Di postingan tentang Aceh kemarin, saya pamer colongan nulis kalau akhir bulan ini mau ke Bali, lagi! Ngomongnya sih mau ke Bali, tapi sampai detik ini saya belum pegang tiket. Masih santai-santai karena kalau Nyepi biasanya tak banyak yang jalan ke Bali dan tiket, biasanya, murah.
Dua tahun belakangan ini saya selalu menyempatkan diri untuk menikmati Nyepi di Bali, di rumah seorang teman baik. Setelah aktivitas selama 364 hari, rasanya menyisihkan satu hari bagi tubuh untuk ‘istirahat’ itu dibutuhkan. Bagi saya, Nyepi itu seperti lari, bikin ketagihan. Gimana nggak ketagihan jika pikiran serta telinga dijauhkan dari segala kebisingan. Jauh dari social media, jauh dari kegilaan dan hiruk pikuknya Jakarta. Menyepi itu bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja, tak perlu menunggu Neypi, tapi suasanya Nyepi di Bali lah yang membuat saya selalu ‘pulang’ kembali.

copyright: Ailtje
Bagi penyuka jalan-jalan, Nyepi juga merupakan momen untuk melihat Bali dari sisi yang berbeda. Rentetan upacara menyambut Nyepi dilakukan jauh sebelum tahun baru ini dilaksanakan dan diakhiri dengan Pawai Ogoh-ogoh. Sebenarnya pawai ini bukan bagian dari agama dan baru dibuat pada sekitar tahun 1970 atau 1980an. Saya tak ingat persisnya. Tapi tradisi ogoh-ogoh ini kemudian berlangsung hingga sekarang. Di Denpasar, tempat pawai ogoh-ogoh yang wajib didatangai berada persis di seberang patung Catur Muka di depan kantor Walikota Denpasar. Dari sekitar pukul 3 sore, beraneka raga ogoh-ogoh dari dilombakan. Ogoh-ogoh sendiri merupakan simbol kenegatifan yang kemudian akan dibakar acara selesai.
Tiap tahun ada trend ogoh-ogoh yang berbeda, tergantung topik yang lagi ‘hot’. Dua tahun lalu ogoh-ogoh bisa muter-muter sendiri, bahkan dilengkapi LCD di dadanya. Upin-ipin, Mbak Inul Daratista juga sempat jadi ogoh-ogoh. Jika tak sedang dilombakan, ogoh-ogoh biasanya diarak keliling Banjar, diiringi musik tradisional dan nyala lampu obor. Ogoh-ogoh ini kemudian dibakar di pantai atau di lapangan. Nggak semuanya dibakar, ogoh-ogoh yang berharga mahal dan bagus biasanya dipajang di depan Balai Banjar masing-masing atau bahkan dijual ke Hotel.
Ketika pawai ogoh-ogoh dimulai, jangan harap bisa melintasi area di kawasan Bali. Semua area pasti macet-cet-cet! Bandara serta pelabuhan juga ditutup. Saya, bersama seorang rekan photographer (dia photographer; saya tukang foto abal-abal), pernah harus berjalan berkilo-kilometer seusai pawai ogoh-ogoh karena tak ada taksi maupun moda transport lainnya yang bisa melintas. Dari jalan kaki itu saya jadi tahu bahwa convenience store serta bilik ATM jendelanya ditutup dengan plasik hitam supaya lampu dari layar mesin ATM ataupun kulkas tak memancar keluar.
Nyepi dimulai pada pukul 06.00 dan akan berakhir pada pukul 06.00 keesokan harinya. Selama 24 jam pemeluk agama Hindu Nusantara akan melaksanakan Tapa Brata Nyepi yaitu: amati geni, amati karya, amati lelanguan, amati lelungaan. Amati geni artinya tak ada api, untuk memasak atau menyalakan lilin serta tak menghidupkan listrik. Ibu-ibu yang punya anak kecil serta orang sakit juga menapatkan ijin untuk menyalakan lilin atau alat penerang lainnya, tapi mereka harus minta melapor dulu ke Banjar.
Amati karya berarti tak melakukan apapun, tak memasak, atau hanya bersemedi. Sedangkan amati lelanguan artinya tak bersenang-senang, walaupun tak dapat dipungkiri banyak orang-orang yang belum mampu, ataupun belum mau melaksanakan tapa brata Nyepi yang meceki atau bermain kartu (dan berjudi) pada saat Nyepi. Tapa Brata yang terakhir adalah Amati lelunggaan yang artinya tidak bepergian. Bisa ditangkap pecalang (pria-pria penjaga keamanan tradisional) kalau nekat bepergian dari luar rumah. Hanya mereka yang akan melahirkan atau menderita sakit keraslah yang boleh bepergian. Tahun kemarin, Nyepi jatuh pada hari Jumat dan umat Muslim di Bali diperkenankan untuk pergi ke Masjid untuk menunaikan ibadah, tanpa keributan tentunya.

pecalang
Ada satu ‘bonus’ tapa yang boleh dilakukan oleh mereka yang sanggup, yaitu Mona Brata alias puasa ngomong. Selain kelima ‘puasa’ tersebut, saat Nyepi, mereka yang bisa serta mau juga dianjurkan tidak makan dan minum selama dua puluh empat jam.
Nyepi selalu jatuh pada saat Tilem, atau bulan mati, alhasil, langit-langit di Bali sempurna gelapnya. Yang ada hanya kerlipan bintang yang diiringi gongongan anjing, suara kodok dan juga suara jangkrik. Karena penggunaaan listrik yang turun dalam satu hari, suhu di Bali biasanya juga turun. Nggak akan sedingin Bandung sih, tapi tetep jadi adem.
Satu hari setelah Nyepi, di Banjar Kaja, di Sesetan, ada prosesi Omed-omedan. Saya menyebutnya Festival Cium-cuman bagi anak bajang (lajang) di desa tersebut. Perempuan dan pria ditemukan untuk saling berciuman. Yang sudah lama naksir biasanya saling bercumbu, tapi kalau nggak naksir dari jauh-jauh kepala sudah digeleng dan mulut ditutup tangan dengan rapat. Dua tahun lalu saya berkesempatan mengabadikan festival ini, silahkan menengok postingan saya tentang Omed-omedan ini disini.
Tahun ini Nyepi akan jatuh pada hari Senin, tanggal 31 Maret. Yang mau menikmati syahdunya Bali & melihat anak-anak manusia saling melumat bibir, silahkan booking pesawatnya dari sekarang. Bagi mereka yang akan merayakan Nyepi, saya ucapkan Selamat Menyambut Tahun Baru Çaka 1936. Semoga tahun ini membawa kedamaian, damai di hati, damai di bumi dan damai selamanya.
wahh serunya mbaak 😀 selamat berlibur kalau gitu yaa 😀
Terimakasih. Tapi belum beli tiket, antara mau pergi dan tak pergi. Maju mundur terus….
pernah nyobain nyepi juga 2 thn lalu, seneng ngeliat langit bersih banget. Yg sekarang gw kabur dulu deh ke luar Bali xixii
wah lalu kalau hotel gimana ya jadi penasaran kalau mall jelas tutup
Indovision aja mati nggak ada siaran. Hotel masih boleh beraktivitas tapi lampunya minimal banget. Kalau hotelnya punya private beach jangan harap bisa jalan2 di pantainya.
benar benar toleransi tinngi menjaga dan saling menghormatin
Ughhhh ke bali lagi huhu. Entar belanja perak lg deh kamuh
Nah itu dia yang bikin cemas Non. Tabungan bisa jejeritan.
Heningmya pasti beda banget ya…yg lagi galau putus cinta bisa makin galau itu… :))
Selamat ber bali lagi ya mba Ai… ayo jangan ragu2 langsung book tiketnya *kompor* 🙂
Hahaha iya yang lagi galau pasti semakin menggalau. Masih ada dua hari untuk memutuskan pergi atau nggak.
Wah seru kayaknya tuh… Aku suka bgt nih, melihat sisi lain bali
Ayo mas booking tiket dan habiskan long weekendnya di Bali.
Nyepi tanggal berapa sih, udah lama ga liat kalender
31 Maret, senin depan.
Wah coba cek jadwal dan tiket, mumpung libur juga sampe selasa
Selamat berlibur!
Tahun kemarin saya nyepi di bali, seru banget nonton ogoh2nya 😀
kalau tahun ini katanya nggak ada festifal ogoh2 mbak, karna mendekati pemilu
Tahun ini di Denpasar ada kok, waktu itu aku sempat lihat pengumuman di dalam kantor walikotanya untuk pengajuan proposal ogoh-ogoh.
Alhamdulillah,.. jadi pingin kesana lagi 😀
Imii lahir saat nyepi 2 tahun yang lalu.. kalo pake kalender hindu jd dia mau ulang taun ya hihihi..
Ai beruntung banget bisa liat bali saat nyepi begini!
Wah kalau melahirkan di Bali berarti bisa lihat jalanan Bali yang kosong-song.
weuw jadi pengen ngerasain nyepi di bali, pasti suasana-nya hening hehehe..
yang paling mau di lihat acara omed-omed-an itu 🙂
Yang seru emang omed2an itu. Yang nonton kalau gak di dek fotografer pasti basah-sah sah!
Gue belom pernah Nyepi di Bali… Padahal pengen juga…
Adik bayinya harus gede dulu, baru bisa diajak Nyepi Ka. Kalau masih kecil kasihan.
Iya. Temenku ada yang nekat, terus bayinya nangis-nangis dunk pas gelap gitu >.<
Pingback: Rahajeng Nyepi | Ailtje Ni Dhiomasaigh