseharian kita, tak semua orang punya hati untuk melakukannya. Saya termasuk golongan penawar sadis. Prinsip saya, kalau nawar harus di atas 50%, atau malah 70% supaya kesepakatan harga bisa bertemu di titik 50%. Kelihatan sadis sih, tapi sebenarnya harga-harga yang ditawarkan acapkali sudah dinaikkan berpuluh kali lipat, bahkan di Borobudur harga patung kecil Budha bisa ditawarkan 20 kali lipat dari harga aslinya. Tak selamanya saya sadis, kadang saya suka menawar sampai harga yang saya inginkan, tapi tetap membayar sesuai harga pertama yang ditawarkan, apalagi jika selisihnya tak terlalu banyak.
Selain ‘kesadisan’, pantang hukumnya pasang tampang pengen banget jika ingin menawar. Diperlukan gaya cuek & pura-pura tak berminat. Kalau vendor A tak mau memberikan harga yang kita minta lebih baik ngeloyor ke kios B sambil minta harga yang lebih murah dari kios A. Kalau toko B tak mau, ya terpaksa telan gengsi balik lagi ke toko A. Makanya, sebelum proses tawar menawar, keliling area untuk melihat harga pasar itu wajib.
Kunci lain dari menawar adalah kemampuan bahasa daerah. Selain bahasa Jawa, saya bisa berbahasa Bali. Jadi di pasar-pasar di Bali saya slamet dari harga yang mencekik karena selalu disangka orang Bali yang kelamaan tinggal di Jakarta. Tapi teknik bahasa daerah tak selamanya berguna, di Madura, saya gagal mendapatkan diskon yang signifikan karena pengrajin batik di sana cenderung malas tawar-menawar, dengan bahasa Madura sekalipun.
Datang pada hari-hari tertentu dan saat toko masih baru buka juga merupakan salah satu trik untuk melancarkan tawar-menawar. Soal hari-hari tertentu, kalau saya tak salah mengingat, Selasa termasuk hari yang kurang baik, jadi banyak pedagang dari etnis tertentu yang ‘jual murah’. CMIIW. Sementara, ketika toko baru buka, pedagang cenderung menjual murah karena tak ingin nasib buruk menimpa sepanjang hari jika menolak pembeli pertama.
Sesadis-sadisnya saya dalam menawar, ketika berurusan dengan pedagang yang usianya sudah tua, saya seringkali tak tega. Di kos saya yang lama, ada pedagang buah yang usianya mungkin sudah di atas 70 tahun. Setiap kali datang beliau pasti mengetuk kamar saya dan menawarkan buah. Tanpa tawar-tawar buahnya sering saya beli, walau kadang saya tak doyan buah yang dia jual. Sedih rasanya melihat orang yang seharusnya menikmati hari tua harus berdagang di bawah teriknya Jakarta dengan beban dagangan yang berat. Prinsip ini tak saya terapkan ketika berurusan dengan anak-anak yang berdagang, pantang hukumnya beli dari anak-anak; Walaupun ketika saya di Kamboja saya membeli kartu pos dari anak di bawah umur *nggak tega*.
Tak cuma di pasar, menawar wajib dilakukan dimana saja. Menawar gaji, menawar jasa calo, bahkan tawar menawar tanggal perkawinan *uhuk* bahkan ketika mendaftar gym. Bicara tentang gym, selain ngotot minta harga yang murah, saya juga suka minta bonus ini itu. Buntutnya, saya punya banyak tas gym. Sales person di gym saya berkata bahwa hanya perempuan yang hobi menawar gila-gilaan. Sementara pria cenderung gengsi untuk menawar. Saya cenderung setuju dengan pernyataan ini, walaupun tak semua pria malas menawar.
Bagi sebagian orang asing, tawar-menawar bukanlah hal yang menyenangkan. Malah cenderung dilihat sebagai wujud ketidaksopanan dan kesombongan. Menawar, apalagi hingga lebih dari lima puluh persen, adalah bentuk penghinaan atas kemampuan ekonomi dari pedagang serta atas kualitas produk yang dia jual. Banyak juga pedangang yang tersinggung jika dagangannya ditawar, apalagi ditawar dengan kejam. Lain ladang, tentunya lain belalang.
Xx, Tjetje