Tahun ini, untuk pertama kalinya saya tidak ikut arus mudik dan menikmati liburan panjang. Saya memutuskan untuk berada di Jakarta saja pada saat lebaran. Sebenarnya ini terpaksa, karena sebagai pegawai baru saya belum boleh cuti. Jadilah ketika semua orang sibuk berkumpul dengan keluarga atau berlibur, saya bekerja.
Salah satu hal positif dari lebaran di Jakarta adalah jalanannya yang lengang. Sungguh indah. Hanya diperlukan waktu kurang dari 10 untuk mencapai kantor, tapi perlu setidaknya 15 menit untuk menunggu taksi. Menurut pengemudi Bluebird, hanya 30% pengemudi yang aktif, sisanya mudik. Tak heran taksi begitu susah didapat. Transjakarta juga mendadak menjadi nyaman, kosong tanpa antrian mengular, bahkan bisa tidur-tiduran, kalau diizinkan dan kalau tidak malu. Abang Kopaja yang biasanya galak suka maksa orang segera loncat dari bis juga menjadi baik, saat lebaran ini mereka nggak teriak-teriak maksa turun, berhenti dengan sabar menunggu turun. Mendadak, Jakarta menjadi menyenangkan.
Yang indah pada saat lebaran ternyata hanya jalanan yang kosong dan transportasi yang nyaman, karena urusan perut bagi saya sungguh menyiksa. Sebagian besar warung tidak buka. Di dekat kos saya hanya ada warung Padang (tapi medhok) yang buka. Terpaksa selama Lebaran in saya bikin moto “Padang lagi Padang lagi”. Masak indomie tak mungkin (karena saya sedang berpuasa tak makan indomie), makan pasta bosan, makan sardin kaleng apalagi. Ketika malam takbiran saya pun kembali lagi ke warung Padang dekat kos yang hampir sold out. Makanan yang tersisa hanya rendang dan ayam gulai. Berhubung saya nggak makan sapi, makan opsi satu-satunya adalah ayam gulai. Begitu melihat kondisi ayam yang sudah dimasukkan ke dalam kantong plastik hitam napsu makan nasi pun hilang. Gila ya ini urusan kebersihan sungguh tak diperhatikan. Pantesan orang-orang bisa mudah sakit perut kalau makan di warung.
Saya pun pindah ke Indomaret yang terletak tak jauh dari kos. Indomaret ternyata dipenuhi tukang belanja dadakan, anak-anak kecil yang lagi banyak uangnya karena THR. Ada juga Ibu-ibu yang lagi mencari hidangan untuk lebaran sambil sibuk berdiskusi tentang mahalnya harga di Indomaret. Saya yang berniat mengganjal perut dengan roti batal belanja karena antrian yang mengular panjang.
Satu-satunya pilihan tersisa adalah makan KFC, untungnya tahun ini saya tak puasa KFC. KFC pun sama-sama menguji kesabaran saya. Tiga kali mengulang pesanan, tapi ketika konfirmasi, orderan saya salah. Menurut outlet KFC ketika musim mudik seperti ini wajar pelayanan jadi kurang maksimal karena operator tembak. Seperti supir taksi tembak, operator ini hanya mengisi kekosongan posisi selama musim liburan. Tak heran banyak orderan yang pada hari itu salah karena mereka tidak seprofesional operator biasanya. Saya terpaksa makan KFC selama dua hari berturut-turut sementara banyak orang menikmati makanan lebaran yang enak. Ah sudahlah.
Hari ini, hari H lebaran, setelah berjalan beberapa meter dan menemukan warteg yang buka. Duh melihat warteg buka itu rasanya seperti melihat air di padang pasir (walaupun saya belum pernah ke padang pasir). Menunya gak banyak, tapi setidaknya ada telur dadar dan nasi. Cukuplah. Eh kok pas sampai kos kertas pembungkusnya berminyak, ternyata si telur dadar bermandikan minyak. Buyar sudah rencana makan, langsung gak napsu.
Kalau sudah begini cuma bisa teriak-teriak, wahai 8 juta pemudik yang sekarang lagi makan opor ayam dan ketupat, cepatlah kembali ke Jakarta. Saya merindukanmu abang nasi goreng, abang mie ayam dan abang siomay. Biarpun kalian semua sering bikin perut saya sakit karena tidak higienis, tapi jasa kalian di saat seperti ini sungguh diperlukan. Ayo Abang-abang pedagang makanan cepat kembali dong! Bawa sodara-sodaranya gak papa, yang penting saya bisa jajan lagi.
Hidup jajanan Jakarta!
Pingback: Recehan | Ailtje Ni Diomasaigh