Lonely Planet & Backpacking

Tahun 2012 saya off dari kantor selama satu bulan penuh. Berbekal Lonely Planet yang tebalnya tak karuan, 30 liter tas ransel, satu set kamera dan sandal gunung saya pun menjelajah beberapa negara-negara Asia Tenggara lewat jalan darat. Tanpa itinerary.

Foto-foto saya backpacking keselip, hard disk entah ada di mana…

Dari Jakarta saya terbang ke Penang, lalu memulai perjalanan darat ke Hat Yai, belok ke Phuket, lanjut ke Bangkok & nginep di Khao San Road. Dari Bangkok, lanjut ke Nong Khai. Lalu naik kereta dari Nong Khai ke Laos. Perjalanan di Laos berawal di Vientiane, lalu naik bis ke Vang Vien untuk merayakan Songkran. Dari situ balik turun ke Bangkok untuk pulang ke Jakarta.

Tanpa rencana, tanpa reservasi hotel. Semuanya serba mendadak & spontan. Jaman itu, Lonely Planet adalah barang paling berharga. Membolak-balik halaman untuk mencari tahu tempat-tempat menarik yang bisa dikunjungi, hostel murah, hingga tempat makan yang terjangkau. Semuanya berdasarkan kepercayaan bahwa Lonely Planet akan menawarkan tempat-tempat yang terbaik.

Perjalanan backpacking di atas bukanlah perjalanan pertama saya dan bukan satu-satunya. Tapi tahun itu bersejarah karena satu tahun setelahnya, saya gak bisa off selama sebulan penuh lagi. Padahal jatah cuti tahunan saya 30 hari. Boss saya rupanya merana karena saya off terlalu lama. Dan Lonely Planet saya pun duduk diam di rak, kesepian sambil menangkap debu.

Tsunami informasi & Lonely Planet

Sekarang dunia berubah. Kita mengalami tsunami informasi karena media sosial menawarkan aneka informasi tempat-tempat wisata yang bisa dikunjungi. Lengkap dengan visualisasi dan review bias sang influencer.

Saya sebut bias karena tak jarang influencer memberikan penilaian negatif karena mereka tak dapat imbalan, atau bahkan berlebihan memuji kecantikan satu tempat hanya karena faktor “Instagrammable”.

Kekuatan media sosial juga membuat tempat-tempat wisata jadi populer, hingga pengunjungnya membludak.

“Oh ini yang kemarin viral di TikTok?”

“Aduh bentar foto dulu, gak papa antri beberapa jam, buat Instagram”.

Saya pun tak memungkiri media sosial dan juga umur mengubah gaya jalan-jalan saya. Ransel yang sudah berusia 15 tahun lebih saya tinggalkan di Indonesia, dan saya ganti dengan koper kecil. Kamera DSLR dengan aneka lensanya pun saya hibahkan & saya gantikan dengan kamera iPhone.

Lonely Planet? Aduh gak inget lagi kapan terakhir saya pegang Lonely Planet. Lalu barusan saya buka-buka situs mereka dan ternyata mereka masih memproduksi banyak buku panduan jalan-jalan yang menarik. Kayaknya jalan-jalan selanjutnya mesti beli Lonely Planet deh, demi nostalgia masa lalu!

Selamat berakhir pekan!

xoxo,
Tjetje

The Passage of Colourful Batik Madura

Attack dan Elle Magazine berbaik hati mengajak 15 orang perempuan jalan-jalan ke Madura dengan ongkos 500rb rupiah saja. Judul tripnya Attack Batik Trip. Biaya itu termasuk harga pesawat garuda PP, hotel 2 malam di Santika Surabaya serta makan. Sebagai penganut prinsip travel semurah dan senyaman mungkin saya pun tidak melewatkan kesempatan jalan-jalan mengelilingi Madura. Beberapa tempat yang kami kunjungi, saya rangkum buat bahan referensi untuk yang mau ke Madura ya!

Museum Tjakraningrat Bangkalan.

Museum yang bisa berjarak sekitar 1 jam dari Surabaya ini tergolong kecil. Lebih kecil dari lapangan sepakbola. Isinya juga tak banyak dan kondisinya begitulah. Kursi bekas ratu dan rajanya pun tanpa anyaman, berlubang sana-sini. Debunya jangan ditanya lagi, bahkan laba-laba pun bersarang di salah satu sudut museum ini. Kondisi museum di Indonesia emang mengenaskan ya.

Selain bercerita sejarah pak pemandu juga bersemangat membagikan cerita mistis di museum ini. Jadi, ada satu set gamelan yang suka bunyi sendiri pada hari-hari tertentu, mungkin gamelannya sudah di auto play untuk waktu-waktu tertentu. Konon, jika gamelan dan sitarnya bunyi, tandanya lapar, minta sesajian. Ada lagi gamelan yang tak boleh dilangkahi oleh perempuan, kalau perempuan melangkah, alamat nggak akan punya anak. Wah, daripada pemerintah susah-susah bikin program KB alangkah baiknya jika ibu-ibu yang anaknya lebih dari dua diminta berlomba melangkahi gamelan ini.

Ole Olang Restaurant

Restaurant Makyus, karena pernah dikunjungi oleh Pak Bondan. Kalau pak Bondan doyan cumi kuning yang empuk (empuk, tapi pedes banget) saya berpegang teguh dengan niat makan nasi jagung. Sebagai orang Malang yang sudah terekspos dengan nasi jagung sejak kecil, kesempatan ini tak boleh disia-siakan. Biasanya di Malang nasi jagung disajikan dengan ikan asin, tempel mendol, sayur berkuah santan dan rempeyek kacang. Ini menu sarapan yang bisa di beli di pasar-pasar tradisional di Malang. Tapi di Madura, nasi jagung disajikan dengan cara yang berbeda. Ketika itu sayur yang ditawarkan adalah sayur daun katu bening. Ini salah sayur kesenangan saya dan dulu kami hanya perlu memetik dari halaman rumah (jadi nostalgia). Tapi tetep, percampuran nasi jagung dan sayur bening buat saya kurang bergreget.

Batik Patimura, Tanjung Bumi

Saya menyebutnya toko batik pejabat, karena toko ini telah pernah dikunjungi bu Ani Yudhoyono serta pejabat pemerintahan lainnya. Biarpun langganan pejabat, harga tetep bersahabat. Saya “hanya” sukses memborong tiga lembar batik tulis, itupun berhutang dahulu karena toko ini tak kenal alat gesek, baik penggesek ATM maupun penggesek kartu kredit. Semuanya harus cash!  Ada satu batik yang khas dari daerah ini, namanya batik gentong, tapi saya menahan diri tak membeli karena harganya yang mencapai 1,2 juta.

Batik gentong itu batik khas Madura yang pewarnaannya dilakukan di dalam gentong selama berbulan-bulan. Ada kepercayaan, kalau ada tetangga atau kerabat yang meninggal, proses pewarnaan bisa kacau. Ya kalau ada yang meninggal hati aja kacau, apalagi mewarnai. Oh ya, ilmu menawar sadis nggak berguna di Madura. Biarpun jurus bahasa Madura pas-pasan dikeluarkan, tetep aja mereka nggak terpukau. Diskon paling banyak yang diberikan, 20 ribu saja! Setelah belanja, kami juga sempat disuguhin demo mencuci dengan Attack.

Batik Love Story

Makan malam kami ditemani dengan film karya Teh Nia Dinata yang berjudul “Batik Love Story”. Film documenter ini menceritakan tentang batik di Jawa, dari Cirebon sampai ke Madura. Duh..setelah  menonton film ini saya jadi ngenes sendiri melihat para pembatik yang resah dengan regerasi. Sayangnya film ini nggak didistribusikan dengan luas, tapi kalau berminat nonton boleh kontak Attack atau Teh Nia Dinata untuk nonton bareng.

Day 2 – 9 September 2012

Pasar 17 Agustus

Sebenarnya kami akan diinapkan di Madura sehingga nggak perlu wira-wiri melintasi jembatan Suramadu.  Tapi karena konflik Syiah dan Sunni, rencana ini buyar. Tuh kan, konflik itu gak bagus, gak bagus buat traveler dan gak bagus buat pedagang batik. Tapi beruntungnya kami diinapkan di Hotel Santika Surabaya. Sarapan tradisionalnya bikin saya gak mau meninggalkan hotel, tapi tetep harus ditinggalkan, kalau nggak timbangan meronta-ronta.

Jadilah kami menempuh perjalanan panjang dari Surabaya menuju pasar 17 Agustus yang letaknya nun jauh di ujung timur Madura. Pasar ini cuma buka dua kali seminggu, hari Kamis dan Minggu, dan  bubar pada saat adzan Dhuhur dikumandangkan. Ya nasib, setelah pantat diratakan dengan perjalanan selama 3 jam lebih, adzan berbunyi lima belas menit setelah kami tiba. Pasar bubar, saya tegar, dompet tetap bugar!!

Akhirnya saya ngekor Eka memilih batik di Asmara Batik. Lumayan dapat motif klasik junjung drajat. Diharapkan dengan memakai kain ini, derajat kita akan naik. Harganya, 125 ribu saja & batiknya tulis saudara-saudara. Murah banget kan? Sayang pewarnanya naptol, bukan pewarna

Kendati selama perjalanan ini waktu habis “terbuang” untuk mondar-mandir Surabaya-Madura, melintasi Jembata Suramadu & Madusura, saya tetep seneng karena bisa melihat kekayaan negeri ini & bisa menjejakkan kaki di Madura. Jadi orang Jawa Timur, tapi nggak pernah menjejak di Madura.

Rangkaian perjalanan ini merupakan rangkaian terakhir dari attack batik trip setelah sebelumnya diadakan di Pekalongan, Yogyakarta dan Solo. Terimakasih Attack dan Elle Magazine yang telah membawa saya jalan-jalan pintar. Terimakasih juga buat Iwet yang sudah menambah pengetahuan saya tentang batik. 

 

xx,
Tjetje