Serba-Serbi Tampon

Kendati tema postingan ini tentang tampon, pembalut dan perempuan, ada baiknya juga pria ikut membaca karena di paragraph paling akhir ada cerita menarik tentang seorang pria dan pembalut. Tapi kalau gak tahan, scroll down aja dan langsung baca cerita tentang si Bapak.

Seseorang pernah bertanya pada saya, mengapa perempuan-perempuan bule lebih nyaman menggunakan tampon ketimbang pembalut? Jawaban saya (lagi-lagi ngaco pinter), selain karena tampon mudah didapat dan merupakan barang yang umum di luar Indonesia sana, juga karena tampon memberikan kenyamanan untuk beraktivitas. Bagi perenang apalagi, bisa bebas berenang tanpa rasa cemas. Selain itu, tampon juga relative tak lembab seperti pembalut. Eh tapi gak semua bule pakai tampon lho, ada yang pakai pembalut dan ada juga yang pakai menstrual cup.

Iklan tampon OB

Iklan tampon OB

Wajarlah kalau kemudian ada yang nanya tentang tampon sama saya. Banyak perempuan di negeri ini yang tak tahu apa itu tampon. Kebanyakan perempuan Indonesia memang menggunakan pembalut pada saat menstruasi. Sementara perempuan pada masa lalu, menggunakan kain putih, semacam popok. Kemarin waktu ke Papua dan Badui harusnya saya bertanya apa yang digunakan perempuan asli Papua dan perempuan-perempuan Badui.

Bagi yang belum tahu, tampon adalah penyerap darah ketika menstruasi yang bentuknya mirip dengan peluru gendut. Kalau masih tak bisa membayangkan, bayangkan saja spidol marker dibagi tiga, lalu diberi tali. Tak seperti pembalut yang ditempelkan di celana, tampon dimasukkan ke dalam lubang keperempuannan (maaf gak mau ditulis namanya nanti diblokir sama Tiffie). Ada banyak cara memasukkannya, untuk yang ahli, bisa langsung dengan tangan. Sementara bagi pemula bisa menggunakan applicator plastic ataupun applicator kertas. Bagi saya, aplikator plastik ini sangat tak ramah lingkungan, tapi ramah bagi pemula karena lebih mudah dimasukkan. Silahkan digoogle kalau penasaran.

Saking jarangnya peminat tampon, di Indonesia, tampon hanya bisa ditemukan di Jakarta dan di Bali. Saya belum pernah menemukannya di kota lain. Di Jakarta pun, hanya supermarket besar, seperti Grand Lucky yang menjual tampon. Sementara di Bali, swalayan-swalayan kecil pun menjual. Harganya jangan ditanya, mahal. Satu kotak berisi sepuluh buah bisa dijual hingga 60 ribu rupiah, sementara di luar sana hanya dua euroan saja.

Kenapa tampon susah ditemukan di Indonesia? Selain karena rendahnya permintaan dan harganya mahal, tampon saya duga tak popular karena cara memasukkannya. Tahu sendiri kan di Indonesia keperawanan adalah segala-galanya. Salah satu indikator keperawanan adalah utuhnya selaput hymen, nah kalau pakai tampon ada resiko hymen sobek, lalu dianggap nggak perawan lagi deh. Padahal kalau olahraganya berkuda, panjat pohon rambutan, panjat pinang pas tujuh belasan juga bakalan robek kok, walaupun tipe robekannya beda. Ya tapi image di Indonesia kan segala-galanya. Anyway, tampon ini sangat tak direkomedasikan bagi para perempuan-perempuan yang harus menjalani test keperawanan untuk menjadi istri tentara *feminis-pun mengelus dada*

Konon, tampon juga bisa menimbulkan alergi. Tapi, tampon juga bisa bikin orang jadi terkenal. Dulu di Malang ada pelajar Jepang yang tamponnya gak bisa dikeluarkan, mungkin benangnya putus. Alhasil, tampon itu harus dikeluarkan oleh dokter dan si mbak pelajar jadi ‘terkenal’ kemana-mana. Selebriti tampon judulnya.

Btw, bersyukurlah kalau kita bisa punya uang untuk beli tampon, ataupun pembalut, karena banyak orang di India sana (dan di banyak negeri miskin sana) yang tak bisa membeli pembalut. Nggak percaya, baca sendiri disini.

Xx,
Tjetje