Suatu hari saya memberikan ucapan selamat saya berikan kepada sepasang kenalan yang baru saja kawin. Setelah mengucapkan terimakasih, pasangan ini kemudian nanya kenapa saya tak hadir pada perkawinan mereka. Sungguh pertanyaan yang agak ajaib basa-basi banget, mengingat saya tidak pernah menerima undangan perkawinan mereka, baik yang elektronik maupun yang cetak. Pertanyaan tersebut saya jawab dengan sopan bahwa saya tak menerima undangan dan kemudian ditimpali: Lho kalau tahu kenapa nggak datang aja?
Sekalipun tahu tempat dan tanggal perkawinan seorang kenalan, pantang buat saya untuk tiba-tiba nongol ke kawinan mereka (kecuali saya jadi plus one ya). Kalau pas pengantennya menerima dengan baik sih mending tapi kalau gak diterima dengan baik kan jadi rusak acara orang. Bagi saya perkawinan itu acara sakral (bukan konsumsi TV lho Mas Raffi), makanya kalau saya ga diundang saya paham sekali.
Undangan perkawinan, secara teori berlaku untuk dua orang, yang lajang biasanya bawa plus one supaya gak bengong. Tapi tak sedikit yang datang ke sebuah perkawinan beramai-ramai (agak ga tau malu sih yang begini), saya menyebutnya plus-plus. Tamu-tamu seperti ini alasannya macam-macam, biar bisa makan gratis atau memang biar rame. Padahal kurang rame apa kawinan di Indonesia itu? Lagian tak ada yang mengecek undangan, jadi biasanya orang bisa melenggang ke kawinan orang lain. Tak heran kalau pengantin sekarang menghitung satu undangan itu sama dengan tiga atau empat orang, supaya tak ada kekurangan makanan.
Di Barat (lalu dituduh kebarat-baratan) dan di beberapa perkawinan di Indonesia, RSVP menjadi hal yang wajib. RSVP itu singkatan bahasa Perancis, répondez s’il vous plaît. Kalau dalam Bahasa Indonesianya : tolong bales dong. Balasnya dengan konfirmasi kehadiran atau ketidakhadiran dan harus dijawab secepat mungkin karena di banyak acara, terutama dalam pesta perkawinan, RSVP diperlukan agar menu dapat dipesan sesuai dengan jumlah tamu.
Tak seperti perkawinan di Indonesia, saat jamuan makan di ‘perkawinan barat’ tamu wajib duduk manis. Sementara kita, dari kecil diajari untuk makan duduk tapi saat pesta perkawinan disuruh makan berdiri. Makanya RSVP diperlukan segini mungkin. Ngatur siapa duduk dengan siapa itu repot dan butuh waktu untuk mikir. Biasanya yang lajang didudukkan dengan lajang lainnya biar bisa ngobrol (di Barat, perkawinan itu ajang mencari jodoh). Tapi memutuskan lajang mana duduk dengan lajang mana mesti dipertimbangkan baik-baik supaya mereka bisa saling nyambung.
Bagaimana kalau sudah RSVP tapi nggak jadi datang? Di beberapa tempat, jika sudah melakukan RSVP dan gak muncul ke acara, wajib hukumnya untuk tetap memberikan hadiah perkawinan untuk mengkompensasikan ‘kerugian’ atas makanan yang dipesan. Lalu, bagaimana kalau telat RSVP? Gampang, tinggal ditolak aja karena makanan dan kursi sudah diatur. Di Indonesia menolak hal seperti ini pasti segan, tapi di luar Indonesia mah biasa aja.
Dari perkawinan mari kita bergeser ke acara seremonial dimana RSVP diperlukan untuk pengaturan kursi VIP dan salah mengatur kursi untuk VIP bisa menyebabkan insiden. Di Indonesia, VIP tak punya kebiasaan konfirmasi kehadiran, biasanya pihak pengundang yang harus rajin meneror menelpon untuk mengkonfirmasikan kedatangan tamu. Kebiasaan nggak RSVP ini merepotkan, karena beberapa jam sebelum acara jadi repot nyari-nyari sofa tambahan buat tamu VIP dadakan. Agenda acara juga mesti disesuaikan untuk mengakomodir tamu VIP. Banyak juga yang sudah RSVP, tapi buntutnya gak muncul atau malah mengirimkan pejabat pengganti yang tak tahu apa-apa. Ya gimana mau tahu kalau pagi-pagi baru dikasih arahan untuk pergi.
Melakukan RSVP itu bukanlah hal yang susah, cuma tinggal atur agenda dan angkat telpon. Jadi kalau dapat undangan (apalagi pejabat2 nih), jangan males RSVP dong karena RSVP itu bikin hidup orang lebih mudah.
xx Tjetje
Saya termasuk pengantin yang dulu pengen banget pakai sistem RSVP. Tapi nggak jadi diutarakan ke keluarga karena sudah tau pasti akan ditolak mentah-mentah.
Masih susah ya di Indo ini mba.
Sebenernya aku demen banget nih kalo ada RSVP karena bakal lebih rapi dan tuan rumahnya juga bisa lebih well prepared sayangnya disini gak budayanya sih (iya disini budayanya ngebolehin banget bikin ribet tuan rumah), banyak yang gak familier sama sistem RSVP.
Saya setujunya RSVP biar nggak mubadzir kalau makanan masih banyak masih bisa dikasih ke orang tapi ini buat alokasi budget. harusnya bisa dingertiin ya, sayangnya hal yang begini RSVP ini banyak yg gak mau ngerti
Tulisan yang menarik mbak. Bener juga ya, kita (maksudnya kami Indonesia) gak punya tradisi RSVP. Alasannya mungkin karena nilai kekerabatan (kekeluargaan atau pertemanan) yang berbeda. DI Indonesia, menolak orang yang dikenal adalah perbuatan yang sangat tidak sopan, karena hubungan kekerabatan atau pertemanan di atas segala bentuk prosedur formal. Tidak terkecuali dengan acara pernikahan. Undangan adalah bentuk pengakuan pertemanan keluarga pengantin atau pasangan pengantin kepada yang diundang. Bahwa yang diundang datang atau tidak itu tidak menjadi masalah besar bagi yang punya hajat. Memang apresiasinya menjadi berkurang, tapi begitulah tradisi yang berlaku.
Ah terjawab sudah kenapa banyak orang suka menjawab mungkin dan malas bilang tidak. Nggak sopan ternyata. Makasih atas pencerahannya!
Susah Tje menerapkan RSVP karena budaya Indonesia kan semua untuk semua. Padahal RSVP berguna untuk taksiran makanan minuman yang dihidangkan, jumlah kursi, tempat acara dsb.
Iya mbak susah banget. Alhasil kita jadi sering ngebuang-buang uang untuk beli makanan. Padahal kan bisa buat yang lain.
Soalnya orang di indonesia kebanyakan sistemnya “insyallah” sih.. Bukannya bawa2 agama nih.. tapi kata tersebut sering kali disalah gunakan. Jadi susah bgt mau rsvp karena setiap ditanya seringkali org jawabnya “insyallah”… Kan yg punya acara jd bingung ya.
Oh iya setuju. InsyaAllah itu jadinya penuh keraguan, sementara kalau emang mau datang jawabnya OK.
Setuju Christa, orang2 Indonesia disini pun begitu. Kalau diundang jawabannya insya allah…yg bikin orang bingung sebenarnya mereka bisa dateng atau ga sih. Susah, karena budayanya uda rame2 gitu, yg diundang satu orang misalnya yg dateng sekampung 🙂
Salam kenal Ailtje 🙂 Saya pun perna menulis tentang RSVP ini di blog saya karna gregetan dengan cara orang2 yg ngerti tata krama rsvp ini.
Nah iyaa kan bikin orang yang ngundang bingung ya…
mungkin harus diganti penulisan RSVP itu dengan yg lebih nge endonessaa Tje xixixii
di luar dateng ke resepsi bisa buat cari jodoh, kalo di sini dijamin bisa meringis karena pertanyaan para kepoers yang ga abis2. :S
Iya di luar jadi ajang perjodohan, beda banget sama disini.
ahahah iya paling males juga kalo dateng kondangan liat org dateng segambreng.. mnding kalo kenal deket.. kalo cuma temenan biasa sama yg ngundang, kesannya malu hehehhe
Beda budaya ya, tapi aku punya penglaman kantor ngadain acara kantor dan rsvp. Duh rempongnya nelpon tamu satu2 apalagi yg ngerasa sok penting. Dengan enteng blg aku mau semeja dg yg selevel… Pas hari ha ternyta tamu tamu itu nggak bisa diatur, meja sudah ditentukan tapi dg enteng blg, aku mau dyduk dg temen2ku dari intansi anu. Dan tetiba kursi vip penuh, teus tamu penting ngga mau di kursi biasa…. Arhggggg repotnya kak
hahahaa iya, orang VIP gak disebut namanya di speech aja bisa ngambek. Gak penting banget.