Revenge Porn (Pornografi Balas Dendam)

Ada yang suka nonton Last Week Tonigh with John Oliver? Coba deh nonton di YouTube, acara ini kocak banget yang menyindir aneka rupa topik, dari mulai soal pemilihan umum di Amerika, kredit dan hutang, hingga soal pelecehan di internet. Dalam episode pelecehan di internet, John Oliver membahas sekilas tentang revenge porn. Topik ini sudah lumayan basi sih, karena sudah dibahas setahun lalu, tapi ya tahu sendiri saya ini kan blogger mood-moodan yang suka mengangkat topik-topik yang hampir basi supaya bisa jadi pengingat kembali.

Anyway, dalam episode tersebut, John membahas tentang pasangan yang putus, kemudian sakit hati dan mengunggah foto-foto atau video seksi ke media sosial untuk mempermalukan pasangannya. Pernah dengar tentang hal ini? Mungkin kalian pernah dengar dari kasus populer Kim Kardashian. Well,  engga bisa disamakan dengan kasus Kim, karena si Kim secara sadar atau setidaknya setuju dengan penyebaran video tersebut untuk mendapatkan populeritas. Sementara revenge porn jauh berbeda, korbannya tak mau photo atau video tersebut disebarluaskan, sementara pelakunya yang bekas orang terdekat dendam kesumat karena kisah cintanya gagal berantakan tak berujung di bawah tenda biru.

Pelaku revenge porn bisa dilakukan oleh perempuan ataupun pria, tetapi dari sebuah tulisan di economist, disebutkan bahwa pelakunya kebanyakan pria. Foto-foto atau video ini kemudian diunggah, tak hanya di media sosial, tapi juga di situs-situs pornografi, lengkap dengan kontak sang korban. KEJAM, KEJAM banget. Kontak yang diberikan bersamaan dengan foto ini kemudian membuat  beberapa korbannya diuber oleh orang-orang tak dikenal.

Nah, dalam episode Last Wek Tonight tersebut, John membahas satu elemen penting bagaimana pihak berwajib di Amerika sana masih ada yang tak tahu bagaimana cara menangani hal tersebut. Iya yo, Amerika yang sering digadang-gadangkan sebagai negara adidaya dan para bule-bule yang masih sering dianggap sebagai para dewa dengan kasta paling tinggi di antara semua makluk di bumi ini. Kebayang kan betapa frustasinya jadi korban dan harus berhadapan dengan mereka yang tak tahu cara menanganinya.

Para korban ini kemudian harus berhadapan dengan kenyataan bahwa foto-fotonya disebarluaskan di banyak web porno di internet, dan harus berjuang untuk membuat foto-foto tersebut dihapus. Di Amerika, untuk melakukan hal tersebut, mereka harus mendaftarkan hak atas foto-foto tersebut (yang mana artinya mereka harus mendaftarkan foto-foto telanjang tersebut) supaya kemudian bisa dihapus dari internet. Pening gak tuh? Di Eropa sendiri perjuangan menghapuskan foto-foto atau video pribadi ini bisa dilakukan melalui the right to be forgotten. 

Panjangnya perjuangan menghadapi hal tersebut dan beratnya konsekuensi sosial yang dihadapi oleh para korban, belum lagi besarnya biaya yang dikeluarkan, seringkali membuat korban-korbannya mengambil solusi cepat, bunuh diri. Tiziana Cantone merupakan salah satu contoh korban revenge porn yang berjuang habis-habisan dan kemudian mengakhiri hidupnya. Di tulisan ini kalian juga bisa menemukan salah satu korban revenge porn yang berjuang habis-habisan untuk memenjarakan mantan pacarnya. Ada satu kesamaan disini, dimana perempuan berada pada posisi yang sangat lemah.

Dalam kondisi begini biasanya kita akan mendengar kelompok-kelompok yang akan menyalahkan para korban dan mengatakan: makanya jangan ambil foto pribadi dan mendistribusikan foto-foto tersebut. Ngok…..para pelaku victim blaming ini gak menyelesaikan masalah malah nyalah-nyalahin korban (dan bukan menyalahkan pelaku). Bagi para korban, foto-foto tersebut diambil dan diberikan pada orang-orang yang mereka percaya, situasi kemudian berubah dan orang-orang tersebut menjadi orang-orang brengsek yang tak bisa dipercaya.

Herannya ya, dari beberapa kasus yang saya pelajari, media lebih banyak mengekpos nama korban dan menyembunyikan nama pelaku. Salah satunya kasus pelecehan seksual terhadap remaja bernama Audrie Pott yang juga bunuh diri karena dilecehkan secara seksual hingga kemudian foto-fotonya disebarkan di internet. Kisah Audrie sendiri difilmkan dalam sebuah documenter berjudul Audrie and Daisy dan diputar pertama kali pada Sundace Film Festival di awal tahun 2016 ini.

Dari kasus-kasus ini saya jadi bertanya-tanya, jika di negeri adidaya seperti Amerika saja para pihak berwajib masih tak tahu bagaimana menangani kasus sensitif seperti ini, bagaimana dengan di Indonesia? Boro-boro ditangani, ada juga para korban yang mengambil foto diri sendiri tanpa sehelai benang sudah terkena pasal UU pornografi lebih dulu. Sungguh berbeda dengan negara tetangga seperti Jepang, atau bahkan Filipina.

Kalian, pernah dengar soal revenge porn sebelumnya?

Xx,
Tjetje

Tentang Keperawanan

Beberapa waktu lalu saya menguping obrolan sore pria-pria. Salah satu dari mereka berbicara tentang perempuan dan keperawanan (dan bagaimana ia mengambil manfaat dari perempuan yang sudah aktif secara seksual, tetapi tetap menginginkan perempuan yang masih perawan sebagai pasangan hidup). Obrolan itu dipenuhi dengan label-label negatif serta pandangan kejam terdap perempuan yang sudan aktif secara seksual (dan belum resmi kawin).  Soal moral juga menjadi bahan pembahasan, moral perempuan tentunya, karena pria ‘tak pernah dihakimi moralnya’.

Label-label kejam yang diberikan termasuk penyamaan perempuan dengan barang yang dianggap bekas pakai sungguhlah sebuah hal yang tak enak didengarkan. Anggapan tentang barang bekas ini berhubungan dengan mitos bahwa perempuan yang masih perawan, selaput daranya masih utuh dan mengeluarkan darah saat coitus. Banyak orang yang menganggap bahwa keperawanan itu identik dengan hymen ataupun selaput darah (ada juga yang menganggap keperawanan tidak pernah bersetubuh). Sungguh kepercayaan yang salah kaprah karena hymen bisa saja rusak karena olahraga seperti berkuda, panjat tebing atau bahkan aktivitas lainnya. Sialnya, mereka belum aktif secara seksual bisa kena getahnya gara-gara setitik darah.

Selain dianggap sebagai barang (bekas pula), mereka yang aktif secara seksual juga dianggap murahan dan tak bermoral. Murahan didefinisikan sebagai mudah dibawa ke atas tempat tidur. Yang menyedihkan, hanya perempuan yang dianggap buruk, sementara pria-pria ‘hanya dianggap nakal’. Tak ada yang memasang ‘label’ mahal, apalagi murah. Konon katanya perempuan itu dianggap lebih berharga dalam lingkungan sosial kita, makanya perlu dijaga kehormatannya. Ketika tak terjaga, maka perempuan dilabeli murahan (dan mahal). Bagi saya, perempuan dan pria itu sejatinya sama-sama berharga. Harusnya masyarakat juga adil, ketika sebagian perempuan dianggap murahan, sudah seharusnya sebagian pria dianggap murahan juga.

Pembicaraan sore yang ajaib itu sebenarnya bisa kita temui di banyak kesempatan dan tak hanya pria yang berbicara mengenai hal seperti itu. Perempuan pun tak kalah kejam kalau ngebahas mereka yang sudah tak perawan. Labelnya sama, malah kadang suka lebih kejam karena satu merasa lebih terhormat daripada yang lainnya. Lalu bisa dijamin ceritanya akan menyebar kemana-mana lengkap dengan jumlah pria yang sudah ditiduri. Setelah itu jangan tanya, sepintar apapun sang perempuan dia akan dilabeli ‘murahan’ hanya karena memilih aktif secara seksual. Sementara mereka yang sampai usia tertentu masih belum aktif secara seksual, apalagi jika emosional, alamat bakal dibicarakan tak tenang karena belum melakukan coitus.

hymen

Obsesi kita terhadap hymen nampaknya berlebihan, mending kalau hanya dengan hymen sendiri, tapi kalau sampai negara ngurusin selaput dara orang lain itu rasanya gila. Di banyak instasi, terutama yang berhubungan dengan keamanan negara, hymen menjadi salah satu satu bahan pemeriksaan dalam seleksi penerimaan. Perempuan harus rela ‘mahkotanya’ di cek, lalu di dokumentasikan ke atas kertas. Bahkan, tak hanya mereka yang ingin mengabdi kepada negara yang harus dicek. Mereka yang ingin menjadi istri tentara pun harus melewati test semacam ini. Ada yang merasa bahagia dan bangga setelah berhasil melewati tes ini, bangga karena bisa membuktikan keteguhan hatinya untuk menjaga kesuciannya. Good for her. Saya pribadi, jika disuruh menjalani tes ini akan merasa sangat terlecehkan, karena kualitas saya ada di dalam kepala, bukan diapit dua kaki saya.

Saking sukanya ngurusin selangkangan orang lain, media kita juga tak malu-malu memberitakan artis A, B, C melakukan operasi untuk ‘mengembalikan keperawanannya’. Sungguh pemberitaan yang tak ada nilai manfaat dan tak menunjukkan kualitas sebagian media kita. Saya lebih tak paham lagi kenapa para artis ini sibuk menceritakan selangkangannya ketimbang pecapaiannya. Oh mungkin tak ada penghargaan yang bisa diceritakan.

Kita bukan satu-satunya yang suka ngurusin keperawanan lho. Di Afrika sana banyak pria yang memperkosa perempuan-perempuan muda karena ada kepercayaan bahwa berhubungan dengan perempuan yang masih virgin akan menjauhkan dari HIV/AIDS. Perempuan-perempuan di banyak negara juga banyak yang mengalami nasib tragis karena dibunuh atas nama honour killing, salah satu alasannya ketika membawa malu keluarga karena tidak lagi perawan.

Kami, yang memiliki pasangan asing, juga tak terlepas dari obsesi orang lain. Saya setidaknya pernah menerima pertanyaan apakah saya masih perawan atau tidak? Sayangnya pertanyaan ini tidak datang dari dokter yang sedang mendiagnosa. Pertanyaan itu bagi saya sangat mengganggu karena terlalu pribadi.

Sopankah bertanya tentang keperawanan orang lain? Kalapun kalian bertanya, kenapa?

xx,
Tjetje
Postingan lama tentang pertanyaan pribadi bisa dibaca disini

Hamil Duluan

Berapa banyak dari kita yang jaman SMA dulu bergosip karena kasus kehamilan pra-kawin yang terjadi di sekolah? Guilty. Saya termasuk salah satu yang pernah mendengar dan bergunjing. Saat itu (dan hingga saat ini), hamil duluan dianggap sebagai aib. Saat dimana orang merayakan kehamilan sebagai kebahagiaan, hamil diluar perkawinan dianggap sebagai hal yang memalukan.

Kehamilan di luar perkawinan dianggap aib, karena banyak hal, tapi yang utama karena sistem sosial kita mendikte pasangan untuk kawin secara legal, atau setidaknya secara agama, sebelum hamil. Mereka yang hamil duluan, tak hanya dihukum secara sosial tetapi juga dipersulit untuk  melanjutkan sekolah (jika masih di SMA). Pengecualian bisa diberikan jika orang tua si perempuan mampu bernegosiasi dengan sekolah untuk memberikan ijin melanjutkan sekolah. Itu dulu, sekarang saya tak tahu apakah diskriminasi tersebut masih ada. Tapi saya berharap semoga hari ini sekolah tidak melarang siswi yang hamil untuk mendapatkan haknya, melanjutkan pendidikan.

Gunjingan masyarakat terhadap perempuan yang hamil di luar perkawinan itu kejam. Herannya, perempuan lebih sering disudutkan ketimbang laki-laki. Koreksi, pria justru tidak pernah disudutkan. Ketika terjadi kehamilan, hanya tubuh perempuan yang berubah secara mencolok, otomatis merekalah yang menjadi korban kekejaman masyarakat. Perempuan-perempuan ini kemudian dituduh sebagai pihak yang murahan, tak bisa menjaga diri dan segala hal yang tak enak didengar. Padahal, dalam peristiwa kehamilan pasti ada pihak laki-laki yang terlibat. Saking tak adilnya masyarakat kita terhadap perempuan dan pria, pria tak pernah dituduh murahan, diminta menjaga kesucian, apalagi dilarang sekolah jika menghamili perempuan. Apa iya ini karena perempuan dianggap lebih berharga ketimbang perempuan? Perempuan dan pria kan sama berharganya.

Ketika terjadi hamil di luar perkawinan, tak hanya perempuan dan keluarganya yang digunjingkan dan dihukum secara sosial. Si anak akan selalu diberi embel-embel anak yang lahir di luar perkawinan; at least itu yang tertulis di dalam akta kelahirannya. Anak-anak ini kemudian rentan dicemooh seumur hidupnya. Kejamnya masyarakat kita menghukum anak yang tak tahu apa-apa, padahal mereka sama seperti anak lainnya, sama-sama tak berdosa.

Keputusan perempuan untuk tetap melanjutkan kehamilan, walaupun digunjingkan dan dihukum masyarakat patut dihargai. Eh tapi perempuan yang memutuskan untuk menggugurkan juga tak boleh dicela lho, itu kan tubuh mereka sendiri, jadi mereka berhak memutuskan apa yang akan mereka lakukan terhadap tubuhnya. Ada beberapa solusi yang diambil perempuan dan keluarganya ketika terjadi kehamilan yang tak direncanakan; kawin dengan bapaknya untuk mendapatkan akta kelahiran yang layak salah satunya. Setelah si anak lahir, banyak yang kemudian memutuskan bercerai.

Banyak juga cerita dimana bayi-bayi yang lahir di luar perkawinan diserahkan untuk diadopsi. Hebatnya, ada bidan-bidan yang mau memberikan surat keterangan lahir dengan nama ibu adopsi dan menghilangkan nama ibu kandungnya begitu saja. Jika suatu hari si anak belajar golongan darah di SMA dan sadar kalau dia memiliki golongan darah yang berbeda, bagaimana cara dia mencari tahu orang tua kandungnya?

Adopsi paksa mengingatkan saya pada skandal Magdalene laundry di Irlandia. Awal tahun 1900an, ketika Irlandia masih sangat Katolik (sekarang mereka juga masih sangat religius), tabu bagi perempuan untuk punya anak di luar perkawinan. Perempuan-perempuan yang punya anak di luar perkawinan biasanya dikirimkan ke kesusteran untuk melahirkan bayinya dan pada saat yang sama mereka harus bekerja di laundry kesusteran untu membalas jasa. Bayi-bayi yang lahir di kesusteran, pada jaman itu akan diserahkan untuk diadopsi, hingga ke luar Irlandia. Yang menyedihkan, perempuan-perempuan tersebut, kebanyakan, tak punya akses untuk menghubungi anaknya. Philomena adalah satu dari ribuan kasus dari jaman dahulu yang sempat dibukukan dan difilmkan. Ceritanya tragis, anaknya mencari Ibunya, tapi Kesusteran tak mau memfasilitasi pertemuan mereka. Si anak meninggal tanpa tahu Ibu kandungnya. Hebatnya, Philomena tak punya dendam pada Gereja dan Tuhan.

unplanned pregnancy

Tak semua orang menganggap kehamilan sebagai aib yang harus ditutup-tutupi. Banyak perempuan, yang surprisingly punya akses terhadap kontrasepsi, tahu tentang kontraksepsi dan konsekuensi hubungan tanpa pengaman memilih hamil duluan supaya prianya bertekuk lutut. Bahasa halusnya, menggunakan anak sebagai senjata supaya si bapak melamar dan supaya tunjangan dari si Bapak lancar. Nah kalau kehamilan di luar perkawinan saya anggap sebagai kegagalan sistem pendidikan untuk mengedukasi anak-anak muda tentang resiko seks seks pra-kawin, kehamilan direncanakan atau kehamilan untuk senjata ini saya anggap sebagai keberhasilan pendidikan, karena bikin orang jadi pinter banget.

xx,

Tjetje