Berbagi informasi melalui blog bagi saya adalah sebuah kesenangan yang memberikan kepuasan batin tersendiri. Ambil contoh postingan saya tentang cara kawin di Hong Kong yang “sukses mengawinkan” banyak pasangan beda agama. Duh tak terkira deh senangnya saya setiap kali menerima informasi tentang orang-orang yang berhasil mengikat janji setia sehidup semati. Makanya, penting bagi saya untuk sesegera mungkin menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan dokumen perkawinan.
Sialnya, ada saja orang-orang yang malas membaca postingan saya dan seringkali memberikan pertanyaan yang jawabannya sudah ada. Pertanyaan-pertanyaan ini seringkali saya jawab secara manis “informasinya ada di postingan tersebut”, tapi sejujurnya kalau boleh saya menjawab secara pahit, saya ingin sekali-sekali nyolot dan menjawab: “sebenarnya yang butuh situ apa saya ya? Situ kan? kalau situ yang butuh, usaha dikit kek meluangkan lima atau sepuluh menit untuk baca. Bagus lho cuma 5-10 menit aja bacanya, saya nulis itu bisa setengah hari sendiri, atau bahkan berhari-hari karena perlu riset dan baca banyak informasi. Itu informasi sudah disarikan demi kemudahan situ”. Oh tak lupa pengen saya tambahin lagi: “baca buat diri sendiri malas, kapan majunya?!”. Fiuh leganya ngomel-ngomel.
Sungguh saya tak paham, mengapa orang jaman sekarang malas untuk baca, padahal di jaman ini mencari informasi itu mudah sekali, cukup modal jempol, telepon genggam dan koneksi internet. Memang harus diakui tak semua orang senang dan bisa cepat memahami dari membaca. Tapi sekali lagi, yang perlu kan diri sendiri, jadi apa salahnya juga dibaca dulu. Kalaupun tak ingin membaca semua informasi ada tombol control F yang bisa mencari kata-kata kunci dengan mudah. Kesimpulan saya, mereka yang malas baca ini adalah orang yang maunya disuapin melulu dan tak pernah belajar memegang sendok sendiri. Bahasa gaulnya: generasi instan yang maunya cepet gak mau susah.
Generasi instan ini tak hanya ditemukan dalam urusan perblogan dan sosial media saja, tapi ditemukan dimana-mana dalam kehidupan kita. Dalam dunia perblogan tak hanya ada pencari informasi yang males baca, tapi juga ada blogger yang hobi banget nyontek tulisan orang. Dalam sosial media sendiri ada mereka yang ingin terkenal instan dengan memiliki banyak followers di sosial media yang dipunyai. Entah beli akun yang sudah memiliki banyak pengikut atau dengan membeli pengikut, harganya pun murah. Lha tapi apa gunanya punya pengikut satu milyar kalau pengikut ini hanya akun-akun bot yang tak jelas, akun yang bahkan tak bisa diajak komunikasi, apalagi diajak kopdaran. Lha fungsinya sosial media itu kan untuk berinteraksi, bukan untuk gaya-gayaan.
Selain ditemukan di dunia maya, mereka juga bisa ditemukan di dalam kantor, sekitar pemukiman kita hingga dalam jaringan pertemanan. Contoh paling mudah aja mereka yang malas mencari pekerjaan sendiri dan mengandalkan jabatan dari orang-orang sekitarnya, baik yang sedarah atau sekadar sekampung. Akibat persaingan tak sehat ini, mereka yang memiliki potensi dan tak punya koneksi pun harus merana. Dan di Indonesia yang seperti ini buaaaaanyak banget. Kalau yang ini sih bukan hanya sang generasi sekarang, tapi juga salah orangtua yang tak mengajarkan anaknya untuk berjuang dan repot menyuapi kendati si anak sudah dewasa.
Kelompok-kelompok instan ini mungkin pada jaman sekolah dulu jarang belajar dan lebih sering menggunakan sistem kebut semalam. Masih bagus sih kalau mau ngebut belajar, yang parah tentunya yang repot nyontek teman sebangku, beli kunci jawaban atau tentunya yang paling top: yang repot nyogok gurunya supaya dapat nilai bagus.
Pada akhirnya, membaca, mencari teman, mencari pekerjaan atau bahkan belajar adalah sebuah proses yang seringkali tak enak dan menyakitkan. Tapi sesakit apapun proses itu, hasilnya yang menikmati kan diri sendiri. Jadi mengutip kata-kata saya di atas: “Situ jangan males dong”.
Pernah berurusan dengan generasi instan ini?
xx,
Tjetje