Berapa banyak dari kita yang jaman SMA dulu bergosip karena kasus kehamilan pra-kawin yang terjadi di sekolah? Guilty. Saya termasuk salah satu yang pernah mendengar dan bergunjing. Saat itu (dan hingga saat ini), hamil duluan dianggap sebagai aib. Saat dimana orang merayakan kehamilan sebagai kebahagiaan, hamil diluar perkawinan dianggap sebagai hal yang memalukan.
Kehamilan di luar perkawinan dianggap aib, karena banyak hal, tapi yang utama karena sistem sosial kita mendikte pasangan untuk kawin secara legal, atau setidaknya secara agama, sebelum hamil. Mereka yang hamil duluan, tak hanya dihukum secara sosial tetapi juga dipersulit untuk melanjutkan sekolah (jika masih di SMA). Pengecualian bisa diberikan jika orang tua si perempuan mampu bernegosiasi dengan sekolah untuk memberikan ijin melanjutkan sekolah. Itu dulu, sekarang saya tak tahu apakah diskriminasi tersebut masih ada. Tapi saya berharap semoga hari ini sekolah tidak melarang siswi yang hamil untuk mendapatkan haknya, melanjutkan pendidikan.
Gunjingan masyarakat terhadap perempuan yang hamil di luar perkawinan itu kejam. Herannya, perempuan lebih sering disudutkan ketimbang laki-laki. Koreksi, pria justru tidak pernah disudutkan. Ketika terjadi kehamilan, hanya tubuh perempuan yang berubah secara mencolok, otomatis merekalah yang menjadi korban kekejaman masyarakat. Perempuan-perempuan ini kemudian dituduh sebagai pihak yang murahan, tak bisa menjaga diri dan segala hal yang tak enak didengar. Padahal, dalam peristiwa kehamilan pasti ada pihak laki-laki yang terlibat. Saking tak adilnya masyarakat kita terhadap perempuan dan pria, pria tak pernah dituduh murahan, diminta menjaga kesucian, apalagi dilarang sekolah jika menghamili perempuan. Apa iya ini karena perempuan dianggap lebih berharga ketimbang perempuan? Perempuan dan pria kan sama berharganya.
Ketika terjadi hamil di luar perkawinan, tak hanya perempuan dan keluarganya yang digunjingkan dan dihukum secara sosial. Si anak akan selalu diberi embel-embel anak yang lahir di luar perkawinan; at least itu yang tertulis di dalam akta kelahirannya. Anak-anak ini kemudian rentan dicemooh seumur hidupnya. Kejamnya masyarakat kita menghukum anak yang tak tahu apa-apa, padahal mereka sama seperti anak lainnya, sama-sama tak berdosa.
Keputusan perempuan untuk tetap melanjutkan kehamilan, walaupun digunjingkan dan dihukum masyarakat patut dihargai. Eh tapi perempuan yang memutuskan untuk menggugurkan juga tak boleh dicela lho, itu kan tubuh mereka sendiri, jadi mereka berhak memutuskan apa yang akan mereka lakukan terhadap tubuhnya. Ada beberapa solusi yang diambil perempuan dan keluarganya ketika terjadi kehamilan yang tak direncanakan; kawin dengan bapaknya untuk mendapatkan akta kelahiran yang layak salah satunya. Setelah si anak lahir, banyak yang kemudian memutuskan bercerai.
Banyak juga cerita dimana bayi-bayi yang lahir di luar perkawinan diserahkan untuk diadopsi. Hebatnya, ada bidan-bidan yang mau memberikan surat keterangan lahir dengan nama ibu adopsi dan menghilangkan nama ibu kandungnya begitu saja. Jika suatu hari si anak belajar golongan darah di SMA dan sadar kalau dia memiliki golongan darah yang berbeda, bagaimana cara dia mencari tahu orang tua kandungnya?
Adopsi paksa mengingatkan saya pada skandal Magdalene laundry di Irlandia. Awal tahun 1900an, ketika Irlandia masih sangat Katolik (sekarang mereka juga masih sangat religius), tabu bagi perempuan untuk punya anak di luar perkawinan. Perempuan-perempuan yang punya anak di luar perkawinan biasanya dikirimkan ke kesusteran untuk melahirkan bayinya dan pada saat yang sama mereka harus bekerja di laundry kesusteran untu membalas jasa. Bayi-bayi yang lahir di kesusteran, pada jaman itu akan diserahkan untuk diadopsi, hingga ke luar Irlandia. Yang menyedihkan, perempuan-perempuan tersebut, kebanyakan, tak punya akses untuk menghubungi anaknya. Philomena adalah satu dari ribuan kasus dari jaman dahulu yang sempat dibukukan dan difilmkan. Ceritanya tragis, anaknya mencari Ibunya, tapi Kesusteran tak mau memfasilitasi pertemuan mereka. Si anak meninggal tanpa tahu Ibu kandungnya. Hebatnya, Philomena tak punya dendam pada Gereja dan Tuhan.
Tak semua orang menganggap kehamilan sebagai aib yang harus ditutup-tutupi. Banyak perempuan, yang surprisingly punya akses terhadap kontrasepsi, tahu tentang kontraksepsi dan konsekuensi hubungan tanpa pengaman memilih hamil duluan supaya prianya bertekuk lutut. Bahasa halusnya, menggunakan anak sebagai senjata supaya si bapak melamar dan supaya tunjangan dari si Bapak lancar. Nah kalau kehamilan di luar perkawinan saya anggap sebagai kegagalan sistem pendidikan untuk mengedukasi anak-anak muda tentang resiko seks seks pra-kawin, kehamilan direncanakan atau kehamilan untuk senjata ini saya anggap sebagai keberhasilan pendidikan, karena bikin orang jadi pinter banget.
xx,
Tjetje