Pekerjaan saya yang saya tinggalkan di Jakarta, memberikan banyak sekali kesempatan dan juga ruang belajar, apalagi ketika berkaitan dengan diskriminasi dan kelompok-kelompok terpinggirkan. Nah salah satu kelompok terpinggirkan yang pernah saya pelajari secara singkat adalah transjender atau yang lebih dikenal sebagai waria.
Waria ini merupakan kelompok yang sangat termarjinalisasi. Saking termarjinalisasinya, bos saya sampai pernah berpesan (rasanya pesan ini pernah saya tulis juga di blog ini): jika bertemu dengan transjender yang sedang mengamen atau mengemis, berilah mereka sedikit uang karena hidup mereka sangatlah berat.
Transjender itu hidupnya berat, sangat berat dan penuh dengan pergulatan sejak usia dini. Mereka berperang dengan dirinya karena merasa terperangkap di dalam tubuh yang salah. Dalam kondisi seperti ini, seringkali mereka mengalami tekanan dan juga perisakan dari lingkungan sosialnya. Soal perisakan dan LGBT, kapan-kapan saya bahas terpisah karena blogger malas ini masih belum selesai baca materinya. Keluarga yang seharusnya memberikan dukungan juga seringkali gagal karena malu terhadap lingkungan. Pada banyak kasus, transjender yang beranjak remaja dan mulai berani menunjukkan identitasnya, seringkali diusir atau bahkan dibuang dari keluarga (baca: tidak dianggap sebagai bagian dari keluarga) karena mereka dianggap aib. Anak-anak transjender juga tak sedikit yang lari dari rumah, atau bahkan mengakhiri hidupnya.

Pada saat yang sama, para transjender juga harus berhadapan dengan masyarakat yang tak pernah bisa memahami pergulatan mereka. Wajar jika kita tak paham pergulatan mereka, karena mungkin kita tak punya informasi apa yang sebenarnya mereka alami. Nah jika ingin memahami mereka, mungkin salah satu kasus menarik yang bisa dipakai sebagai referensi adalah kasus David Reimer. David Reimer ini terlahir sebagai pria, tapi kemudian dioperasi menjadi perempuan ketika masih kecil kemudian dibesarkan sebagai perempuan. Sepanjang hidupnya ia mengalami pergulatan batin yang luar biasa, karena memang ia bukan perempuan dan ia tahu bahwa ia bukan perempuan. Pergulatan inilah yang dialami oleh para transjender, terjebak dalam tubuh yang salah, sementara hati dan pikiran mereka mengatakan bahwa mereka memiliki jender yang berbeda.
Kembali lagi pada transjender yang lari ke jalanan. Jalanan menjadi ruang yang lebih terbuka dalam menerima mereka, tentunya jalanan hanya ramah ketika Satpol PP tak sedang iseng beroperasi. Di jalanan yang keras ini banyak dari mereka yang terpaksa menjadi pengamen, atau pekerja seksual (bahkan menghadapi resiko diperkosa dan juga terpapar HIV/AIDS). Sementara beberapa yang lebih beruntung berada pada pekerjaan lain, seperti dunia hiburan ataupun kecantikan. Tapi harus diakui, pekerjaan bagi para waria memang hanya terbatas pada hal-hal tertentu, padahal saya yakin banyak dari mereka yang memiliki potentsi tapi kondisi menghentikan impian mereka.
Menariknya, di sebuah dokumenter saya mendengar bahwa di jaman Pak Harto yang konon sangat opresif para transjender hidup lebih nyaman dan damai. Dokumenter ini judulnya waria zone dan DVDnya bisa didapat dengan harga 12 Euro dari website ini. Sayangnya trailer dari film ini ada di Vimeo, jadi kemungkinan tak bisa ditonton oleh sebagian dari kalian, karena #YangMuliaTukangSensorTiffie meninggalkan pencapaian indah selama masa jabatannya: SENSOR!
Kendati bicara tentang diskriminasi dan kerasnya hidup para waria, dua tahun lalu, ketika film ini diputar di lingkungan tempat saya bekerja, saya menengar bisik-bisik para waria yang terlibat di dalam film ini tak mendapatkan komisi apa-apa dari penjulan film ini. Mereka sudah dipaksa menandatangi pelepasan hak. Ini dua tahun lalu ya, semoga saja sekarang mereka sudah mendapatkan setidaknya segenggam beras.
Kendati waria sudah ada di lingkungan kita sejak lama, banyak dari kita yang tak tahu bagaimana cara berinteraksi dengan baik dan benar dengan mereka. Beberapa tips dari saya untuk berinteraksi dengan mereka:
- Jangan pernah panggil mereka banci atau bencong. Tak sopan dan menyakitkan. Jika punya anak, ajari juga mereka untuk bisa lebih baik pada waria. Setidaknya, tak perlu bisik-bisik dan meneriaki mereka, apalagi sampai lempar batu. Come on, they are human too.
- Dalam berinteraksi, wajib hukumnya bertanya bagaimana mereka mau dipanggil. Jika mereka mempresentasikan diri sebagai perempuan, jangan sekali-sekali manggil mereka Mas, Abang atau Bli. Panggil mereka Mbak, Neng, Mbok, Kakak, ataupun Nona. Yang paling utama, jangan pula memanggil mereka dengan nama lahir mereka, kecuali mereka meminta hal tersebut. Bayangin aja kalau ketemu Caitlyn Jenner di Starbucks, gak bener kan kalau kita teriak-teriak Mas Bruce lalu minta selfie.
- Kelamin dan operasi menjadi sebuah hal tabu yang tak patut ditanyakan, dalam situasi apapun dan sedekat apapun. Mengapa? Ya mereka aja tak sibuk menanyakan bagaimana bentuk kelamin kita, kok kita tiba-tiba merasa punya hak untuk kepo menanyakan apa saja yang sudah mereka lakukan dengan kelaminnya. Kalau nanya tak boleh, megang-megang juga tak boleh dilakukan ya.
Sebagai manusia yang katanya berbudi luhur, tugas kita bukan menghakimi apalagi sibuk ngurusin kemana mereka pergi setelah mereka meninggal dunia (baca: sibuk ngumpatin mereka masuk neraka sambil komat-kamit, dosa…dosa…dosa padahal dirinya lagi bikin dosa). Tugas kita sebagai manusia itu cuma satu, memanusiakan mereka supaya mereka tak termarjinalisasi dan bisa mendapatkan hidup yang tenang. Kalau belum bisa, ya cukup seperti saya, rogoh kocek setiap kali melihat para pengamen transjender. Ingat ya, hidup mereka penuh dengan pergulatan dan kita tak perlu ikut-ikut bikin hidup mereka makin susah.
Permisi dulu, saya mau menghabiskan akhir pekan dengan ikutan ikut Gay Pride. Nanti foto-fotonya bisa dilihat di IG saya.
Happy Pride!
xx,
Tjetje
Tjetje