Kamis pagi itu waktu Dublin saya kaget luar biar ketika mendengar ada ledakan bom di Sarinah, Jakarta. Pikiran saya langsung melayang ke sebuah gedung tempat banyak kolega, kenalan dan juga teman-teman saya bekerja. Tak hanya teman-teman, saya juga teringat para penggerak ekonomi pagi hari di sekitar Sarinah. Abang gorengan, tukang taksi, tukang bajaj, tukang palak supir taksi (supir taksi kalau angkut penumpang dari daerah tersebut harus bayar) dan pekerja informal lainnya.
Saat itu saya membayangkan akan ada banyak korban karena kepadatan lokasi. Ternyata, Polisi Indonesia bekerja dengan cepat di area ring 2 ini sehingga jumlah korban dapat diminimalisasi. Bravo banget deh Polisi Indonesia yang bergerak cepat dan sigap untuk mengamankan lokasi dan melumpuhkan korban. Tentunya Polisi Indonesia tak bisa dibandingkan dengan Polisi di Irlandia yang modalnya cuma pentungan sama semprotan merica.
Dari serangan di Starbucks dan juga di Sarinah itu, saya melihat masih banyak sekali perilaku-perilaku negatif yang bermunculan di sosial media, dari mulai nyebarin berita tanpa ngecek dahulu (e.g kematian WN Belanda yang bekerja di UN padahal ybs masih hidup), media bikin berita hoax, foto-foto korban yang berceceran di sosial media bahkan selfie. Konon saking banyaknya yang selfie sampai Polisinya ngeluh. Ah Indonesia.
Tapi di sisi lain, banyak sekali hal-hal positif yang bermunculan dari mulai inisiatif Jakarta Safety Check, Gojek yang gratis, hingga yang nawarin nebeng. Bom kemarin juga memunculkan hashtag kontrovesial #KamiTidakTakut. Bagus sih, ketidaktakutan pada teroris memang harus dipupuk untuk menggagalkan tujuan teroris. Tapi ada baiknya juga dalam kondisi seperti ini untuk menyegarkan kembali ingatan tentang hal-hal yang mesti dilakukan dalam kondisi emergency supaya tidak menambah korban dan bikin tugas aparat semakin rumit.
Ada beberapa tips sederhana dari saya yang ada di kepala dan kebetulan saya ingat. Menghindari bom dan baku tembak tentunya tak semudah ini, tapi semoga tips sederhana ini bisa berguna untuk merubah kebiasaan kita:
- Buat kebiasaan untuk tahu dimana pintu keluar alias emergency exit. Ini kebiasaan penting supaya segera tahu kemana harus keluar, tak hanya kalau ada bom dan baku tembak tapi juga bencana lain, termasuk kebakaran.
- Hindari duduk di dekat jendela. Apalagi jika jendela tersebut dekat dengan alur lalu lintas kendaraan. Memang sih duduk di jendela menyenangkan bisa lihat orang lalu lalang, tapi begitu ada apa-apa, kaca jendela itu kalau pecah, jadi kecil, masuk kulit. Aduh mak gak kebayang deh gimana ngebersihinnya.
- Jika ada ledakan dan bisa lari menghindar, lari menghindar. Gak usah ngetweet dulu ya, lari aja dulu. Nanti kalau sudah selamat baru ngetweet. Gak usah repot bawa barang-barang berharga juga, tinggal aja! Jika sepatu, apalagi kalau hak tinggi, mengganggu juga lepas aja. Prinsipnya sama kayak lari dari pesawat, barang berharga mesti ditinggal.
- Jika kemudian ada baku tembak seperti di Thamrin kemarin, lari juga, jangan repot nonton dan membuat kerumunan. Kalau gak bisa lari sembunyi.
- Kenapa gak boleh repot nonton dalam kejadian bom dan juga tembakan kemarin? Ini logika banget, selain menghindari peluru nyasar juga karena kita harus selalu mengasumsikan ada ledakan kedua dan kerumunan adalah target paling bagus. Ya kebayang kalau di antara orang nonton kemarin itu tiba-tiba ada bom meledak lagi, berapa banyak korbannya? Aparat tambah repot pula kan?
- Kalau mau nolong orang, tolong tapi hanya jika memungkinkan dan jika orangnya tidak dalam kondisi terluka parah. Di Indonesia ada kebiasaan orang terluka, apapun kondisinya pasti dipindahkan, apalagi kalau tabrakan. Padahal ya, memindahkan korban itu bisa bikin kondisi makin parah. Niatnya baik, malah nyakitin atau bahkan ‘membunuh’ orang.
- Speed dial nomor-nomor penting di handphone (e.g Polisi, pemadam kebakaran, ambulans).
Manusiawi kok jika manusia itu penasaran terhadap sebuah kejadian, tapi bukan berarti rasa ingin tahu yang besar ini harus mengalahkan kewaspadaan. Berani sih berani, tapi juga bukan berarti nekat untuk nonton kemudian menantang maut. Btw, ada sebuah artikel menarik yang ditulis Kompas Minggu kemarin, menurut penulis, orang Indonesia itu pasrah dan nrimo. Tapi ya, apa sepadan kalau kemudian jadi korban karena nonton baku tembak. Entahlah, tapi lebih baik kita sama-sama belajar tanpa menunggu ada yang tak sengaja tertembak.
Dalam kondisi seperti di Sarinah kemarin, apa saja hal-hal yang akan kalian lakukan?
xx,
Tjetje