Banyak orang yang berkata kerja kantoran itu enak, datang, duduk lihat computer lalu pulang dan gajian setiap bulannya. Tapi bekerja kantoran bukan melulu kerja di dalam kantor dan leyeh-leyeh di depan komputer seperti yang dibayangan orang, ada kalanya dibutuhkan perjalanan dinas keluar dari kota untuk bertemu dengan rekanan, pemangku kebijakan ataupun potential client. Perjalanan dinas itu kalau seringkali melelahkan, apalagi kalau harus terbang lama, karena mesti kerja keras dua kali lipat dengan jam kerja yang lebih panjang. Tanpa disadari, perjalanan dinas yang sering diduga enak ini menjadi sumber kecemburuan yang kemudian menyebabkan suasana kerja menjadi tidak enak.
Ada beberapa alasan mengapa perjalanan dinas bisa menjadi sumber kecemburuan, pertama soal uang. Uang saku yang diberikan kantor untuk melakukan perjalanan dinas seringkali berlebihan dan semua orang suka uang. Uniknya, kalau uang perjalanan dinas tak berlebih, selalu ada jalan untuk mencari kelebihan. Ambil contoh perjalanan yang diganti secara at cost, dalam benak kita tak ada ruang dan celah untuk mendapatkan ekstra. Tapi masih tetap ada yang bermain dengan hotel untuk menaikkan harga kamar, lalu nego hotelnya di ruang tunggu bandara Soetta, ngomongnya lewat telpon, kenceng pula. Jika hotelnya tak mau menaikkan harga kamar, maka hotel lain yang lebih fleksibel yang akan dicari. Sementara, mereka yang mendapatkan lump sum, akan tinggal di hotel yang super murah, soal keselamatan gak penting, yang penting pulang kocek penuh uang tambahan.
Daerah-daerah yang menawarkan uang saku besar, seperti Jakarta, Yogyakarta dan Bali menjadi daerah favorit untuk perjalanan dinas dan herannya sering sekali dijadikan tujuan konferensi-konferensi, ataupun meeting. Selain daerah wisata dan ibukota, perjalanan dinas ke luar negeri juga menjadi incaran. Alasannya bukan hanya uang, tetapi juga kesempatan untuk jalan-jalan. Perjalanan dinas memang tak melulu soal kerja, terkadang ada waktu luang yang bisa digunakan untuk jalan-jalan atau menambah hari dengan biaya sendiri untuk jalan-jalan.Terkadang lho ya, tapi ini tak setiap saat. Tapi perjalanan dinas sudah terlalu identik dengan jalan-jalan, makanya banyak yang cemburu karena tak diajak.
Nambah mileage, walaupun gak umum, juga salah satu alasan untuk melakukan perjalanan dinas. Mintanya penerbangan-penerbangan tertentu, yang harganya seringkali lebih mahal. Akibatnya, anggaran menjerit-njerit, sementara kartu keanggotan tertawa girang. Mileage yang terkumpul ini kemudian digunakan untuk jalan-jalan pribadi dan menjadi pemicu orang untuk iri. Ngomong-ngomong soal mileage, jaman dulu saya pernah berurusan dengan orang yang maunya terbang dengan penerbangan singa tetangga, bukan singa merah milik negeri ini, belum booking pun sudah ngasih kartu anggota dan ngotot gak mau terbang kalau gak pakai penerbangan itu, padahal penerbangan itu nggak direct, harus transit jadi lebih panjang dan capek, plus harganya lebih mahal. Demi mileages, apapun akan dilakukan, termasuk menghamburkan taxpayer’s money. Sampai tempat tujuan, kurang berguna dan berkontribusi. Eh capek deh.
Pada awal-awal bekerja, saya bersemangat sekali dengan perjalanan dinas. Euphoria perjalanan dinas ini bertahan selama beberapa tahun, apalagi untuk daerah-daerah baru yang menarik. Tetapi, semakin lama saya semakin capek menyiapkan tetek bengek untuk pergi. Selain harus mengatur meeting beberapa minggu sebelumnya, masih harus mengepak barang sambil berhati-hati supaya gak salah kostum di daerah-daerah tertentu. Urusan bangun pagi, terkadang jam tiga pagi, juga bikin mood jadi rusak. Belum lagi jika harus berurusan dengan taksi yang tak muncul, nyasar, atau yang paling parah pengemudi yang nyetir sambil tidur. Wah soal yang terakhir ini jangan tanya gimana deg-degannya. Gara-gara kejadian itu (serta gara-gara lihat tabrakan beruntun di tol bandara), kalau pagi-pagi ke bandara saya lebih memilih untuk naik taksi premium saja, setidaknya pengemudinya lebih hati-hati karena kalau kecelakaan bayarnya lebih mahal.
Masuk bandara di pagi hari juga bukan hal yang menyenangkan karena seringkali kita disambut lautan manusia yang akan check–in untuk penerbangan pertama. Kapasitas bandara kita memang sudah tak memadai lagi dan perlu diperbesar. Dalam kondisi ngantuk dan lapar seperti itu, mencari kedai kopi juga susah, karena rata-rata baru buka pukul lima pagi. Untuk penerbangan luar negeri, antrinya ekstra, ditambahin antri imigrasi. Perjuangan perjalanan dinas seringkali tak berhenti disitu, masih ada delay, duduk kejepit diantara dua orang besar-besar, ketipu taksi di daerah tujuan, sakit perut karena makanan yang gak cocok, terpaksa makan di hotel selama beberapa hari berturut-turut, kecapekan lalu sakit, bagasi ketinggalan seperti waktu saya dinas ke Papua kemaren, serta duit habis karena beli oleh-oleh buat orang satu kantor dan karena nraktir makan para partner di daerah.
Perjalanan dinas itu tak seglamour yang dipikirkan kebanyakan orang dan tak perlu dianggap sebagai barang glamour yang perlu diperebutkan. Selayaknya perjalanan dinas, apalagi jika dibayar oleh taxpayer’s money, dilakukan sesuai kebutuhan, bukan untuk hura-hura, jalan-jalan apalagi untuk mengambil keuntungan pribadi. Makanya, menyikut orang-orang di sekeliling untuk perjalanan dinas, ataupun cemburu karena perjalanan dinas orang lain, hingga menyebabkan suasana kerja menjadi kurang nyaman juga rasanya tak perlu dilakukan. Teorinya begitu, tapi prakteknya pemburu perjalanan dinas tak segan untuk mengambili perjalanan dinas, yang bahkan tak relevan dengan pekerjaannya atau bahkan memusuhi rekan kantornya yang dipercaya melakukan perjalanan dinas. Gagal paham saya.
Jadi, sukakah kamu dengan perjalanan dinas?
Xx,
Tjetje
Belum pernah rebutan perjalanan dinas, amit2 deh.
Berat banget emang mesti bangun pagi – pagi buta untuk urusin event di kota lain, dan juga oh yeess kalo 1st flight bikin pala pusing haha
Wah kalau ngurus event di luar kota, apalagi yang orang2nya relax, berat banget Puji.
Lebih susah lagi kalau naik first flight, LCC pula, jadi gak dikasih sarapan. Sampai tempat tujuan udah bertanduk.
Nah, persis sama dengan apa yang kurasakan hahahaa
Hihihi, waktu jaman dulu kerja sama ga pernah rebutan perjalanan dinas, tapi semua temen kantor juga ga rebutan karena perjalanan dinasnya ke kantor cabang di Lampung dan Surabaya, yang artinya harus lebih banyak dua kali kerja lebih keras, ga bisa kongkalikong untuk urusan hotel, semuanya udah di urus di kantor. Untunglah jadi lebih barokah hahaha.
Klo ngumpulin mileages, aku belom tertarik dan lebih baik tidak tertarik sepertinya.
Itu orang yang ngumpulin mileages emang ajaib banget. Mestinya ada kerjasama supaya mileages yang didapat dari kantor itu berguna balik buat kantor, gak diambil individu.
Aku juga pas msh kerja kemarin sering bgt dinas. Masalahnya selalu kebagian trip manca negara, sebulan sekali itu udah pasti ampe ada teman kerja yg ngiri bgt pdhl itu semua acara atau permintaan client. Ampe digosipin macem2 lagi. Aku setuju Tje, capek bgt krn bisa balik hari juga klo cuman ke tetangga dan selalu first flight and last. Kantorku sistemnya ga bisa diapa2in karena hotel dll udh dibook langsung. Kita sisa dikasih uang makan aja dan transport semua hrs pake receipt. Di negara2 tertentu haram hukumnya naik taxi. So you are really there for the client’s sake karena jadwal super ketat.
Yang ngiri itu pada belum ngerasain capeknya Mbak, jadi lihatnya ngiri doang.
Yoii bgt Tjee!!!
Perjalanan dinas swasta banyak gak enaknya.
Yang enak itu kalo perjalanan dinas pns, hehe…
Wah pak Alris saya udah ngalamin perjalanan dinas a la PNS, check-in dibantuin, tau-tau bagasi nambah satu, kardus oleh-oleh. Belum lagi urusan rebutan bayar-bayarin, ampun deh.
Saya tidak sering perjadin soalnya saya staf administrasi, dan kalau perjadin kadang repot juga soalnya menyiapkan bukti, saksi, lala lili bahkan sampai harus tambah hari menginap karena pesawat dibatalkan akibat cuaca buruk itu pernah :hehe.
Di kantor saya sekarang mulai gerakan at cost, pesawat LCC, untuk menghemat anggaran negara. Yah kalau zaman dulu sih terkenal bangetlah ya perjadin pns itu seperti apa. Sudah mulai ada penghematan sih, paling tidak sejak zaman saya masuk (2013), cuma saya tak menutup mata kalau masih ada saja pegawai yang berusaha cari celah :)). Menurut saya sih kita kuat-kuat membentengi diri sendiri saja.
Gara, waktu Sri Mulyani jadi Menkeu, beliau bikin gebrakan baru, PMK yang tadinya lump sum dijadiin at cost. Wah pada ribut tuh yang nyari tambahan dari lump sum.
Yep, betul sekali.
70% kerjaanku dulu selalu ngiter Indonesia sejak di marketing, eh sejak diriset juga sih. 3 tahun pertama seneng. 4 tahun terakhir mblenek nemen. Soalnya berasa jenuh dan capek. Karena kalau tugas luar gitu kerjaan dobel. Malampun tetap musti nyelesein kerjaan reguler. Kalo terbang selalu pesawat pertama. Pernah dulu sehari harus terbang dari Jakarta-Medan-Surabaya-Banjarmasin. Aduhh itu mblenek ga karu2an. Dan dikantor, emang dapat fasilitas pakai Garuda. Jadi semua orang yang bisnis trip yang booking pesawat ya dari kantor. Enaknya, milleagenya bisa masuk ke pribadi. Pernah Ada orang kantor yang bisa pakai GFF nya buat liburan ke Amsterdam sama beberapa negara di Eropa. Ngumpulin 2 tahun. Booking hotelpun kantor yang bikin, jadi ga bisa dipermainkan. Dan uang dinaspun sistem klaim. Semua diganti berdasarkan yang tertera dikwitansi. Masing2 jabatan ada jatah maksimal. Kalau kelebihan, ya kita ganti sendiri. Bagian auditnya parah ketatnya. Kalau ketahuan ada yang curang, ga segan2 langsung pecat, apapun jabatannya. Dan memang benar, bagian marketing itu selalu bikin sirik departemen lainnya. Karena mereka mengira kami kerjaannya hanya jalan2 dan makan2 enak saja. Ya emang bener sih, kita bisa curi2 waktu jalan2 juga. Tapi sepadan sama kerjaan kami yang lembur sampai menjelang subuh, apalagi kalau ada produk baru yang keluar, bisa nginep kantor segala *jadi nostalgia masa2 kerja 😅
Aku pernah ngalamin beberapa bandara juga dalam sehari Den, pagi sarapan dimana, malam makan dimana. Yang orang suka lupa tuh ya kalau perjalanan dinas sering banget harus nraktir partner di tempat tujuan, karena mereka mikirnya kita berlimpah duit. Kalau perginya rame2 sih asyik, bisa dibagi, kalau sendirian benjut.
Saya asik2 aja dulu kalo ke luar kota akomodasi dah diurus kantor ga bisa milih sendiri, plus dapat uang saku. Tapi kebanyakan bagi yang sudah berkeluarga ogah-ogahan meski dapat uang saku dan bisa jalan2 tapi harus ninggalin keluarga beberapa hari itu berat. Usai kerjaan pada buru2 pulang mau penerbangan paling pagi atau paling akhir yg penting ketemu keluarga
Aku perhatikan juga gitu, apalagi kalau pas ada acara di sekolah anak ya?
Bermain dgn hotel untuk menaikan harga kamar.. *siul-siul* temen kantor ku banget tuh mba..
salam kenal mba altje
Salam kenal juga. Itu praktek umum tuh dan mereka yang diposisi itu kadang-kadang dituntut oleh atasan. salam kenal juga Bella.
perjalanan dinas itu paling ‘enak’ kalau masih single mba.. Kalau sudah punya anak..jangankan perjalanan dinas, acara di hotel dalam kota aja bela-belain pulang walau dengan resiko pagi2 pergi lagi ke tempat acara. IMHO ya
Aku setuju banget, kalau single gak ada yang ditinggal dan dipikir. Sementara kalau sudah ada anak kepikiran banyak hal ya.
Kalau aku sebagai bagian dari kewajiban memang harus pergi dalam rangka “perjalanan dinas” ke beberapa konferensi untuk mempresentasikan hasil kerja. Dan memang budget-nya diambil dari budget proyek sendiri. Jadi kalau (banyak) dipakai untuk “hura-hura” ya budget proyeknya sendiri yang cepat habis, hahaha 😆 . Tapi biarpun begitu aku tetap memilih untuk terbang dengan maskapai yang enak. Ogah kalau harus pergi jauh-jauh tapi pesawatnya nggak enak. Capek di badan doang, jatuhnya jadi lebih “mahal” karena setelah sampai di tempat tujuan malah jadi capek 😛 .
Kalau TU Delft modelnya adalah at cost. Sementara beberapa universitas lain di negara tetangga ada yang pakai lump sum. Kayaknya enak yang lump sum deh soalnya sisanya bisa “ditabung”, hahaha 😛 .
Ko, temen kantor guwe dulu ada yang punya motto, gak mau naik LCC, apalagi kalau dibayarin kantor. Bisa gatel-gatel katanya. Lump sum itu enak gak enak, kalau pas sisa bisa ditabung, tapi kalau pas kurang babak belur ya.
Hehehe, kalau disini bebas mau naik maskapai yang mana asalkan tiketnya kelas ekonomi dan harganya masih “masuk akal” 😛 . Setahuku di universitas tetangga itu kalau lump sum juga sudah diperhitungkan sesuai dengan sikon negara/lokasi tujuannya. Jadi asalkan gak aneh-aneh aja (misalnya makan di rumah makan bintang tiga Michelin mulu, haha 😛 ), pasti cukup dah 😛 . Tapi iya sih, kalau perhitungannya dipukul rata semua, bisa babak belur kalau dikirim ke tempat yang mana apa-apanya mahal, haha 😆 .
Emang kadang suka ngiri ama orang yg sering diutus perjadin gt Tje, tapi balik mikir lagi, pasti ada resiko capek, tugas berat, etc2 lah. Yang malesin, kalo tukang perjadin itu lebih dikenal krn pamer jalan2 nya, bukan prestasi kerjanya, heheh
Kadang-kadang perjalanan dinas itu dipakai sebagai reward karena yang pergi orangnya rajin kerja keras dan cepet tanggap. Nah orang2 seperti ini yang suka jadi bahan gunjingan orang2 yang kurang rajin, terus di exclude deh dari pergaulan kantor.
Nah, kasian klo yg tipe utusan andalan gt. Udah rempong perjadin, ttp disuudzonin. Apes.
Perjalanan dinas yg kurindukan udah hampir 7 tahun sejak pindah ke yogya ndak da tugas dinas dinasan seperti waktu dijakarta..
kadang lumayan walau membawa tugas berat namun sedikit happy biar seger nie mata ngak sumpek didalam kantor terus…
Ria, Yogyakarta suasananya kan liburan, jadi kerja di Yogya nggak holiday mood terus ya?
Aku sudah dari akhir tahun kemaren menolak2 perjalanan dinas, karena capek banget, sampe sekarang, untungnya, gak rindu.
Walah mbak malah sumpek kalau holiday terus…
Hehe jalanan terutama.
Kl di ktr dulu itu yg rebutan training di luar negeri Ai sama benchmarking trip :)) apalagi kl berangkatnya pas winter, ada anggaran sendiri buat beli winter ourfit :))
Wah generous banget dikasih winter outfit.
Yang paling disuka dari perjalanan dinas memang pengalaman explore tempat baru dan ketemu orang baru, cuma yg bikin males adalah packingnya. Kalo soal akomodasi, saya lebih mending nambah pake duit sendiri daripada mesti nginep di hotel yg sesuai budget tapi spooky 😦 Dan karena itu pula I’m not a big fan of perjadin.
Mendingan jalan2 sendiri ya, lebih bebas dan tentunya packing baju2 liburan terus 🙂
Iya Mbak Tje, yg dibawa baju liburan, bukan baju kerja hehe
Belom pernah dan pengen bgt nyobain sekali2 hehehe. Btw bedanya ‘at cost’ dan ‘lump sum’ itu apa mbak?
Kalau at cost, hotel 600 digantinya 600, makan 100 diganti 100. Sesuai dengan kwintasi, kalau gak ada kwintasi gak bisa diganti. Sementara kalau lump sum, ke bali misalnya 400 dollar, cukup gak cukup harus cukup buat hotel, makan, dll. Kalau gak cukup, itu jadi derita pejalannya.
Kalo aku dapat tugas dinas luar itu jadi beban banget mbak… hasil dari perjalanan dinas dibuat laporan lengkap, harus presentasi dan harus ada hasil yang bisa diterapkan. Jadi kalo pulang dinas itu artinya selama minimal 2 bulan ke depan alamat lembur lembur lembur… kalo dinas nya itu untuk ikut pelatihan atau workshop, bearti pulangnya siap-siap transfer ilmu ke teman-teman yang laen, yang alhamdulillah banyak makan hatinya … *lap keringat*. Dinikmati ajaaaa…..
Nggak cuma laporan perjalanan dinas dan presentasi aja, kalau barengan sama orang yang posisinya jauh lebih tinggi mesti bikin briefing note, pidato, terus bikin profil pejabat2 yang akan ditemui.
xixixi jadi ingat kejadian di kantor lama Mba, semua pengeluaran kalau business trip harus at cost, dan kita hanya boleh belanja pakai company credit card, ga punya cash. Bener-bener ngga ada daily allowance juga. Jadinya ini sering jadi becandaan, pergi naik business class, tidur hotel bintang 5, makan di tempat mahal juga boleh, tapi kitanya ngga punya duit buat beli oleh-oleh 🙂
Tapi kebanyakan sih senang – senang aja, aku juga senang. Jalan – jalan dibayarin, berkedok training.
Wah enak gak perlu beli oleh-oleh, apalagi angkut-angkut oleh2.
betul banget Mba, tapi kadang kita suka ngakalin juga sih, skip dinner trus beli coklat, ntar di expense reportnya coklat as a meal 🙂
ada banget di kantor pusat yang ngumpulin mileage ini.. 🙂 pas liburan berkat mileage foto-foto di path.. trus tiap dinas juga selalu check in di sana sini.. bikin sirik yang di kantor cabang :)))
Jangan sirik, nggak worth it sirik.
Bener banget. Nggak tau ya kalau di Indonesia suka di mark up begitu hehe tapi aku sudah capek yang namanya perjalanan dinas.
Sekarang daripada nginap berlama2 di hotel di Oslo, mending pulang aja seharian walaupun risiko berangkat pagi2 pake pesawat pertama dari Copenhagen dan pulang dari Oslo sudah larut malam. Yang jelas perjalanan dinas bikin capek dan nggak pantas disirikin 😛
Mark up apa aja bisa. Pesawat Lion Air aja bisa diganti boarding pass jadi Boarding pass Garuda *yang tentunya lebih mahal*.
ganti boarding pass? gedubrak.
Coba Google aja beli boarding pass, 150-150 ribu sebiji Va.
Mbak Tje, aku gak ngalamin.. tp suamiku iya, waktu itu masih pacar. Sebulan bisa 4 kali perjalanan dinas. Aku suka komen tuh, ih ngiri kantormu enak bikin bisa keliling Indo gak kaya aku yang mentok ke Bandung. Tapi katanya capek, jangan diliat enaknya doang hehehe. Trus dia masuk instansinya pas bu Sri Mulyani njabat dan bikin gebrakan reformasi birokrasi, kementrian yg dia pimpin jd pilot project.. jadi alhamdulillah malah gak ngerasain lump sump gitu2 lah.. bener2 clear, terima tiket dan gak ada duit macem2. Aku jg tenang karena duitnya jelas hehhehe.. agak curcol dikit.
Nah itu tuh pas Sri Mulyani masuk emang luar biasa dan katanya penghematannya juga banyak.
Saya udah capek perjalanan dinas tapi mau gak mau harus karena tuntutan kerja. yang paling sedih gak ada cash advance dan transportasi yang minim kalo ke daerah kabupaten, dan kalopun pakai pesawat derita banget pake penerbangan yang pertama. Orang ngeliatnya enak banget “enak ya jalan-jalan terus bisa piknik juga” padahal kenyataan mikir kerjaan dan badan udah capek, boro-boro buat jalan-jalan
Nah itu kalau gak dikasih cash advance keuangan selama bulan itu bakalan kacau, terus tabungan yang sudah disembuyikan jadi dikeluarin.
Ayahku juga sering banget perjalanan dinas seperti itu. Kalau dulu sistem perjalanan dinas adalah kantor ngasih tugas perjalanan dinas dan sejumlah uang untuk akomodasi yg terserah mau digunakan buat apa aja dan ga perlu dikembalikan ke kantor, jadi pesawat&hotel sebisa mungkin yg paling murah, biar ada sisa hehehe… Tapi beberapa tahun terakhir aturannya berubah dimana pengeluaran tiket, hotel, dsb harus ada laporannya dan uang sisanya harus dikembalikan ke kantor.. perjalanan dinas kata ayahku cape banget sih karena di sana juga kerja dan balik kantor ditunggu kerjaan juga. makanya karena sekarang aturannya udah lebih ketat, uang akomodasi dipake untuk pesawat&hotel yang lebih “nyaman” karena ngapain harus naik pesawat&hotel yang kurang nyaman for nothing?
ngomong2 ayahku capenya lebih berlipat-lipat karena kerja di Jakarta tapi tinggal di Bandung, jadi pas weekdays harus kerja dan sering ada perjalanan dinas, weekend pun harus pulang ke Bandung
Waaah semoga Ayahmu selalu sehat ya Riyan, biar bisa kuat bolak balik Jakarta Bandung.
Ibarat kata kalau kerja di kantor minum 1 suplemen, kalau perjalanan dinas kudu minum 2 suplemen karena memang work trafficnya akan lebih tinggi. Saya suka heran dengan orang-orang yang suka iri dengan perjalanan dinas orang lain, apalagi kalau sudah menitipkan pesan lumrah “jangan lupa oleh-oleh”..
Pesennya ditambahin pula, Jangan lupa bawa oleh2 ya kan dapat duit perjalanan.
Yes, benar banget mba, dan biasanya akan dikomen lagi jika oleh-olehnya sedikit (menurut mereka) dan kurang nikmat (menurut mereka lagi), haha
Pengalaman perjalanan dinas yang paling sering adalah ke Tarakan karena harus urusan dengan Beacukai di sana. Cukup nyeberang 1,5 jam dengan speedboat dari tempat kerja saya, tapi karena harus stand by 24 jam hingga komplit kapal dan barang siap ekspor. Saking seringnya dadakan komplit, saya jadi keseringan beli baju dan peralatan lain buat kebutuhan di sana. Belum ngajak makan driver yang di luar budget. Tapi selain itu ada enaknya juga sih, bisa nyalon dan nongkrong di warung kopi tradisional yang ngehits banget di sana sambil nunggu dokumen selesai. Itu setahun lalu mbak. Sekarang kudu anteng diem karena ada anak buah. Kalau dipikir pikir enak juga ga belanja dadakan dan bisa nabung tapi di sisi lain kangen jalan jalan dinas gitu.
Salam kenal mba Tjetje
Halo salam kenal juga. Pada beberapa kesempatan emang bikin kacau keuangan tapi juga ‘refreshing’, apalagi kalau keluar dari Jakarta lihatnya hijau-hijau.
Pingback: Mewahnya Rapat Nusantara | Ailtje Ni Diomasaigh