Anak Kost dari Neraka

Judul postingan ini memang agak provokatif karena saya menyadur bahasa Inggris “Lodger from Hell”. Ceritanya, saya yang sedang menjadi ibu kos ini harus berhadapan dengan anak kos yang kelakukannya aneh-aneh. Berhadapan dengan anak kos bukanlah hal yang aneh buat saya, karena ibu saya juga pernah menjadi ibu kos. Mereka yang pernah ngekos di rumah saja ada yang super baik ada pula yang kelakukannya ajaib. Keajaibannya bermacam-macam, dari yang tak menyeterika pakaian dan meletakkannya di bawah kasur supaya lurus (dan ternyata pakaiannya rapi), hingga yang mencari oom-oom di pinggir jalan (untuk bayar kos!).

Anak kos pemburu oom-oom ini satu ketika berada di pinggir jalan utama tak jauh dari kediaman kami. Saat itu ia berdiri berdua bersama seorang anak kos yang cukup relijius. Entah bagaimana, tiba-tiba sang anak kos berhasil menghentikan Oom-oom di pinggir jalan hingga kemudian terjadi proses tawar-menawar. Transaksi pun disetujui dan pemberian jasa akan dilakukan di kota tahu, Kediri. Anak kos relijius yang terseret dalam transaksi itu tak mau terlibat dan minta diantarkan kembali pulang. Sebelum turun meninggalkan kendaraan, ia diberi uang 250.000 rupiah. Peristiwa ini membekas sekali di kepala saya, karena Mbak yang kejatuhan uang ini mengajak saya nonton dan mentraktir saya belanja. Prinsipnya uang tersebut harus dihamburkan dan jaman itu, menghamburkan 250.000 begitu susah. Bagaimana tak susah jika ongkos nonton bioskop saja masih 2500 saja. Lebih membekasnya, anak kos yang dibawa oom-oom itu baru pulang keesokan harinya, dan langsung membayar uang kos yang sudah terlambat selama berhari-hari. Hidup itu keras!

Jika ibunda saya menampung anak-anak kost dari berbagai sudut nusantara yang penuh drama, saya menjadi ibu kos internasional. Anak-anak kos yang tinggal bersama kami berasal dari aneka rupa negara. Baru-baru ini, salah satu anak kos saya dideportasi karena keseringan bolos. Anak kos ini memegang visa pelajar bahasa Inggris, tapi jika bertemu dengan kami ia dia seribu bahasa karena tak bisa bahasa Inggris. Komunikasi hanya bisa kami lakukan dengan pasangannya yang orang Spanyol. Tak lama setelah ia diderpotasi, pasangannya kembali ke negaranya. Rupanya mereka berdua memang berada di Irlandia supaya bisa pacaran. Ah pacaran kelas internasional nih!

Kamar yang kosong ini kami sewakan kepada seorang pendatang baru di Irlandia. Dari mulai hari pertama, mbak ini sudah ‘berulah’ karena tak punya selimut di kamarnya dan tak mau beli selimut sendiri. Di negara dia sewa kamar sudah termasuk selimut, tapi masalahnya kita berada di Irlandia. Urusan gak mau modal ini ternyata masih berlanjut karena dia gak punya kabel colokan. Alih-alih permisi minjam, dia buka lemari di living room kami dan makai kabel tanpa permisi. Tiap kali kabel diminta, besoknya diambil lagi tanpa permisi. Alhasil kalau saya perlu, saya yang harus kerepotan.

Satu hal yang tidak saya prediksi, ia datang dari tempat yang dikelilingi laut, otomatis kalau ngomong saingan sama ombak. Suatu kali di tengah malam yang sunyi, anak kos ini menyalakan musik kencang-kencang. Ditegur, boro-boro minta maaf, ngerespons aja engga. Kalau bicara di telpon, atau skype juga tak kalah kencangnya dan tak kenal waktu. Kalau ketawa, ampun deh kenceng banget kayak nenek sihir. Buka dan nutup pintu juga gitu, gebrak-gebrak tak bisa pelan. Parahnya, sudah dipanggil, didudukkan dan ditegur, masih aja gak bisa mengecilkan suara. Emang suara itu bawaan orok, saya pun sebagai orang Malang kalau ngomong super kencang. Tapi berada di Eropa yang super senyap, saya juga berusaha dan belajar untuk tidak bersuara dengan kencang, terutama di malam hari.

Selain suara, kebersihan juga jadi hal yang bikin saya pengen garuk-garuk. Kompor selalu ditinggal bermandikan cipratan minyak, persis kaya pedagang nasi goreng yang meninggalkan jejak minyak hitam di atas trotoar. Penggorengan juga seringkali ditinggalkan di atas kompor; kalaupun dipindahkan gak dicuci sampai berapa hari.  Dapur dan rumah juga jadi bau tak karu-karuan karena sang anak kos malas menyalakan exhaust. Yang ngegemesin, ditegur pun nggak berubah. Saking frustasinya,  saya sudah pengen ngeluarin aja, apalagi pas dia berkomentar tak sopan tentang berat badan. Anak kost ini berkata bahwa saya bertambah gemuk sejak terakhir ia bertemu ya. Nyebelinnya kami terakhir ketemu malam sebelumnya. Langsung sensi deh dan pengen buka jendela dan lempar-lempar barang dia dari jendela seperti di drama-drama televisi. Tapi di negeri ini, anak kos tidak bisa seenaknya dikeluarkan, plus saya kasihan bener karena dia baru di negeri ini.

Masalah saya dengan anak kos ini masih banyak, termasuk repotnya menjelaskan tentang urusan sampah, sampah yang tak bisa didaur ulang misalnya dimasukkan ke dalam kotak sampah makanan. Aduh gemes deh pengen saya uyel-uyel padahal informasinya sudah jelas dan ada di pintu kulkas. Kalau dijelaskan pun masih ngeyel dulu, tapi begitu ditunjukkan kicep. Ya beginilah kalau dapat anak kos yang baru datang di negeri orang, mesti ngajarin ini itu. Ya bayangin aja gimana ngurusin proses integrasi migran yang membanjiri Eropa.

Menjadi ibu kos berarti juga mengalami hal yang aneh-aneh. Si anak kos pria di kos saya sering kedatangan pacarnya. Sang pacar, sebut saja namanya Mawar, tinggal di dekat rumah tetangga kami, dan mendapatkan kos atas rekomendasi ibu mertua saya. Saya cinta banget sama Mawar ini karena kalau dia lagi iseng bersih-bersih kamar mandi, kamar mandi saya jadi bersih buaaaaaanget. Suatu hari, sang anak kos pria mengirimkan sms, permisi mau bawa temannya menginap di rumah. Eh tapi setelah diberi ijin dia bilang: “tolong ya, Mawar gak perlu tahu tentang hal ini.” Ya geblek, rupanya bawa selingkuhan. Tapi edannya pacarnya tinggal gak jauh dari sini, cari mati bener deh. Dalam hati saya berdoa, semoga selingkuhannya hamil, biar geger sekalian dunia perkost-kostan di Dublin.

Punya pengalaman dengan anak kos atau tetangga kos?

xx,
Tjetje

Baca juga: Memilih Kost di Jakarta