Dari Palu, saya terbang ke Makassar untuk transit selama kurang dari 12 jam dan dilanjutkan ke tujuan akhir: Jayapura. Rupanya, pesawat kami mampir dulu di Timika. Entah mengapa turun di bandara di Timika saya merasakan ketegangan. Pengamanan cukup ketat dan orang-orangnya tak bermuka ramah. Bandara Timika sendiri rupanya seperti kantor Freeport, karena dipenuhi tulisan Freeport dimana-mana, dari bis yang menjemput kami hingga ruang tunggu.
Menariknya, toilet di bandara, sama seperti toilet di kantor saya, menawarkan kondom gratis. Biar gratisan, stok kondomnya juga terlihat menumpuk. Wajar saja kondom mudah didapat di Papua, karena pertumbuhan HIV/AIDS disana tertinggi di seluruh Nusantara. Soal kebersihan, toilet di Timika luar biasa bersihnya, lebih bersih daripada toilet di bandara Jakarta. Btw, saya ngantri lama di toilet cuma buat mengambil dua foto ini:

Duh segitunya ya kita sampai mesti diajarin cara duduk di toilet?
Destinasi akhir kami, Jayapura ditempuh selama kurang lebih 1 jam. Sampai di bandara, kami disambut pemandangan burung-burung yang mati kaku di luar jendela ruang tunggu. Entah mengapa. Sama seperti di Timika, hal pertama yang saya lihat adalah toiletnya. Dimana tempat emang saya selalu menyempatkan mampir ke toilet karena toilet, bagi saya, adalah secuil gambaran tentang kualitas orang-orang di suatu wilayah. Kualitas kebersihan tentunya.
Toilet di bandara Jayapura sejauh ini mengalahkan kualitas toilet di bandara Aceh pasca tsunami. Mengalahkan lho, artinya juara jeleknya. Langit-langitnya berlubang, pintunya tanpa kunci, banjir dimana-mana. Lampunya, ya temaram nggak karuan, wong langit-langit buat naruh lampu aja ambrol. Soal kebersihan ya jauh banget dari kata higienis. Jadi ini bandara dana perawatannya kemana saja?
Rupanya, terkejut melihat toilet buruk rupa belumlah cukup. Garuda Indonesia dan Angkasa Pura berbaik hati memberi saya kejutan indah: bagasi sukses ditinggalkan di Makassar. Begitu melihat saya masih menungu bagasi, petugas bandara di Jayapura dengan coolnya menggiring saya ke ruang lost and found. Nampaknya, petugas di Jayapura sudah BIASA menangani penumpang yang bagasinya tak muncul. Kalau kata mereka: “Memang biasa petugas bandara di Makassar itu begini”. Parahnya, petugas di bandara Makassar juga tak punya itikad menaikkan bagasi saya ke penerbangan lain yang ke Jayapura.
Prosedur pelaporan bagasi hilang sangatlah sederhana, copy tag bagasi saya diambil oleh pihak bandara dan diganti dengan selembar bukti laporan berwarna pink. Berapa ganti rugi yang diberikan atas kelalaian ini? NOL rupiah saja saudara-saudara.
Hasil google saya menunjukkan kalau Pemerintah meregulasi bahwa penumpang yang menunggu bagasi yang tak muncul selama maksimal tiga hari berhak atas uang tunggu 200.000 per hari. Yes, you read it right, 200 ribu rupiah saja sehari selama maksimal tiga hari. Bagasi sendiri baru dianggap hilang setelah empat belas hari. Jadi, kalau apes bagasi nggak muncul, dari hari ke empat sampai hari ke empat belas, silahkan gigit jari tanpa kompensasi apa-apa. Entah siapa yang bikin peraturan ini, yang jelas, di Jayapura dengan uang segitu beli dalaman saja nggak cukup.
Entah aturan dari mana, bagasi saya bisa diantarkan ke hotel tapi saya tak berhak mendapatkan uang tunggu. Padahal, bukan pihak Garuda, apalagi pihak bandara yang mengantarkan bagasi saya, tapi bagasi saya dititipkan kepada petugas hotel tempat saya menginap. Petugas hotel ini rupanya secara rutin menjemput pramugari dan pilot Garuda di bandara. Jadi, kemana hak saya atas uang tunggu tersebut? Ya begitulah hak penumpang di negeri ini, nggak dihargai.
Bagasi saya akhirnya kembali satu hari setelah saya tiba. Kondisinya tak bisa dibilang baik-baik saja, karena koper saya mendadak jadi lengket dan bermandikan gula. Untungnya (masih bisa bilang untung), koper saya tak dibongkar dan tak ada satupun barang yang hilang.
Apa pelajaran berharga dari semua drama ini? Belilah asuransi perjalanan supaya nggak kaget-kaget amat kalau harus mendadak keluar uang untuk beli baju. Apalagi, pakaian di Jayapura itu ternyata nggak murah dan pilihannya terbatas.
Kemaren pas pulang kampung, bagasiku pun tertinggal di Singapore. Si petugas di bandara Juanda pun nggak memberi uang tunggu. Setelah dikomplen barulah uang tunggu ini muncul dan jumlahnya pun cuman 500 rebu (menurut konvensi Jenewa dan Montreal, konon mestinya dapet sejumlah 100 USD dan usut punya usut ternyata Singapore Airlines memang terkenal pelit soal kompensasi, lain dengan maskapai lainnya).
Untungnya aku punya asuransi travel (disini “di didik” untuk punya asuransi untuk apapun) jadi nggak terlalu panik, dan kebetulan tujuannya memang rumah orang tua jadi masih ada baju2 disana
Hah, menurut konvensi 100 USD, errr…jadi 200 (dan 500) ribu itu ngitungnya gimana ya. Aku juga lagi nyari dokumen travel insuranceku, ntah kusimpan di mana. Untungnya (tuh kan masih mikir untung), belinya yang yearly 🙂
Nah itu dia….
Eh sori maksudnya 100 SDR (Special drawing right) kira2 sama lah sama USD. Aku komplen ke orangnya SQ di Surabaya kata dia udah saklek segitu, jadi ini komplen lagi tapi belum dibales. Hadeh, bikin repot aja 😛
Waduh rusak tasnya huhuhu. Iya Ai, tuntut aja hak itu. Kalo didiemin cuek mereka
Nggak rusak sih, cuma mandi gula aja dan nggak tahu gimana bersihinnya.
yah itu dia, biasanya kalo gula gitu kan jadinya lengket2
Wah Tje, musibah bener itu. Isi kopernya masih lengkap ngga?
Amazingly, lengkap nggak disentuh sama sekali. Kuncinya pun masih utuh.
mbak ailsa, itu harus komplain ke customer service bandara tuh biar gak terulang lagi.. eh tapi di bandara soekarno hatta yang udah taraf internasional gitu aja barang masih suka hilang kok hehehe
Hoh… Bukan ke garudanya ya? Untung di Jakarta gak pernah ngalamin ilang bagasi.
paling baik sih ke dua2nya mbak..aku dulu hilang juga mbak bagasinya di jakarta trus balik lagi, ga ada yang hilang tapi sudah dirusak gemboknya hahaha
Kak … harga BH disana brp yaaa ??? Rp. 600 ribu masih kurang yaa buat beli BH ??? #SeriusNanya #Lebay hahahha.
Gw paling males kalo urusan bagasi, maka nya jarang banget gw pake bagasi. Kejadian bulan lalu pulang dari palembang naik garuda. Di monitor muncul kalo bagasi ada di No 2 tapi ternyata bagasi rombongan gw tersebar di setiap lorong jadi kita mondar mandir ambilin bagasi 🙂
Mb Ail, kopernya rusak gituuu…..
Waktu pulang ke Indonesia kemarin koperku juga ketinggalan di Sydney. Tapi setelah 2 atau 3 hari sama pihak Garuda dianter sampe rumah. Waktu itu aku ngga tau kalo ada yg namanya ‘uang tunggu’, jadi cuma mikir mau ng-claim dari asuransi yg di NZ aja. Tapi kan kalo mau nge-claim insurance gitu butuh surat keterangan dari maskapainya kalo koper bener2 ketinggalan/telat. AKu e-mail sampe 2 kali nggak ada tanggapan sama sekali. Mengecewakan…… Padahal sebelum2nya aku sempet e-mail ke maskapai lain (untuk urusan lain) dan nggak pake nunggu lama langsung dibales loh. Duh, Garudaku,,,,
Coba teriak di twitter mereka, atau datang langsung ke kantor garudanya. Aku juga mau ngurus karena mau claim asuransi. Ogah rugi banget.
waduh… sampai segitu ya mba… Alhamdulillah aku belum pernah mba dan jangan sampe.
untung masih utuh ya mba, meskipun agak2 lecek gitu rupanya 😀
tfs mba..
Selama terbang belum pernah bagasi ketinggalan. Gimana kalau isinya pakaian dinas? Beli baju nggak murah juga kan. hehehehe
Wah iya, kalau isinya baju seragam ya berabe, harus ngejahitin dulu.
Nggak apa2 mba kopernya bermandikan gula heheh yang penting nggak bolong dan nggak ada barang yang hilang 🙂
iya bener, yang penting gak ada barang hilang.
Ah setujuuuu. Memang terkesan uangnnya rechan ya bok, tapi itu hak. Kadang selisih 5.000 di invoice aja gue tanyaiiiin. Hihihi. Untung balik itu koper, nggak kebayang gondal-gandul nggak pake beha. Eh 😛
Aku beli beha dong, celana dalam, pasta gigi, daster dan dress buat meeting. Langsung alesan buat belanja 🙂
Bandara Sentani masih pake cara manual nggak pas ambil bagasinya?
Baca tulisan-tulisan Jayapura di sini jadi nostalgia dan tambah kangen ama Jayapura 😀
Pingback: Perjalanan Dinas | Ailtje Ni Dhiomasaigh