Di Jakarta (dan juga kota-kota lain), banyak perempuan yang masih lajang kendati usianya sudah “kepala tiga”. Alasan melajang bermacam-macam, ada yang memilih untuk melajang karena memang tak ingin kawin atau tak percaya institusi perkawinan. Ada juga yang ingin kawin, tapi karena negeri ini tak mengijinkan perkawinan sesama jenis, maka mereka tak bisa mendapatkan haknya. Selain itu, banyak yang inging kawin, tapi jodohnya belum datang.
Lingkungan kita sangatlah tidak ramah pada perempuan lajang dan cenderung lebih permisif kepada pria. Alasannya apalagi kalau bukan jam biologis? Perempuan dipaksa cepat-cepat kawin supaya bisa cepat beranak. Memilih tidak memiliki anak dianggap satu hal yang tak umum dan cenderung dicibir. “Wajar”, karena banyak orang masih beranggapan “perempuan itu wadah sperma” (bayangin aja muka saya waktu seseorang yg saya kenal mengatakan ini pada saya!). Bukannya saya tak terima dengan peran terhormat perempuan sebagai penerus garis keturunan, tapi peran perempuan itu lebih dari sekadar menampung sperma.
Selain urusan jam biologis, perempuan bekerja juga sering dihimbau supaya tak terlalu sibuk bekerja dan tentunya tak terlalu sukses. Nanti jodohnya menjauh. Aduh, kalau jodohnya anti-perempuan sukses ya mendingan gak usah berjodoh aja lah. Hari gini masih takut lihat perempuan maju? Lagipula, ketemu jodoh dalam kesibukan dan kesuksesan itu memungkinkan kok. Ketemu jodoh pas rapat, pas ketemu klien atau bahkan naik kereta pulang ke rumah pun juga bisa.
Seakan tak cukup, perempuan lajang juga sering dituduh sebagai perempuan yang terlalu pemilih. Defisini terlalu pemilih pun bagi saya tidaklah jelas. Lagipula, beli mangga saja harus memilih, kenapa giliran mengawini pria untuk seumur hidup tak boleh terlalu pemilih?
Apakah kemudian mempunyai kriteria-kriteria tertentu dianggap terlalu pemilih? Kalau di Jawa (maaf saya bukan Jawanisasi, tapi saya tahunya cuma ini) ada prinsip bibit,bobot,bebet dalam memilih pasangan. Bagi saja sangatlah wajar jika perempuan mencari pria harus yang datang dari keluarga baik-baik, biar hidup tak penuh dengan drama keluarga. Tak ada yang salah juga jika mencari pria yang bisa menghidupi keluarga tapi memilih pria yang tak bekerja untuk menjadi bapak rumah tangga juga tak apa. Pendidikan pasangan juga harus menjadi faktor penentu, karena seringkali pendidikan yang tak berimbang membuat pembicaraan tak nyambung. Mau seumur hidup gak nyambung terus?
Kalau kemudian para kandidat tak memenuhi kriteria dan si lajang memutuskan mengakhiri penjajakan, apa ya terus mereka berhak dilabeli sebagai orang yang terlalu pemilih? Settle for less, alias kawin aja walaupun sang pria jauh dari kriteria, menurut saya, bukanlah pilihan. Lagipula, banyak perempuan cenderung fleksibel dengan kriterianya ketika ada chemistry dan bibit cinta yang kuat.
Saya selalu berprinsip bahwa perempuan berhak menentukan apa yang ingin ia lakukan dengan tubuh dan hidup. Lingkungan sosial, sedikit banyak mempengaruhi, tapi jangan pernah biarkan lingkungan mengambil kontrol hidupnya. Begitu juga dengan urusan perkawinan, kalau belum menemukan jodoh yang cocok untuk apa memaksakan diri? Daripada mengawini orang yang salah dengan alasan pengen cepat-cepat kawin, lalu melukai diri sendiri selama perjalanan perkawinan, mendingan single dulu deh.
Memilih pasangan yang berkualitas itu berdampak pada kualitas hidup selama bertahun-tahun. Jadi biarkan mereka mengambil sebanyak-banyaknya hidup mereka untuk memilih kualitas yang mereka mau. Toh ini adalah hidup mereka!
xx Tjetje Lagi banyak tanya PS: video menarik tentang perempuan yang dituduh picky bisa dilihat disini