Kali pertama saya ke Ambon di sekitar tahun 2008 an. Saat itu kondisi Ambon masih ada sedikit ketegangan. Pendamping perjalanan saya saat itu menggunakan jilbab, ketika kami melintasi kampung Kristen, si Nona ini akan ketakutan dan mencoba bersembunyi di mobil. Ambon yang sekarang sudah banyak berubah. Akses dari bandara menuju kota Ambon sudah lancar, tanpa jalan berbatu ataupun longsoran. Perjalanan dari bandara ke kota bisa ditempuh selama satu jam bahkan lebih cepat jika kita naik ferry. Akhir Desember ini, setelah jembatan Merah Putih selesai, akses bandara ke Ambon diharapkan akan jadi lebih cepat.

Ferry yang menghubungkan bagian kota Ambon dan bagian yang menuju bandara. Ongkosnya untuk mobil 23.000, lama tempuk tak sampai lima menit
Kendati Ambon sudah aman dari konflik, areal perumahan di Ambon masih terpisahkan oleh agama. Masyarakat yang Muslim tak berani tinggal di areal masyarakat Kristen, begitu pula sebaliknya. Di sebuah perbatasan kampung Muslim dan kampung Kristen, di daerah Batu Merah, ada pos tentara yang berdiri untuk menjaga keamanan masyarakatnya supaya tak ada konflik lagi. Semoga tak ada lagi konflik di Ambon.
Selain terkenal oleh mutiara berharga ‘murah’, sedikit lebih murah dari mutiara Lombok, Ambon juga terkenal akan seafoodnya yang murah. Jika di Jakarta seekor ikan dibagi-bagi untuk beberapa orang, di Ambon, satu orang mendapakan satu ekor ikan. Ikannya pun aneka rupa dan warnanya sungguh cantik. Berhubung saya orang gunung, hanya dua ikan yang saya tahu: kakatua dan red snapper. Sisanya nggak kenal semua. Harga ikan bervariasi tergantung besar kecilnya, tapi berkisar dari 40 – 70 ribu, termasuk dengan nasi, sambal dan aneka rupa lalapannya. Di Ambon ada teknik menangkap ikan menggunakan panah dari dalam air yang dilakukan pada malam hari, nama teknik ini molo. Sambil menyelam memanah ikan! Ikan kemudian dibakar atau digoreng dan dicocolkan ke colo-colo, semacam ‘sambal’ khas Ambon. Colo-colo ini hampir sama dengan dabu-dabu.
Saya yang lagi kerajingan lari juga menyempatkan diri bergabung dengan warga Ambon berlari di lapangan Patimura yang terletak di depan Balaikota dan Kantor Gubernur. Lari di Ambon ternyata nggak semudah lari di GBK karena panas (matahari jam 6 sore masih bersinar). Fakta menarik yang saya lihat dari memperhatikan orang, orang Ambon itu larinya cepat-cepat. Yang bikin saya agak risih, di lapangan ini bertebaran air liur. Rupanya banyak orang yang suka meludah, tak hanya di lapangan olahraga, tapi dimana-mana.
Di Ambon tak ada kemacetan, apalagi angkot yang memenuhi jalanan, seperti di Bogor. Struktur kota Ambon yang berbukit membuat kota ini tak memungkinkan punya jalan super lebar. Jadi jalannya kecil-kecil, berkelok dan naik turun. Moda transport ada berbagai macam, dari angkot, becak, ferry hingga ojek. Abang ojeknya sungguh membingungkan karena tarif yang dikenakan: “Ibu beri saja”. Aduh, repot banget kalau udah kena tarif ini. Anyway, saya juga berkesempatan untuk joy ride panser di Ambon:
Waktu diinformasikan bahwa saya akan dibawa joy ride, kepala saya sudah memikirkan harus naik dari sisi atas, celana robek dan nggak kuat ngangkat badan (karena pengalaman snorkeling di Amed, saya kesulitan mengangkat badan naik ke atas jukung). Ternyata, celana nggak robek karena pintunya otomatis. Di dalam terdapat AC, ada pegangan tangan seperti di dalam bis, serta tombol-tombol buat melucurkan granat. Panser ini MADE IN INDONESIA lho!
Saya juga berkesempatan menjenguk makan Mayor A.J. Meijer di dalam bekas benteng Victoria. Makam ini dikelilingi oleh pohon-pohon buah naga. Saya nggak tahu siapa si A.J Meijer ini, karena hasil google cuma menemukan website dalam bahasa Belanda yang menyebutkan tentang ekspedisi Saparua. Sayang telpon genggam saya tak bisa menerjemahkan Wikipedia. Mungkin nanti harus saya terjemahkan ketika kembali ke Jakarta.
Kecantikan Ambon ini sungguh menenangkan hati. Dimana mata memandang pemandangan hijau dan lautan yang cantik. Tapi hati rasanya tersayat ketika mendengar burung kakatua, serta nuri cantik berteriak-teriak dari dalam sangkar. Mungkin mereka meneriaki bapak-bapak yang sedang berjalan-jalan membawa tas berisikan burung-burung monogami ini (sekali mereka menemukan pasangan, mereka tak akan berganti-ganti lagi) yang bulu terbangnya dicabut, demi kepuasan hati manusia.

Entah apa yang dilakukan polhut di Ambon. Saya mendengar banyak kakatua dan nuri yang teriak2 (Burung2 ini emang demen teriak)
Salam cinta dari Ambon,
Binbul
Aku pengen bgt ke Ambon, ke pulau Kei tepatnya. Seru ya Ai bisa kesana
Pulau Kei katanya bagus ya. Aku kemarin nggak menjejak pantai sama sekali. Pulau Seram katanya juga bagus.
Di Ambon kayaknya pantai2 ama pulau2nya pasti kece ya. Indonesia Timur kan terkenal bgt, Ai
Bener, soalnya belum terjamah. Eh tapi itu Maldives juga kece padahal banyak yang ngejamah.
Pulau Kei bagus banget. Aku belum pernah kesana tapi ada temen disini yang asalnya dari pulau Kei. Dia beberapa kali kesana dan aku lihat foto & videonya. Pantainya mak, bagus.
Tje, Seru banget ceritanya ke Ambon. Oh, jadi sampe sekarang masih ada tension Islam Kristen? Sayang ya kalo dipikir.
Itu ikan yang biru bagus bener warnanya.
Yang biru itu ikan kakaktua Mbak. Karena warnanya nyolok, aku jadi gampang ingatnya.
Sudah ada program2 supaya mereka bisa rukun, tapi potensi konflik masih ada. Pemisahan ini nggak cuma di wilayah sipil, ternyata di komplek militer pun dipisahkan yang Muslim dan yang Kristen.
Wah seneng deh kalau teman aku pulang dari ambon pasti oleh oleh minyak kayu putih..
( lumayan buat stok 1 tahun )
Hahaha iya minyak kayu putih yang gede bahkan bisa buat stok bertahun-tahun. Ini aku bawa botol kecil2 buat dibagi di kantor. Lebih wangi baunya.
betul mba beda ya pokoknya jujur aku tidak suka ama minyak kayu putih tapi kalau yang ini aku masih mau habis beda…
Senangnya ya bisa jalan ke Ambon
walau hanya pernah transit di bandara Pattimura, tapi Ambon masih selalu terasa dekat di hati.. banyak sahabat asal Maluku
kangen istri supir kantor papa, kl datang dari Ambon nengok suaminya di Sorong selalu kami bajak untuk nginap di rumah, masak kuliner khas Ambon dan diajari lagu daerah dan dongeng dari sana
Burungnya cakepp bingit ya mbak 😀
iya ya cakep banget, sayang harus di dalam kandang.
Harusnya dia terbang bebas,.. hinggap diatas pohon 😀
Waaah, ikan-nya seger-seger..
tapi baru liat ikan yang sisiknya berwarna hijau itu hihihi ..
Yang ijo namanya Ikan Kakatua. Konon ini ikan yang ditemukan di terumbu karang. Cantik ya?!
Kalau dagingnya sih aku gak gitu doyan.
Ikan Kakatua ? Kirain yang namanya kakatua, burung aja hehehehe .. tapi memang ikan kakatua ini memang Cantik, beda sendiri dengan ikan yang lainnya 🙂
Rasa dagingnya memang seperti apa mba ? Aku nggak terlalu doyan ikan, karena nggak tahan bau amis nya 😦 tapi kalau ikan di bikin balado ikan baru doyan 🙂
wah senangnya ada yang ngeblog tentang Ambon..
ayo tante Ailsa main lagi ke Ambon, ke pantai-pantainya yang ga kalah sama Maldives hehehe belum resmi ke Ambon kalo belum ke pantai-pantainya lohh,,
*bangga jadi orang Ambon*
Aku sudah ke Natsepa beberapa tahun lalu. Rencananya Juni ini pengen ke pantai Ora yang terakhir cantiknya.
Pingback: Gado-gado Dari Ambon | Ailtje Bini Bule