Hampir satu dekade lalu, saya dan dua orang teman perempuan nekat pergi ke stasiun kereta api Gambir untuk membeli tiket berdiri kereta Gajahyana jurusan Jakarta-Malang, kampung halaman kami semua. Tiket normal sendiri sudah tak bisa didapatkan, karena kereta sudah penuh dan saat itu akhir pekan panjang.
Kenekatan kami membeli tiket berdiri, adalah keputusan tergila yang tentunya tak akan saya ulang lagi. Apa itu tiket berdiri? Tiket ekstra yang bisa dibeli dengan harga yang hampir sama, tapi penumpang harus berdiri, tak boleh duduk, karena memang sudah tak ada tempat duduk lagi. Perlu dicatat, ini bukan berdiri di gerbong tempat para penumpang eksekutif duduk ya, tapi di sambungan gerbong, dekat kamar mandi kereta yang baunya aduhai.
Saya tak ingat berapa persisnya harga tiket duduk tersebut, masih di kisaran 200-300ribuan. Tapi yang jelas perbedaan harga tiket duduk dan berdiri tidaklah terlalu signifikan. Tiketnya sendiri bisa dibeli di petugas yang berdiri di dekat kereta, ketika kereta sudah akan berangkat.
Ketika memasuki kereta tersebut kami berhasil duduk di restauran kereta dan mengamankan tiga kursi. Sayangnya, kami tak lama duduk di kursi tersebut karena beberapa penumpang, bapak-bapak, mulai bermunculan dan juga merokok sehingga membuat restauran bau. Ditambah lagi, saat itu tiga perempuan, berada di dekat bapak-bapak bukanlah ide yang bagus. Kami lebih rentan menjadi korban pelecehan apalagi ketika komen-komen dari mulut mereka yang bau alkohol sudah mulai keluar. Heran ya kalau di Indonesia orang mabuk itu jadi suka kurang ajar sama perempuan.
Jadilah kami pindah duduk ke dekat toilet. Hanya ada dua kursi di dekat toilet, kursi lipat, mirip kursi petugas di pesawat terbang. Salah satu dari kami harus duduk di lantai, beralaskan koran. Jangan tanya betapa tak nyamannya, apalagi ditambah dengan bau dari dalam toilet. Tapi momen itu kami bertiga jadi banyak ngobrol tentang hidup, pekerjaan dan juga pria, hingga tentunya kelelahan.
Tidur sendiri menjadi pilihan yang susah, karena kereta eksekutif ini berhenti di banyak stasiun dan banyak pedagang makanan yang mencari pembeli. Para pedagang ini memang tak diperbolehkan naik ke dalam kereta eksekutif, tapi mereka tak kehilangan akal, mereka menekan tombol khusus di pintu yang membuat pintu tak bisa otomatis tertutup.
Begitu pintu terbuka, teriakan nama makanan yang mereka jajakan akan membahana ke seantero gerbong. Wingko Babat, Bakpia Pathuk dan Pecel Madiun menjadi tiga nama makanan yang masih lekat di kepala saya, jangan dilupakan juga aneka minuman. Sisanya saya tak ingat lagi. Yang jelas teriakan perjuangan hidup itu bercampurkan dengan dinginnya malam, AC dari gerbong yang keluar, serta aroma toilet.
Tiket kami sendiri juga dicek oleh inspektur tiket dan agaknya sudah menjadi kegiatan tahu sama tahu jika ada penumpang berdiri. Penderitaan kami berakhir ketika beberapa penumpang mulai turun di kawasan Timur Jakarta dan kursi-kursi mulai kosong. Kami setidaknya bisa tidur sebentar, walaupun terus menerus cemas, karena takut jika kursi tersebut dimiliki oleh orang lain.
Sampai di Malang, kondisi tubuh saya jangan ditanya lagi. Lelah tak terkira dari perjalanan panjang tanpa istirahat, tapi hati bahagia karena sampai di kampung halaman. Pengalaman itu sendiri menjadi pengalaman yang meninggalkan trauma, hingga saya enggan pulang naik kereta lagi. Saat itu saya juga memilih kembali dengan Garuda Indonesia, harus Garuda. Kembali ke Jakarta harus nyaman, setelah tersiksa semalaman.
Pengalaman gila ini sudah tak bisa tak bisa diulang lagi, karena PT. KAI sudah menghapuskan tiket berdiri (thanks God for this). Kalaupun mereka masih menjual tiket ini, saya tak akan pernah mau membelinya lagi, Selain karena ketidaknyamanan, juga karena saya sangsi para penumpang berdiri ini akan dilindungi dengan asuransi. Uang hasil penjualan tiket tersebut juga saya yakin tak tercatat di dalam buku keuangan.
Kalian, punya pengalaman menarik dengan kereta?
xx,
Tjetje
Baca juga pengalaman saya di kereta ekonomi yang manusiawi dan penuh cerita di sini.
Ampun Tje, ga akan pernah berani beli tiket berdiri. Mungkin kalau 2-3 jam sih bisa ya (Eh di kereta sini pernah ding, jadi beli tiket, ga beli seat, tapi itu jangka perjalanan 3 jam), akhirnya dapet seat yang ga di reserve….
We were young and crazy. Engga lagi-lagi deh.
sekarang stasiun dan kereta sudah berubah banget Mbak Tjetje.. Udah ga ada tiket berdiri, pengantar pun ga boleh masuk ke area dalam stasiun, di dalam kereta semua orang harus punya tiket duduk, dan bahkan ekonomii pun udah ada ac dan colokan!! Dipikir-pikir kereta ekonomi sekarang mewah banget dibandingkan 10 tahun yang lalu
That’s a good news, untuk Indonesia yang lebih baik ya.
Aku belum pernah naik kereta ekonomi (baca: belum berani) tapi kmaren pas pulkam naik kereta eksekutif Surabaya-Jogja pp enak banget. Lengkap kok servicenya, di stasiun pun bisa print boarding pass lewat automat kaya di airport. Plus yang menyenangkan adalah onboard servicenya, kalau di KAI bisa pesen nasi rames, kalau di kereta Eropa adanya cuman sandwich hahaha…:
Yang bikin bete: AC nya gila2an banget. Waktu itu kita pake kaos dan celana pendek kemana2 dong ya, taunya menggigil di kereta.
Tetep, selera Indonesia ya. Tapi gara-gara naik kereta itu aku jadi ogah makan makanan mereka. Yikes.
iya ac di dalam kereta emang suka dingin banget Mbak. Apalagi kalau kereta malem, udah pasti bawa jaket tebel XD
Iya waktu kemaren sok pede karena di Indonesia kan panas banget hahaha
Jadi ingat pas waktu kecil sering ke Jakarta ke rumah bulek paklek. Naik kereta ekonomi dari Gubeng. Meskipun di kereta banyak penjaja makanan, tapi Ibu selalu mbontot. Trus kalo mau tidur dan pengen selonjoran, nggelar koran di bawah tempat duduk. Jadi tidurnya dibawah kursi beralas koran tapi bisa selonjoran. Kalo malam, tidurnya di jalan antara kursi. Terakhir naik ekonomi pas interview kerja di Jakarta. Harganya 47.500 (masih inget😅). Setelah di Jakarta, kalo bulan puasa antri tiket sejak sebelum subuh di Gambir atau Senen untuk mudik. Duh masa2 itu, tak terlupa.
Wah kalau pengalaman naik yang ekonomi itu aku pernah yang ke Badui, lebih banyak ceritanya malah.
Selama ini sih masih aman terkendali saat naik kereta. Hehe
Wah syukurlah
Di Belanda berhubung keretanya nggak pakai nomor kursi, jadilah kalau rush hour bisa jadi harus berdiri juga, hahaha. Tapi kan biasanya nggak begitu lama ya, jadi masih bisa ditahan-tahan lah (Asalkan jangan sering-sering aja. Kalau tiap hari harus commute begini mah kibar bendera putih aja deh!). Tapi ya kalau jaraknya kayak Jakarta – Malang ya keterlaluan bener ya, hahaha. Apalagi harga tiketnya nggak beda banyak sama tiket duduk yang resmi >.< .
Untuk kereta super cepat Thalys (layanannya ke arah Belgia/Paris) sih kursinya bernomor jadi aman. Nah untuk kereta super cepat ICE ke Jerman nih kadang bisa dapat "tiket berdiri" juga, yaitu tiket yang mana kita opt in untuk nggak reserve kursi (tapi harga tiketnya dipotong sekian euro), hahaha.
Di sini kursi bernomor pun gak aman Ko. Aku pernah ngalamin orang gak mau give up kursi, padahal itu kursiku. Ajaib.
Gue ga pernah naik kereta api di Indonesia. Kan sering tuh pas di lampu merah pas kereta lewat, duh liatnya ud males duluan.
Nah pas udah ga tinggal di Indonesia lagi sering liat poto2 KAI jurusan sini situ bersih dan murmer. Terbersit tuh keinginan u/ coba naik KAI suatu hr nanti. Mdh2an terwujud.
Pertama kali naik kereta justru di Inggris dan senang sekali dgn kenyamanan dan kebersihannya. Nah pernah sekali masuk gerbong ga liat2 lagi, loh kok kynya lain ya. Ky lbh kinclong gitu. Tapi ah duduk aja, mgkn keretanya baru kali.
Sambil duduk sambil liat2 sekeliling nyinyirin org2 yg “sengak” minum2 wine/champagne. Jiah lagak loooo. Emg pd saat itu gue udh sering liat wanita2 mau muda mau tua bawa2 botol dan gelasnya ke kereta. Niat bangetttt + berisik lg.
Nah mknya g liat org2 seruput2 alkohol ud judes aja tuh. Tapi bedanya mereka calm & collected, obrolannya jg beda; “Did you dive in Khootha?” “No, I dived/dove in Gheelee Thrawanggan.”
Jebbbb, kok sptnya…. Jangan jangan…. Ya Tuhan…..
Gua yg drtd SALAHHHH besarrrr masuk gerbong first classssss!!!!!
Lgsg kan tuh g & bojo pindah ke habitat kami. Trus bojo blg ud gua duga that gerbong was too posh!
Halah luuu, bkn drtd ngemeng, skrg aja baruuuu
🤣🤣🤣🤣
Aku belon pernah sih punya pengalaman kek gitu tapi bisa dibayangkan tidak nyamannya di kereta
Kereta ke bandara di sana udah nyaman banget ya Non?
Bagus bgt Ai. Yg terbaik deh dari Sumut haha. Kata temen2 aku berasa di Jepang 😄
Dulu banget pengalaman pertama naik kereta keluar kota itu ke purwokerto sama teman – teman, naik kelas bisnis. Terus sempet ngerasain naik kereta ekonomi jurusan tanah abang – rangkasbitung diajakin sm temen kantor turun di sudimara tapi sepanjang jalan deg – degan mbak ail krn pintunya gak ditutup sepanjang jalan. Baru berani lagi naik commuter line setelah diyakinkan teman kl udah lebih nyaman terus ketagihan hehehehe
Kali kedua coba naik kereta keluar kota 2 tahun lalu ke malang. Naik bima bareng orang tua dan bawa si kecil yang baru setahun usianya. Nyaman, gak ada yang jualan cm kayaknya harus bawa selimut tambahan 😂.
Orang tua malah pernah coba naik kereta ekonomi ke madiun dengan harga tiket kurang dari 100.000 dan mereka bilang nyaman aja
Nah kereta yang ke Rangkasbitung itu aku pernah naik pas mau ke Badui. Penuh sesak, bau, panas, tapi ceritanya banyak. Biarpun itu kereta ekonomi paling gak nyaman, itu jadi pengalaman Indah banget buat aku.
Dulu, waktu masih TK, aku pernah naik kereta ke rumah Simbah di Kebumen. Waktu itu jamannya pedagang masih boleh masuk gerbong. Tiap ada pedagang naik, aku suka perhatiin. Ada yang jual pecel, mie instan, kopi, dan tahu sumedang. Ya, agak kurang nyaman dengan keberadaan mereka. Tapi, itu jadi pengalaman sendiri.
Kalau sekarang, pedagang udah nggak boleh masuk gerbong.
Pedagang-pedagang itu kalau sudah mau jurusan terakhir banking harga abis-abisan. Aku pernah naik kereta yang ke Rangkasbitung, meriah gara-gara para pedagang.
Wah, sayangnya nggak sempet ngalamin.