Tahun lalu saya ngobrol dalam banget dengan sepupu tersayang tentang Facebook yang dianggap faedahnya tak ada lagi. Sepupu saya ini tumbuh di tengah berisiknya media sosial, seperti kebanyakan dari kita, tapi kemudian memilih kesenyapan untuk menikmati hidup yang lebih bermanfaat. Dari obrolan itu, saya pun membulatkan tekad untuk tidak ragu-ragu lagi dan mengambil langkah kecil untuk deaktivasi akun di awal 2022.
Topik deaktivasi ini sendiri bukan pertama kalinya saya baca dan dengar, karena banyak teman-teman yang blogger yang membahas soal ini, dan banyak gerakan yang mengajak untuk menghapus profile karena masalah etika. Tak cuma etika, ketika awal pandemi dan kesehatan jiwa kita banyak terkena dampak negatif & media sosial dianggap sebagai salah satu pemicunya.
Melepaskan diri dari SATU (bukan semua) media sosial itu ternyata tidaklah mudah. Padahal hanya satu, bukan seluruh media sosial. Dalam hitungan hari, akun saya kemudian aktif kembali. Begitu terus selama beberapa minggu pertama. Tapi dengan semangat membara, durasi deaktivasi menjadi semakin panjang hingga berbulan-bulan. Tulisan ini sendiri saya jadwalkan untuk tayang menjelang enam bulan deaktivasi.
Saya gak woro-woro rame, cuma beberapa orang terdekat yang tahu saya deaktivasi akun. Selama deaktivasi ternyata muncul wejangan tak diundang yang intinya menuduh langkah saya ini terlalu ekstrem dan seharusnya saya menjadi penonton pasif saja tanpa perlu aktif. Prinsip saya sekarang, kalau saya bisa gemes nonton 2521, kenapa mesti gemes baca status orang sindir-sindiran, kenapa mesti sibuk feeding narsisme orang lain, dan kenapa mesti menghabiskan waktu melihat orang-orang dengan self-esteem rendah yang merasa kesindir gara-gara tulisan blog saya. Mending nonton drama Korea aja…
Paska Deaktivasi
Setelah berhasil deaktivasi selama beberapa bulan, saya kemudian menghapus jejak bersih di Twitter. Seluruh tweets saya hapus, lalu saya membuat beberapa jejak baru, tapi jejak baru ini pada saatnya bernasib sama, saya hapus lagi. Saya juga tak bercuit lagi, cenderung diam dan hanya merespons sekali-sekali saja.
Kembali ke Facebook, sesekali ketika benar-benar diperlukan, saya kembali mengaktivasi akun ini. Biasanya sih dalam hitungan beberapa menit, karena hanya untuk tujuan tertentu, seperti konfirmasi rencana pemakaman (aduh kok morbid banget ya) atau cari tukang rumput. No kepo-kepo juga.
Deaktivasi ini juga membuat saya menyadari ternyata JOMO (Joy of Missing Out) itu lebih menyenangkan. Hidup lebih damai tanpa perlu menonton drama media sosial dan waktu bisa dihabiskan untuk fokus menikmati hidup, uyel-uyel anjing dan mencari hobi baru. Siapa tahu di hobi baru ini bisa tee off bareng Wooga Squad (halu lagi!).

Deaktivasi juga tak membuat kehilangan teman atau eks-kolega, karena mereka yang benar-benar teman (bukan yang sekedar kepo pengen tahu status terbaru kita) akan kontak langsung untuk bertukar kabar atau bahkan mengirimkan undangan kumpul-kumpul melalui media lain. Syukurnya teman-teman saya gak ada yang parno dan bikin drama ujug-ujug menuduh diblok atau diunfriend.
Teruntuk kalian semua yang menginspirasi langkah kecil ini, terima kasih. Semoga saya semakin terinspirasi untuk naik ke level hapus tanpa penyesalan.
xoxo,
Tjetje
Engga anti media sosial.