Pertanyaan susahnya mengajak bule ke pelaminan merupakan pertanyaan populer yang sudah pernah saya bahas sekilas di postingan ini dan juga pernah dibahas beberapa blogger seperti Mbak Yoyen dan Noni. Tapi pertanyaan ini tak pernah basi dan herannya masih sering ditanyakan. Saya melihat, penanya biasanya sedikit frustasi karena pasangannya yang orang asing enggan untuk untuk segera mengikat janji. Saya mencoba merangkum dan membahas beberapa hal yang saya anggap sebagai alasan untuk merusak hubungan dan tentunya menghambat proses hubungan percintaan naik ke pelaminan. Perlu dicatat, saya bukan ahli yang berhasil mengajak banyak pria asing ke pelaminan, ini murni hasil observasi iseng-iseng saya dan mendengarkan beberapa curhatan kawan-kawan ekspat saya di Jakarta.

Baru kenal udah cepet-cepet ngajak kawin
Di Indonesia, perkawinan memang menjadi sebuah tujuan hidup dan pencapaian. Tak heran mereka yang memiliki pacar biasanya punya satu tujuan dan berlomba-lomba untuk segera minta dikawini. Kadang-kadang, disertai ultimatum putus jika janur kuning tak segera dilengkungkan. Bagi banyak pria-pria asing, hal-hal seperti ini membuat mereka mundur. Pertama, mereka mundur beberapa langkah, kemudian setelah dinilai aman, mereka akan lari terbirit-birit tak menoleh lagi ke belakang. Apalagi jika hubungan tersebut baru seumur jagung.
Salah satu argumen yang sering digunakan untuk urusan kawin ini adalah soal keseriusan atau tidak. Jika dalam usia hubungan yang baru hitungan bulan itu tak segera diajak kawin, maka si pria dituduh tak serius. Ya ela, padahal di banyak negara, kawin itu tak semudah membalikkan telapak tangan dan menandatangani secari kertas. Ada tahapan-tahapan dulu yang seringkali melibatkan tinggal bersama sebelum memutuskan bahwa mereka adalah pasangan yang benar-benar cocok. Kawin dimana-mana tak murah dan cerai, lebih nggak murah lagi. Jadi banyak yang kemudian sangat berhati-hati. Dipikirkan baik-baik dan pilihan pun perlu dimatangkan dulu. Makanya jangan heran kalau banyak yang kabur kalau dipaksa-paksa kawin cepet.
Nyuruh pindah agama
Urusan agama di Indonesia memang ribet. Negara tak mengakui perkawinan beda agama. Satu-satunya yang saya tahu memperbolehkan perkawinan beda agama adalah gereja Katolik, dengan perjanjian anak-anak yang lahir akan dibesarkan secara Katolik. Tapi kawin di gereja pun tak mudah, karena secara administrasi perkawinan masih harus dicatatkan menjadi satu agama. Karena sistem adminsitrasi dan juga agama yang melarang perkawinan beda agama, banyak yang kemudian meminta atau bahkan pasangannya untuk pindah agama. Jika pasangan tak mau pindah agama dituduh tak cinta, sementara dirinya sendiri yang mengklaim mencintai pasangan gak mau pindah agama. Double standard jadinya.
Cerita bule-bule pindah agama memang banyak, banyak juga yang sukses menemukan kedamaian di agama barunya. Good for them. Tapi banyak juga yang susah diajak memeluk atau pindah agama, apalagi mereka yang atheis atau yang besar di negara yang sangat relijius dengan satu agama.
Bicara tentang pindah agama jadi mengingatkan saya pada beberapa orang asing yang sakit hati luar biasa karena urusan sunat maksa. Bagi orang dewasa, pindah agama itu tak mudah, apalagi kalau harus diikuti keputusan memotong bagian dari kelamin. Memotong kulit ini memang tak semudah motong kuku, jadi diperlukan pendalaman agama dan pendalaman agama itu butuh proses, tak instan. Tapi ada kasus-kasus dimana keluarga tak memikirkan perasaan si pria, lalu si pria tiba-tiba dijebak dan diserahkan ke dukun sunat. Modyar, tanpa ba bi bu keluar dari ruang dukun sunat sudah kehilangan secuil anggota tubuh ditambah lagi dengan rasa nyeri. Kebayang gimana jengkelnya? gondoknya membekas sampai sisa hidup!
Minta duit
Topik lama, tapi layak diulang kembali biar banyak yang tahu kalau minta-minta duit sama bule itu bikin susu sebelanga rusak semua. Banyak orang asing yang lama-lama gerah juga kalau masih pacaran sudah dijadiin sapi perah, buntutnya sebagian perempuan Indonesia jadi identik dengan tukang minta-minta, apalagi minta duit untuk ngasih keluarga, encing, babah, tetangga dan juga temen.
Memberi uang untuk keluarga memang menjadi tradisi bagi sebagian orang Indonesia dan tak ada yang salah dengan hal tersebut. Tapi hal serupa tak semestinya diharapkan pada bule karena budaya memberi uang ke seantero dunia, seperti Olo Panggabean*, tak eksis. Ketika ada ekpektasi mereka harus menghidupi keluarga ekstra di Indonesia, beberapa memutuskan untuk balik badan dan jauh-jauh dari ide pelaminan. Ini salah satu topik sensitif yang saya tahu banyak merusak hubungan percintaan, bahkan perkawinan orang.
Hal yang juga jadi perhatian adalah ekspektasi “gaya hidup mewah” yang dianut sebagian kecil orang-orang yang memiliki pacar orang asing. Lucunya, banyak yang nodong pacar, bahkan nodong pacar bayarin makan temen-temennya hanya untuk menujukkan kekuatan ekonomi. Capek-capek kerja untuk bayarin orang satu desa.
Tukang ngelarang dan pencemburu
Harus diakui memang di Indonesia punya pasangan orang asing itu pusingnya gak karu-karuan, banyak bule hunter yang berkeliaran dimana-mana yang siap menyergap bule, baik yang masih lajang, suami orang, masih muda atau yang sudah tua banget sekalipun. Mereka tersebar dimana-mana, dari tempat fotokopi hingga hotel dan restaurant mewah. Tapi bukan berarti ini menjadi alasan untuk cemburu lalu melarang dan tentunya mengekang.
Konsep cemburu juga seringkali dilencengkan sebagai bukti cinta, padahal, bagi kebanyakan warga dunia cemburu adalah perwujudan rasa tidak aman yang tak semestinya dipupuk. Cemburu sedikit mungkin bisa dianggap sebagai hal yang lumrah, tapi cemburu berlebihan apalagi cemburu dengan masa lalu bikin hubungan runyam. Parahnya, kecemburuan ini seringkali diikuti dengan stalking dan snooping sungguh bikin pria makin cepet kaburnya.
Sebenarnya ada pertanyaan besar yang patut ditanyakan sebelum mengajak mereka ke pelaminan, kenapa sih mesti buru-buru? Takut hilang? Kalau memang jodoh tak kemana-mana kok.
xoxo,
Tjetje
*Olo Panggabean: raja judi dari Medan yang terkenal sangat dermawan.


