Words are powerful tools to change society; from the way they behave to the way they think. Ketika menginginkan lingkungan sosial yang setara penggunakaan kata-kata tepat harus dilakukan agar pria tidak terlihat lebih superior ketimbang perempuan. Tak hanya soal superioritas saja, tetapi juga untuk menekankan keterlibatan perempuan.
Dalam penggunaan bahasa sehari-hari, baik dalam bahasa yang diucapkan maupun dituliskan, seringkali kita menemukan jender bias. Jender bias biasanya ditandai dengan kecenderungan untuk menekankan kepada satu jender ketimbang jender lainnya, biasanya ditekankan kepada pria ketimbang perempuan. Sebagai contoh, tengoklah deklarasi kemerdekaan Amerika yang menuliskan bahwa “…all men are created equal…”; semua pria diciptakan setara,lha terus perempuannya gak setara? Berbeda dengan Proklamasinya Irlandia yang memulai dengan kata Irishmen and Irishwomen.
Pekerjaan-pekerjaan dalam bahasa Inggris juga tak lepas dari maskulinitas. Fisherman, chairman, congressman merupakan beberapa kata yang memberi kesan bahwa pekerjaan tersebut milik pria. Padahal, perempuan bisa dan sudah banyak yang melakukan pekerjaan tersebut. Bias jender juga terjadi ketika kita menggambarkan suatu kondisi pria dan perempuan dengan deskripsi yang berbeda; pria dengan kemampuan intelektualnya sementara perempuan dengan penampilan fisiknya.
Tak hanya Bahasa Inggris, bahasa Indonesia sendiri juga memliki kata yang tak sensitif terhadap jender. Kita menggunakan kata pahlawan dan bangsawan, tetapi tak punya kata pahlawati dan bangsawati. Jika kemudian ada perempuan yang menjadi pahlawan, harus ada penambahkan kata perempuan di akhir kata. Bagi saya yang bukan ahli bahasa dan kemampuan Bahasa Indonesianya awut-awutan ini memberikan kesan kuat bahwa yang normal dan lazim menjadi pahlawan dan bangsawan itu pria.Tapi, herannya bagi mereka yang berjalan di catwalk ada pemisahan peragawan dan peragawati. [Jika ingin membaca lebih lanjut tentang bahasa Indonesia dan jender, silahan baca jurnalnya disini.]
Kesetaran antara perempuan dan pria harus dimulai dengan penggunaan bahasa yang netral terhadap jender (gender neutral language). Contoh gampangnya, ketimbang mengatakan policemen, bisa dirubah dengan police officers. Sedangkan jika ada kata-kata dalam bahasa Inggris yang mengharuskan penulisan kata ganti his atau her, lebih baik dibuat plural saja sehingga tidak mengarah ke perempuan atau pria saja. Contoh paling gampangnya seperti kalimat ini “If a bloggers want to write better English, he they should practice”.
Membiasakan diri untuk menulis atau menggunakan bahasa yang netral terhadap jender tidaklah mudah. Tapi selamat ada niat, pasti bisa. Beberapa hal yang saya lakukan dan bisa diadopsi antara lain
1. Baca
Salah satu boss saya pernah bilang dalam setiap kesempatan selalu: baca, baca, baca dan baca sesuatu yang bermanfaat. Ada banyak informasi tentang jender dan bahasa, dari universitas hingga badan-badan United Nations mengeluarkan panduan serta kuis; jika sedang punya waktu saya sering membaca panduan ini untuk membuat membuat kepala familiar dengan kata-kata yang netral.
2. Googling (terpujilah dia yang menciptakan google dan membuat hidup lebih mudah)
Ketika menemukan kata-kata yang tak sensitif jender, biasanya ditandai dengan kata men, saya langsung google untuk mencari bahasa yang netral. Baru-baru ini misalnya, saya menggogle tentang fishermen yang kata netralnya adalah fishers atau fisherfolks. Googling saya untuk postingan ini juga membawa saya pada genderbread versi 2.0. Ntar kapan-kapan saya akan cerita tentang boneka gender ini ya. Tapi kalau pengen segera belajar, silahkan dibuka website yang bikin boneka versi dua ini.

Jender tak hanya laki-laki dan perempuan, tapi lebih rumit. Lalu untuk membuatnya makin rumit saya bertanya: kombinasi genderbread ini kalau dibikin matematika berapa pangkat berapa ya?
3. Praktek dalam tulisan
Saya berkutat dengan laporan, proposal dan aneka rupa dokumen yang harus sensitif jender. Buat saya membuat laporan-laporan tersebut memberikan peluang untuk selalu bisa praktik. Tak perlu menunggu laporan untuk bisa praktik, sebagai blogger kita bisa mempraktekannya di blog sendiri. Dalam praktek pun kita tak perlu takut untuk salah. Namanya juga manusia pasti tak lepas dari kesalahan.
Tulisan ini sengaja saya buat untuk memperingati Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day) yang dirayakan setiap tanggal 8 Maret. Saya berharap semoga kita semua, baik perempuan maupun laki-laki, bisa sama-sama berkontribusi, termasuk dengan rangkaian kata yang kita buat, untuk membangun masyarakat yang setara. Selamat hari International Perempuan!
Belom pernah mikirin soal ini sebelumnya Mbak Ail. Bener juga ya ada banyak ketaksetaraan jender di bahasa. Makasih ilmunya Mbak Ail. 🙂
Sama-sama Dani, senang bisa berbagi. Dan saya minggu ini ga setor tulisan tentang kopdar ya 😦
Terkadang trik lainnya adalah dengan menambahkan tanda kurung. Misalnya “If a blogger wants to write better English, (s)he should practice”. Walaupun mungkin jadinya memang sedikit lebih ribet dan tidak bisa diterapkan secara umum sih 😛 .
Kalau aku ga mau pakai tanda kurung ini Zilko karena perempuannya terlihat sebagai tambahan dari he. Kalaupun dibalik jadi he-nya yang dikurung juga sama. Mendingan dibikin netral deh, ga kelihatan semua.
Terima kasih ilmunya, Mbak. Saya jadi lebih aware dengan penggunaan bahasa netral :hehe. Selamat Hari Wanita!
Terimakasih Gara, senang bisa berbagi!
Sebenernya klo dilihat2 pengunaan kata indentifikasi orang ke3 bahasa Indonesia lebih maju dalam kesetaraan jender. Klo di Inggris,prancis etc ada he, she, il, elle, Indonesia hanya DIA.
Kemarin di kalangan cultural historian kami mencoba memperkenalkan Shestory instead of history, Shero instead of Hero.
Indeed, bahasa Indonesia lebih netral ketimbang Inggris atau Perancis. Kemaren kami sempet bahas soal dominasi pria dalam “ils”.
Makasih info tentang shestory dan shero ya. Menarik!
Aku kadang makanya suka gregetan klo orang di restaurant atau dimana bilang ” How are you guys doing?” What? can’t you see me? I am a girl/women.
Di bahasa Indonesia, sejarawan aja adanya, gak ada sejarawati. Budayawan, ngga ada budayawati. 😦
Iya, banyak pekerjaan yang lebih mengarah ke pria ketimbang ke kedua belah pihak.
iya saya juga baru tau,kemaren2 kok gak kepikiran ya tentang kesetaraan jender dalam bahasa,contohnya yg pahlawan itu klo perempuan pasti jadi pahlawan perempuan ya. untuk baca postingan mb Ai ini jadi ngerti deh,makasih mb sudah berbagi 😉
Senang bisa berbagi, semoga bermanfaat
Cool👍👍
Selamat hari wanita Tje!
Likewise, selamat hari Perempuan juga Ziza!
wah aku baru kepikiran soal masalah jender di bahasa Mbak Tjetje, jadi lebih merhatiin lagi kalau nanti bikin tulisan 🙂
Ilmu baru Ra, jadi mari sama-sama belajar 😉
Terima kasih informasinya mbak Tjetje 🙂 bermanfaat 🙂
Senang bisa berbagi.
asik nambah ilmuanya 😀
Horeeee, jangan lupa dibagi2 ya.
siap 🙂
Selamat hari International Perempuan. Di Indonesia Megawati jadi keynote speaker untuk memperingatinya, :))
Kalo pemerkosa misalnya hanya tertuju kepada laki. Padahal tidak semua lelaki yang memulai pemerkosaan, 🙂
Good point, perempuan pun bisa melakukan kekerasan, verbal, fisik ataupun seksual pada pria.
Makin marak ya pembahasan tentang ini di Indo or at least aku baru-baru ini pernah membaca beberapa tulisan tentang Indonesia on this topic. Memang masih banyak hal yang perlu dilakukan untuk mengedukasi masyarakat akan hal ini. Aku pun masih sering lupa seperti bilang freshmen year dll.
Iya Mbak Mikan, Indonesia bergeser menuju arah yang lebih baik dan lebih equal, perlahan-lahan.
Ammmiiinn. It’s a good sign Tje.
Waaah aku loe ngak mikir sampai sana walau menyimak aja bikin tambah ilmu. Thx mba..
Sama-sama Ria!
Waaah aku loe ngak mikir sampai sana walau menyimak aja bikin tambah ilmu. Thx mba..
Sama-sama Ria. Maaf komentarnya terlambat; nampaknya, kalau dibalas lewat HP sering hilang.
Aii……tulisannya bagus banget, jadi kepikiran. selama ini cuek aja kayak biasanya hehe
Terimakasih Noni, aku kalau gak karena kerjaan juga gak akan tahu tentang ini. Jadi sengaja dibagi-bagi biar belajarnya rame-rame.
Pingback: Make it Happen : International Women’s Day 2015 | mea gratae itinera
Saya sempat ngeh tentang ini pas baca theology gender sudah lama sekali bacanya,
Bahasan dari indonesia in my pocket juga menarik saya baru dengar tentang shestory.
Trimakasih dah berbagi ilmu juga tjetje
Senang bisa berbagi. Indeed aku setuju, shestory dan shero menarik. Aku gak notice kalau kata-kata itu maskulin karena terlalu fokus pada kata berakhiran -men.
Di bhs Belanda juga begitu, kata dpn untuk anak perempuan pake het meisje sedangkan laki laki de jongen. Kata depan het bisa berarti juga mengartikan kecil, contohnya het vrouwtje(wanita kecil) , het mannetje (laki-laki kecil). Sedangkan jika tdk ada ‘tje’ tidak menggunakan kata depan het lagi tapi de, contohnya de vrouw, de man. Nah kenapa untuk anak perempuan dan laki laki dibedakan? Seolah olah anak lelaki lebih tinggi derajat nya dari anak perempuan.
Bahasan yang menarik mbak….
Terimakasih sharingnya ya Mbak ternyata Bahasa Belanda juga ada kata-kata yang gak sensitif jender.
Seperti Indonesia in my pocket bilang di beberapa bahasa asing lebih ketara lagi jenderisme. Aku inget pertama kali belajar bahasa Spanyol ngebahas satu grup yang terdiri dari 4 perempuan dan 1 lelaki. Toch dalam secara gramatika harus memakai bentuk maskulin. Sama lah seperti di bahasa Perancis juga gini. Ngga logis ya Tje. Sampe diskusinya kita lama karena dalam bahasa Belanda ngga separah ini jenderisme. Masih ada ungkapan jender netral untuk menggambarkan grup yang terdiri dari lelaki dan perempuan.
Di sisi lain, jenderisme dalam bahasa ini memang memperjelas jender yang dimaksud dalam kalimat ini itu mengacu ke perempuan atau lelaki. Walaupun begitu aku setuju sama pos kamu ini, menyebut kelompok yang campur jenis kelaminnya, sebaiknya disebut dua-duanya atau memakai sebutan yang netral jender.
Mbak Yoyen, telat banget aku ngebalasnya. Untuk bahasa Perancis, dengan ils-nya memang ribet dan kurang jender netral ya. Tapi kalau kemudian diganti, aku juga gak bisa bayangin diganti dengan apa.
Pingback: Tentang Homoseksual & Bullying | Ailtje Ni Dhiomasaigh