St. Patrick’s Day merupakan salah satu hari terpenting di Irlandia. Tak hanya dirayakan di Irlandia, St. Patrick’s Day juga banyak dirayakan di negara-negara dimana banyak terdapat diaspora Irlandia, seperti Amerika. Berbagai gedung dan landmark di dunia juga berubah warna menjadi hijau untuk memperingati St. Patrick’s Day ini. Jika tahun lalu saya bersedih hati karena visa belum juga keluar, tahun ini saya bersemangat karena bisa menonton parade ini secara langsung untuk pertama kalinya.
Parade tahun ini juga menjadi spesial karena grand marshal (yang memimpin parade) adalah seorang anak remaja penyandang disabilitas berusia 19 tahun. Ia mengalami tetra Amelia, suatu kondisi dimana ia lahir tanpa kaki dan tangan. Di dunia hanya ada 7 orang dengan kondisi seperti ini. Selain Joanne O’Riordan, ada setidaknya 5 anak down syndrome serta beberapa anak-anak di kursi roda yang mengikuti parade ini sebagai partisipan. Mereka yang di kursi roda mengenakan kostum khusus yang dirancang menutupi kursi mereka. Dari pengamatan saya para penyandang disabilitas juga mendapatkan wilayah khusus untuk menonton sehingga tak perlu berdesakan dengan 500 ribu orang lainnya. Beberapa orang yang mengisi parade juga mampir ke area ini untuk selfie atau bersalaman. Bagi saya yang pernah bergulat dengan isu disabilitas, perhatian yang diberikan pada mereka yang menyandang disabilitas ini bikin ngiri, ngiri kapan Indonesia bisa seperti ini.
Selain diisi 10 kelompok drumband dari Amerika, saya juga melihat kelompok drumband dari Perancis. Kata suami, ada daftar tunggu panjang untuk bisa ikutan parade ini, jadi tak heran kalau ada ratusan orang Amerika yang rela menempuh perjalanan jauh demi tampil disini. Sekelompok polisi dari Berkeley Amerika juga datang dan berparade di depan. Mereka ini cukup spesial bagi orang-orang Irlandia, karena mereka merupakan first responders saat adanya balkon ambruk di Berkeley musim panas lalu. Saat itu lima orang Irlandia dan satu pelajar Amerika meninggal dunia dan seluruh Irlandia berduka cita, termasuk Presidennya. Bendera-bendera juga langsung setengah tiang untuk menghormati para pelajar yang meninggal tersebut. Di Irlandia, kematian dan tragedi rupanya ditanggapi secara serius.
Parade ini tidaklah terlalu panjang, karena tahun ini ada peringatan 100 tahun Easter Rising di Irlandia, yang berarti akan ada parade lagi. Tapi cukuplah saya puas berdiri dari sebelum jam 10, dua jam sebelum parade dimulai, hingga parade berakhir pada pukul 2 siang. Beruntungnya matahari hari itu bersinar cerah, langit biru, walaupun sesekali muram dan suhu udara tak terlalu dingin.
Bagi saya, St. Patrick’s Day yang diperingati sebagai hari penting Santo Patrick ini berubah menjadi hari minum-minum di mana saja, terutama setelah parade usai. Alkohol yang baru-baru saja diperkenankan dikonsumsi pada saat St. Patrick’s Day tak hanya dikonsumsi oleh orang-orang dewasa tapi juga anak-anak di bawah umur. Mereka minum di jalan-jalan dan juga di dalam pub dan pada hari itu, Polisi memperbolehkan orang-orang untuk minum di jalan.
Masuk dan membeli minum di pub sendiri memerlukan usaha, karena banyaknya manusia. Saya yang duduk bersama pasangan di bar bersimpati luar biasa pada bartender yang berjuang keras untuk bisa memberikan minum secepatnya. Di pub tempat saya nongkrong, sang bartender menyiapkan minuman dan juga menjadi kasir. Perlu dicatat juga bahwa membeli minuman di bar berarti harus datang ke bar, memesan, menunggu minuman dan langsung bayar; tak ada sistem menunggu di meja. Saking penuhnya, pub yang saya datangi sampai sempat kehabisan gelas.
Anak-anak muda yang di bawah umur dan tak diperkenakan masuk pub tak kehabisan akal. Di depan mata saya mereka memindahkan sebotol whisky ke dalam botol soda. Tanpa malu mereka meletakkan botol whisky kosong tersebut di samping saya yang sedang berdiri menanti suami. Ketika itu saya hanya tertegun dan speechless. Wajar saja jika pada pukul 4 sore sudah banyak anak-anak di bawah umur yang mabuk dan berlaku gila. Menurut seorang teman, saya seharusnya melaporkan anak-anak tersebut ke Polisi yang banyak berkeliaran supaya minuman tersebut disita. Ah biarlah, biar mereka tahu enaknya hungover.
Daerah Temple Bar yang terkenal sebagai daerah turis juga dipenuhi lautan manusia yang mengenakan aneka ornamen hijau warna yang identik dengan St. Patrick. Polisi berjaga-jaga di setiap gang kecil yang menuju kawasan ini. Mungkin jika ada insiden atau perkelahian mereka bisa segera merespons dengan cepat. Jumlah polisi yang ada di Dublin saat itu juga mengalahkan jumlah polisi pada saat pengamanan demo besar. Agaknya orang mabuk memang lebih membahayakan ketimbang demonstran.
Peringatan St. Patric’s Day awalnya identik dengan warna biru, tapi kemudian diganti dengan warna hijau, supaya sesuai dengan warna shamrock, daun keberuntungan Irlandia yang juga menyimbolkan Katolik trinity. Bicara tentang Shamrock, John sang penunggu pintu di Brown Thomas, salah satu pusat perbelanjaan papan atas di Dublin juga mengenakan daun shamrock di topinya. Saya perhatikan ada beberapa orang yang berdandan formal (mungkin duduk di tribun kehormatan bersama orang-orang penting di Irlandia) serta orang-orang tua yang memasang daun tersebut. Rupanya ini merupakan tradisi. Kata suami, jaman dulu daun itu bisa didapatkan dari gereja, tentunya setelah lebih dulu diberkati.
Setelah melihat langsung kegilaan St. Patrick’s Day, saya paham betul mengapa orang-orang lebih memilih untuk duduk di rumah saja melihat televisi ketimbang datang ke kota. It was mad! Sudut-sudut kota menjadi kotor, orang duduk di trotoar sambil makan karena tak ada tempat tersisa di restoran cepat saji, sementara trotoar menjadi lengket karena tumpahan bir. Pada saat yang sama orang tua yang membawa kursi dorong bayi tak bisa bergerak leluasa, sementara para gelandangan duduk di pinggir jalan mengharapkan recehan. Kendati luar biasa dipenuhi manusia dan ‘gila’, saya tak kapok. Tahun depan, saya akan tinggal di pusat kota lebih lama supaya saya bisa melihat dan mengamati kegilaan yang lebih parah.
Postingan ini akan saya akhiri dengan video kocak dari seorang kakek-kakek yang memilih untuk duduk di halaman belakangnya bersama anjingnya (perhatikan dia berkata: me dog) karena dia sebel lihat banyaknya orang Amerika di Dublin saaat St. Patrick’s Day. Si kakek ini langsung terkenal karena gayanya menirukan turis Amerika.
Have a nice week everyone!
xx,
Tjetje