Diskriminasi Dunia Kerja

Dalam sebuah sesi pekerjaan yang saya hadiri di Jakarta beberapa tahun lalu, tantangan bagi para penderita disabilitas untuk mendapatkan pekerjaan di Indonesia ada beberapa. Dari mulai akses fasilitas hingga stigma yang melekat. Di sebuah pabrik di Jawa Timur bahkan ada yang enggan mempekerjakan orang dengan disabilitas karena takut masyarakat menganggap kerja di pabrik itu mengakibatkan disabilitas. Tak heran jika kemudian perusahaan (termasuk negara) sering mencantumkan kalimat sakti “sehat jasmani dan rohani” untuk mendiskriminasi penyandang disabilitas. Padahal mereka juga sehat-sehat lho.

Diskriminasi karena disabilitas bukan satu-satunya diskriminasi yang timbul karena mencari pekerjaan. Beberapa yang saya catat termasuk tinggi badan, kecantikan, status perkawinan, kehamilan, jenis kelamin, hingga latar belakang ras dan agama.

Tinggi Badan 
Di banyak lowongan pekerjaan yang ditulis di koran atau media lainnya, minimal tinggi badan menjadi salah satu ketentuan yang dicari oleh pemberi kerja. Biasanya tinggi badan minimal yang diperlukan 160cm. Untuk pekerjaan seperti pramugari sih saya paham betul karena pramugari harus memiliki jangkauan tangan tertentu untuk meraih head compartment. Tapi yang saya kurang paham, bagaimana orang-orang yang kurang tinggi, seperti saya harus dibatasi kesempatannya untuk menjadi SPG ataupun front line staff. Mungkin saja persyaratan ini erat kaitannya dengan persepsi konsumen yang tak menganggap serius orang yang kurang tinggi. Atau mungkin, target market para SPG dan front line staff tersebut para raksasa yang tak mungkin digapai jika tubuh hanya 1.5 meter.
Akibat dari diskriminasi ini, orang-orang bertubuh pendek diidentikkan dengan kecerdasan. Saya tak tahu apakah ini benar atau tidak, tapi yang jelas yang bertubuh pendek harus lebih rajin belajar supaya bisa masuk jajaran manajemen.

Berpenampilan menarik
Nah ini salah satu persyaratan mencari pekerjaan lain yang bagi saya mengganggu karena definisi menarik itu sangatlah relatif. Selain itu persyaratan ini saya lihat sebagai bentuk patriarkis. Maunya disuguhi perempuan-perempuan cantik. Cantiknya pun menggunakan standard tak jelas, seperti kulit putih, tubuh tinggi, rambut lurus. Padahal, semua perempuan itu cantik dan menarik.

Angelina Jolie misalnya bisa dianggap menarik dan cantik oleh Brad Pitt dan para fansnya. Tapi bagi saya ia tak menarik sama sekali. Lha kalau sudah gitu, apakah Angelina Jolie tak patut dipekerjakan kendati memenuhi kualifikasi?

Urusan kelamin dan rahim
Jika para Tante dan Oom sering berlomba menanyakan status hubungan dengan kekasih yang tak kunjung resmi, para pemberi kerja justru sebaliknya. Tak ingin sebagian calon pekerjanya segera menikah. Kesiapan untuk tidak menikah selama beberapa tahun ini kemudian dikunci dalam perjanjian kerja yang membatasi ruang. Saya menduga lahirnya kebijakan ini karena sering terjadi pengunduran diri dari pegawai setelah menikah. Nah MUI tuh daripada ngurusin yang engga-engga, harusnya mengurusi pembatasan hak yang seperti ini.

Urusan lain yang tak menjadi hak perusahaan untuk mengurus adalah urusan penggunaan rahim. Perusahaan tak mengijinkan pegawai perempuannya untuk hamil dalam periode tertentu (sementara pegawai pria dibebaskan untuk menghamili pasangannya?). Padahal urusan penggunaan rahim adalah urusan pemilik tubuh, bukan urusan pemberi kerja. Pada saat yang bersamaan, ada tempat-tempat kerja tertentu yang tak mau menerima perempuan yang hamil (dan memilih pria) sebagai pekerja karena keengganan memberikan cuti hamil. Mereka menganggap memperkerjakan perempuan hamil itu “merugikan”.

Ajaibnya, saya pernah tahu beberapa perempuan yang marah-marah karena hal ini. Bukan karena tak dipekerjakan tapi karena mereka tak mau memperkerjakan perempuan hamil. Sesama perempuan lho. Ya jangan heran kalau kemudian banyak yang menyembunyikan status pekerjaan anda atau status kehamilan, karena perusahaan seringkali mempertimbangkan kondisi ini sebagai dasar menerima atau menolak kandidat. Sebuah diskriminasi yang tak dialami oleh pria.

Btw, aturan ini muncul, saya rasa, karena mereka yang membuat kebijakan ini lahirnya dari telur yang dierami. Begitu lahir mereka bisa langsung berhamburan seperti anak ayam, sehingga mereka tahu tahu jika perempuan hamil perlu waktu untuk mengurus bayi menjelang dan setelah kehadiran sang bayi.

Urusan agama dan kesukuan
Ada satu anggapan bahwa salah satu institusi keuangan di sebuah negeri ini lebih memilih memperkerjakan orang-orang dari latar belakang tertentu dan keberagaman di institusi tersebut kurang. Saya tak pernah bekerja di institusi tersebut, sehingga tak bisa memberikan komentar lebih jauh. Tapi anggapan ini beredar kencang di masyarakat kita, hingga nama institusi ini pun diplesetkan menjadi nama suku tertentu.

Ketika mengunjungi Papua, salah satu partner yang kami temui pernah berkeluh kesah tentang kesulitan yang dihadapi oleh generasi kedua transmigran. Di Papua sana, prioritas menjadi PNS diberikan kepada putra daerah, bukan kepada seluruh warga Papua. Pemberian prioritas ini bagus, untuk memajukan orang-orang Papua. Tapi kemudian timbul masalah anak-anak transmigran generasi yang besar dan tumbuh di Papua kesulitan mendapatkan pekerjaan sebagai PNS. Situasi ini serba salah, karena sang anak memang tidak memiliki karakteristik Papua tapi pada saat yang sama mereka tak punya ikatan dengan kampung halaman sang orang tua.

Menariknya, saya justru pernah menemukan lowongan pekerjaan yang dikhususkan kepada pemeluk agama minoritas. Analisis saya sih mereka dicari karena terkenal jujur dan tak mau mencuri, sehingga bagus untuk bisnis. Tapi, kejujuran seharusnya tak mengenal agama atau suku tertentu.

Diskriminasi dalam mendapatkan pekerjaan tak hanya terjadi di Indonesia saja, tapi di berbagai belahan dunia. Bahkan negara maju seperti Perancis pun masih bergulat dengan isu ini. Ah semoga saja Indonesia bisa segera melihat masalah ini dan melakukan sesuatu ya.

Bagaimana dengan kalian? Pernah menghadapi diskriminasi untuk mendapatkan pekerjaan?

Xx,
Tjetje

Dikriminasi Bangsa Sendiri

Kemarin siang saya ngobrol-ngobrol sama temen sebilik kerja tentang diskriminasi di negeri sendiri. Temen saya ini baru aja belanja di sebuah supermarket premium. Ketika itu, dia ngantri dilayani tukang daging. Ternyata, selesai melayani orang Jepang, si tukang daging ini nggak mau ngelayani temen saya dan malah memanggil anak baru untuk melayaninya. Entah apa alasannya, yang jelas temen saya emang asli Indonesia dan penampilannya biasa-biasa aja (baca: nggak pakai high heels, rambutnya bukan hasil dikeringkan di salon, matanya bebas bulu mata palsu, nggak nenteng tas mewah, tapi juga gak nenteng tas KW)

Belum juga selesai ngomel tentang perlakuan beda yang diterima oleh teman saya, eh tiba-tiba kemarin mendengarkan kalau Bapak Duta Besar Indonesia untuk Iran, Bapak Dian Wirengjurit, diperlakukan tak baik oleh ground staff nya perusahaan penerbangan Emirates. Pak Dubes memilih jalur biasa-biasa aja, tanpa meminta perlakukan khusus. Biasanya, pejabat Indonesia itu urusan penerbangannya ditangani oleh protokoler dan  mereka tinggal naik ke atas pesawat aja. Bahkan kalau telat, protokolerlah yang akan “ngeganjel ban” pesawat dan bikin satu pesawat nungguin.

Pak Dubes dengan sukses gak disambut ramah oleh staff ground Emirates, mbak Dwi Nopiawati yang juga asli Indonesia. Beliau menduga ini terjadi karena bawaannya yang banyak banget. Masih menurut Pak Dubes, Mbak Nopiawati ini melayani Pak Duta Besar dengan ketidakramahan khas Indonesia, tapi begitu tamu bule yang muncul si mbak langsung baik hati.

Berita-berita yang diturunkan di media Indonesia sementara ini baru memaparkan pendapat dari sisi Pak Ambassador dan belum menyampaikan pembelaan dari Mbak Dwi Nopiawati ataupun Emirates (PRnya Emirates dimana sih kok lelet banget ngasih statement?).

Ngomongin soal diskriminasi, sadarkan kita kalau didiskriminatif di negeri ini SERING dilakukan oleh orang Indonesia terhadap orang Indonesia. Menurut saya, orang-orang dengan wajah asli Indonesia (baca: rambut keriting, tinggi biasa-biasa saja, badan nggak slim dan kulit sawo matang) malah jauh lebih rentan terhadap diskriminasi karena dengan semena-mena diidentikkan dengan kemampuan ekonomi dan daya beli yang lemah.

Stop discrimination

Saya termasuk yang sering didiskriminasi dan diperlakukan tak ramah, apalagi kalau lagi nggak dandan dan banyak nanya tentang produk yang harganya tak murah. Ajaibnya, perilaku diskriminatif ini tiba-tiba nggak akan muncul ketika kita dandan. Saya pernah iseng mencoba mengetes layanan sebuah vendor, hasilnya kalau dengan dandan cantik, parfum yang bisa kedeteksi dari jarak sekian meter dan  kacamata hitam di kepala, pelayanan akan jauh lebih ramah. Jadi jangan heran kalau orang Indonesia suka dandan abis-abisan walaupun cuma buat keluar beli cabe segenggam.

Selain harus berdandan cantik, untuk mengurangi kemungkinan didiskriminasi pakailah bahasa Inggris. Agak sok sih, tapi pelayanan berubah 180 derajat ketika kita pakai bahasa Inggris. Komplain cepet ditanggapi, minta perbaikan ini itu juga lebih cepet direspons. Padahal bahasa Inggris saya itu medok dan tak sempurna. Rupanya, bahasa Inggris awut-awutan bukanlah masalah. Mungkin disangka yang komplain bule, jadi langsung diprioritaskan.

Anyway, ada satu lagi hal yang tiba-tiba bikin seluruh jagad raya jadi super ramah pada perempuan berkulit kelam dan bersandal jepit (macam saya), cukup gandeng aja bulenya.  I kid you not, sudah banyak orang Indonesia yang dilayani dengan tidak ramah karena jalan sendiri, eh begitu pasangan WNAnya muncul pelayanan berubah 180 derajat. Saya menyebut hal ini sebagai power of bule. Asal bule yang muncul layanan jadi ramah dan urusan apapun jadi lancar.

Saya sendiri pernah berada di dalam sebuah pertemuan resmi dengan orang yang sudah menggondol aneka rupa gelar akademik. Setelah selesai pemaparan tentang sebuah program, pendapat saya tak diminta, yang diminta malah pendapat orang berambut pirang yang kebetulan lagi belajar kerja, alias magang. Sampai pertemuan selesai kami yang WNI (dan kami berdua sama-sama menyadari) tak pernah ditanya pendapatnya. Segitu nggak berartinya ya pendapat orang Indonesia?

Wahai saudara-saudaraku sesama orang Indonesia, jangan silau dan membeda-bedakan perlakukan kepada orang asing dan orang orang lokal. Sesungguhnya kita sama-sama manusia, apapun ras dan warna kulitnya.

Surat Pak Dubes soal ini bisa dibaca di sini.

Catatan tambahan: ada informasi dari beberapa sumber (termasuk dari beberapa komentar di bawah) bahwa ternyata yang arogan adalah Bapak Duta Besar. CCTV nya belum dikeluarkan, tapi semoga segera dikeluarkan oleh Emirates agar mematahkan dugaan saya di atas dan membersihkan nama Mbak Dwi.

Salah satu komentar di bawah dari PR Companynya. Semoga cepet diselesaikan tanpa drama.

PR Emirates

xoxo,
Tjetje