Bulan Januari empat tahun yang lalu, saya dan teman-teman yang tergabung dalam Couchsurfing memutuskan jalan-jalan ke Badui. Kami mengambil kereta api kelas ekonomi jurusan ke Rangkasbitung yang biayanya 2000 rupiah saja. Saat itu, saya melanggar “sumpah” untuk tidak naik kereta api ekonomi tanpa AC lagi. “Sumpah” itu sendiri timbul setelah saya dan teman-teman naik kereta api murah meriah ke Bogor dan terpaksa mandi sauna diiringi suara teriakan pedagang minuman yang mendorong trolleynya di tengah kepadatan penumpang kereta. Konon, kalau pedagang minuman ini masih bisa mendorong trolley minumannya, maka kereta belum penuh.

Anak kecil bersepeda di dekat rel kereta api di Rangkasbitung
Kembali lagi ke cerita kereta menuju Rangkasbitung, kereta ini tenyata berbeda dengan kereta lainnya. Keretanya sih sama-sama bau, panas tanpa AC, tapi orang-orang di dalamnnya membuat suasana kereta ini menjadi berbeda. Belum sampai lima menit saya masuk ke kereta, sudah ada mas-mas yang menawarkan tempat duduknya kepada saya dan seorang teman. *iya serius nggak boong!!*. Tak sampai lima belas menit menikmati duduk di kereta yang panas, diiringi musik dangdut super kencang, saya berdiri memberikan tempat duduk saya untuk seorang kakek. Malu hati. Tapi kurang dari 30 menit kemudian, saya mendapatkan kursi lagi, kali ini dari seorang perempuan. Si Mbak ngotot ingin memberikan kursinya dan hendak berdiri, karena kepanasan dan ingin berdiri, menikmati semilir angin dari jendela kereta. Oh indahnya kebersamaan dalam kereta, seandainya penumpang TransJakarta bis seperti mereka, Jakarta akan berbeda. *boro-boro kursi, tiang untuk pegangan saja terkadang dikuasai sendiri, kalau sudah begitu saya rasanya ingin teriak memaki: bekas penari yang nari-nari di tiang ya Mbak? Tiang aja dimonopoli sendiri*
Dua orang pengamen anak-anak, yang seorang perempuan berusia sekitar 7-8 tahun, duduk manis, dengan speaker di pangkuannya, sedangkan sang adik yang berusia sekitar 5 tahun duduk di sampingnya. Sepanjang perjalanan, jika tidak sedang menyanyi, si adik kecil ini mengunyah tahu, salak atau meminum minuman yang dijajakan pedagang asongan. Mereka duduk dengan manisnya dan terus menerus menerima uang tanpa perlu berjalan-jalan. Setelah satu lagu diputar, digantilah kasetnya dengan kaset lainnya. Tangan kirinya memegang microphone sembari menyanyi, sedangkan tangan kanannya sibuk memegang tutup bolpen dan memutar pita kaset. Perempuan kecil itu menyanyi, bergantian dengan adiknya, terkadang beberapa pria juga ikut menyanyi.
Seorang pria yang duduk di samping adik kecil, tampak sibuk mengigiti bagian bawah sebuah kantong plastik, lalu menuangkan minuman berwarna merah tua tersebut ke dalam sebuah gelas plastik. Setelah itu, diberikannya gelas plastik tersebut kepada segerombolan pria yang sibuk bermain kartu domino. Tak lama, gelas tersebut dikembalikan lagi pada pria dengan plastik itu, diisi kembali, lalu diedarkan untuk dihabiskan. Rupanya, aktivitas yang sedang saya lihat adalah perdagangan anggur merah di atas kereta api, tentunya bukan Red Wine Australia, South Africa apalagi Bordeaux. Jangan bayangkan ada banyak gelas, hanya ada satu gelas yang berpindah dari satu bibir ke bibir yang lain. Dari pengamatan saya, anggur tersebut dijual seharga dua ribu rupiah, tidak per gelas, tapi untuk 1/6 bagian. Sang pedagang anggur ini cukup ‘dermawan’, ia membagi sebagian uangnya untuk adik kecil pengamen.
Konsumen dari perdagangan anggur ini adalah segerombolan pria muda yang sibuk bermain kartu domino. Kegiatan ini melibatkan tak hanya uang sebagai taruhannya, tetapi juga topi di kepala dan pakaian yang melekat di badan. Gerombolan tersebut bukan satu-satunya, di sisi yang lain, juga terdapat sekelompok pria yang lebih berumur dan sibuk bermain domino. Kertas koran menjadi alas permainan agar kartu-kartu tersebut tidak tercecer. Tetapi tidak ada uang yang menjadi taruhannya, apalagi pakaian, ataupun topi. Mungkin juga uangnya tak terlihat.
Di tengah padatnya kereta, pedagang tahu sibuk berteriak-teriak menjual dagangannya, bersaing dengan pedagang salak. Semakin mendekati tujuan kami, harga yang ditawarkan tidak berubah, masih sama, tapi kuantitas yang diberikan semakin tinggi. Hingga mencapi 5000 rupiah untuk 40 buah tahu. Begitu juga dengan buah salak. Bahkan seorang pedagang alpukat bersedia menjual seluruh dagangan sisanya yang berjumlah sekitar 7 buah seharga 5000 rupiah saja. Oh, kereta api, sungguh murah meriah dan dipenuhi dengan aneka rupa perilaku manusia!
Tulisan yang pernah saya muat di Multiply saya empat tahun lalu tentunya tidak relevan untuk menggambarkan kondisi perkeretapian kita hari ini, yang katanya jauh lebih baik. Tetapi, pengalaman ini punya ruang khusus di hati saya, mungkin karena saat itu saya bisa memuaskan mata melihat aneka rupa perilaku manusia. Pada saat yang sama saya juga sedih melihat orang kecil berjudi, pedagang alkohol berjualan di depan anak kecil dan tentunya lebih sedih lagi melihat dua anak kecil berjuang menghadapi hidup anak-anak jalanan, tanpa orang tua yang melindungi mereka. Kendati ekonomis, penumpang kereta itu hatinya tak ekonomis. Mereka yang lelah, tetap mau berbagi duduk, baik kepada perempuan maupun maupun lawan jenis. Sungguh pemandangan yang jauh berbeda dari gerbong komuter khusus perempuan, yang konon sangat kejam, tanpa hati. Semoga kita, terutama para perempuan-perempuan yang kerap dituduh lebih kejam (kalau urusan kursi di kereta), bisa belajar untuk lebih baik dari para penumpang ekonomi dua ribuan itu.
Tulisan yang bagus mbak ai, btw kereta ekonomi udah bagus sekarang dan ngak ada lagi pedang tp kurang tau untuk KRL.
Penasaran aku pengalaman ini tahun brapa kok tahu 5000 dapat
40 biji.
itu pengalaman Januari 2011 Ria. Tahunya kecil2 itu.
selalu kangen naik kereta ekonomi, dulu ke Bali dari Jogja naik kereta ekonomi sampe banyuwangi, masih berjejalan, penuh, pedagang bebas selama 15 jam. luarrr biasssa
Wah aku gak pernah naik kereta yang selama itu. Pasti aneh-aneh ceritanya.
kenangan tentang kereta ekonomi lamanya manis banget mba; kenangan aku adalah pagi jam 7 jakarta – bogor, kereta lagi gratis karna mau pergantian ke yang baru. Pintu kereta sampai ga ketutup, trus ada anak-anak loncat dari kereta yang lagi jalan. T.T Dan itu minggu pertama saya di Jakarta
Anak-anak loncat, astaga mengerikan banget.
Pernah naik kereta ekonomi pas bulan madu 2014 dari Semarang (setelah selesai dari Karimunjawa) ke Jakarta. Naik Ekonomi Majapahit (lupa2 ingat namanya). Molor 4 jam dari jadwal. Masih belum berAC waktu itu, dengan sandaran tegak dan puanassnya puol, pengap didalam. Suami kapok meskipun ga ngomel sih. Terakhir naik kertajaya akhir 2014 pas ngurus visa ke Jkt. Sudah berAC, lebih bersih dan lebih nyaman, meskipun sandaran tetap tegak, bikin skoliosisku nyut2an 😀
Wah secara kalau di Londo empat jam mungkin sudah sampai belahan negara lain ya.
Saya pernah naik kereta api ekonomi dari Bandung tujuan Surabaya. Panasnya puooll. Baunya macam2 orang. Karena gak tahan di stasiun Jebres Solo saya pindah kereta.
Wah kalau perjalanan panjang gitu saya juga gak bakal tahan kayaknya.
Belom pernah lagi naik kereta, terakhir naik kereta sekitar 4 tahun lalu ke Bogor :s
Aku terakhir naik kereta malah di Irlandia, sudah lama gak naik kereta di Indonesia.
Baca ini berasa ada dlm kereta itu. Detail banget nyeritainnya tje! Love it…despite semua hal2 negatip macam judi n miras di KA.
Iya, penuh ceritamenarik. Warna-warni.
Pengamatan manusia dan perilakunya yang sangat lengkap dan menyentuh :)). Saya jadi serasa bisa melihat langsung bagaimana dinamika yang ada di sana, Mbak. Ah, dengan membaca postingan ini, saya jadi kepingin untuk membuka mata sedikit lebih lebar. Pasti banyak yang bisa kita lihat, ya :)).
Aku terakhir kali naik kereta ke Rangkasbitung ini pas mau ke Sawarna. Jadi, sepeda diangkut dengan kereta sampai Rangkasbitung lalu lanjut gowes ke Sawarna.
Wah seru banget Wulan!
ini namanya langsam ya mba:) jaman kerja saya sering naik sebelum kost di jakarta, yang terpagi sebelum subuh jg ada..jam 7 pagi terpadat-.-‘ naik kereta ini emang enaknya bs beli buah2an murah kl mendekati stasiun terakhir..cm kadang ya kualitasnya jg meragukan*diselipin buah udah busuk atau bilangnya manis tapi ternyata sisanya kecut semua:)) kalau hari2 pasar..lbh rame…mereka menjual hasil bumi ke tanah abang atau ke kota atau jembatan tiga*pasar pinggir rel itu* saya biasa turun di stasiun cisauk lalu lanjut naik angkot ke rumah orangtua kl weekend pulang..dulu sering naik kereta ini juga..nyari jam2 yg ga padat. dulu pernah juga segerbong sm kambing:D:D*mana mau ngantor ..tolonggggg…. gara2 krl ga jalan..demiii kerjaa
Dah lama gak naik kereta ekonomi Mbak. Jadi gak tahu juga seperti apa rasanya.
Suka kesel sendiri sih kalau soal kursi. Pernah saya mau kasih kursi kr ibu2 tua. Memang agak jauh tapi sy berhasil memanggil dia. Dia dah deket saya diri lah. Eh ibu2 (kalau gak mau dibilang pemudi) langsung duduk. Saya blg kalau buat ibu yang itu. Eh dia langsung (pura2) tidur dong.
Ahhh orang-orang yang egois.
Jadi keinget pernah mau nulis soal org2 kayak gini mbak.
Tulis aja Riyan!
Kebawa nynyir gak ya. Hehe
Tergantung gimana formulasinya kali ya, mungkin bisa ditulis dengan manis dan dikasih saran-saran untuk perbaikan.
Iya sih. Drafting dl ah
The people of the economy class train ceritanya ya 🙂 . Bermacam-macam banget kisahnya
Saya masih jd penumpang vip mba kalau di busway.. Krn bawa balita..
Tp emang iya.. Sy pernah hamil tua 7bulanan pulang kantor naik busway yg penuh.. Oh hamilnya sy udah macam hamil anak kembar lo. Ee berdiri aja gitu (krn petugas buswaynya ngga liat).. Lumayan lama tu.. Pas akhirnya liat si petugas tereak2 suruh kasih kursi ke ibu hamil.. Saya lgsg duduk reflek nangis..
Entah knp dlm pikiran saya pd hari itu smua org pd egois2 jahat amat yaa..
I am sorry you have to experience that. Begitulah Mbak, orang-orang suka nggak peduli lihat Ibu hamil.
Hihi.. Thank u mba..
Pingback: Nostalgia Tiket Kereta Berdiri | Ailtje Ni Diomasaigh