Cerita Dari Ubud

Saya nggak pernah tergoda nyobain Air bnb, tapi karena postingan Febbie yang gak ketemu dimana postingannya, akhirnya saya nyobain Airbnb di Ubud. Ternyata seru, murah dan praktis. Saking praktisnya, villa yang saya tempati kuncinya nyantol di pintu, ownernya sedang tidak di tempat. Hingga keluar kami bahkan tak bertemu ownernya sama sekali. Kunci, lagi-lagi kami tinggalkan di pintu dan kami pun melenggang pulang. Silahkan klik di sini kalau mau nyoba airbnb, lumayan bisa dapat voucher airbnb senilai 295ribu rupiah.

 

Villa yang kami tempati di tengah sawah di Ubud itu bukan satu-satunya villa di Banjar (bahasa Bali untuk desa, sering disingkat Br) Junjungan, ada banyak villa di daerah tersebut. Melihat papan nama ataupun papan petunjuk villa di banjar-banjar Ubud sekarang menjadi hal yang biasa. VDari villa kecil seperti yang kami tempati hingga villa besar yang nampaknya dikelola secara professional tersedia semua di Ubud.

Dari hasil obrolan dengan beberapa orang yang kami temui, pemilik villa tersebut bermacam-macam, dari orang Jakarta hingga orang asing. Secara teori orang asing memang tak boleh memiliki tanah di Bali, tapi bukan berarti mereka tak boleh menyewa sawah-sawah untuk dibangun villa. Konon, mereka bisa menyewa sawah tersebut hingga puluhan tahun, praktis dan tak melanggar hukum.

Saya kemudian menanyakan kembali mengapa sawah-sawah tersebut dialihfungsikan menjadi villa ? Tentunya ada beragam alasan yang mendasari hal tersebut, dari kebutuhan ekonomi, kebutuhan upacara, hingga kalah tajen (metajen: tradisi sabung ayam yang awalnya merupakan bagian dari ritual). Tingginya kebutuhan dana untuk upacara memang menjadi alasan yang seringkali muncul.  Menggelar upacara-upacara yang indah dan megah di Bali memang tidaklah murah. Upacara megah biasanya disiapkan oleh banyak orang selama berhari-hari. Selama berhari-hari tersebut ribuan dupa dibakar, puluhan babi dipotong. Bioassay, semakin tinggi kasta warna orang yang mengadakan upacara, semakin megah pula upacaranya. Opsi untuk mengadakan upacara dengan sederhana ataupun secara masal (seperti Ngaben Masal, misalnya), juga telah ada. Tetapi, beberapa orang lebih memilih untuk mengadakannya dengan cara yang lebih spektakular. I could be wrong, tapi nampaknya upacara menjadi ajang gengsi untuk memamerkan kekayaan.

Menurunnya jumlah  sawah juga memunculkan kecemasan lain. Kecemasan akan nasib subak. Subak merupakan manajemen perairan yang telah diakui sebagai UNESCO World Heritage. Rasanya, sistem subak ini hanya ada di Bali saja (silahkan dikoreksi jika saya salah). Berbicara tentang Subak tentunya tak bisa lepas dari dua hal, dari Pura  Subak dan dari Dewi Kesuburan, Dewi Sri.  Lagi-lagi, kepala saya terusik dengan pertanyaan-pertanyaan. Kalau kemudian sawah-sawah tersebut beralih fungsi, bagaimanakan nasib Pura tersebut ? Siapakah yang akan menyiapkan banten setiap harinya ? Siapakah yang akan ngayah saat Piodalan ? Akankan Pura itu teronggok tanpa ada yang mengurusi?

Pertanyaan saya memang tak akan terjawab, bahkan mungkin tak perlu dijawab, karena begitulah dunia berputar. Kebutuhan ekonomi akan terus meningkat seiring dengan pembangunan Bali. Mungkin, orang-orang Bali akan bernasib sama dengan orang-orang Betawi, terpinggirkan dari wilayahnya sendiri. Tapi sejujurnya, saya tak berharap hal seperti itu.

Dalam sebuah diskusi sekitar sepuluh atau bahkan dua belas tahun lalu, Arya Weda pernah mengkoreksi saya, dia berkata bahwa penghasilan terbesar  Bali itu bukanlah dari pariwisata, melainkan dari pertanian. Semenjak hari itu, kepala saya erat mengasosikan hasil pertanian dengan Bali. Kendati Ubud bukan lumbung Bali, jadi hati tetap sedih melihat banyaknya villa.

 

Tentunya tak semua area di Bali dipenuhi dengan villa, hanya area yang diminati investor di wilayah selatan yang padat. Daerah selatan memang lebih popular untuk wisata, sementara daerah utara masih relative tak terjamah. Kalau sudah begini egoiskah jika saya berharap jika daerah Utara tak terjamah?

Ah sudahlah, tyang pamit dumun nggih (saya pamit dulu ya)

Namaste,

Tjetje

PS: Bloody iPhone does not load the photos!!! I’ll try to post them again tonight (IE time of course).

Advertisement

24 thoughts on “Cerita Dari Ubud

  1. Langsung ikutan resah memikirkan Bali ke depannya Mbak Tjetje. Cuman mikirin aja sih emang gak bisa banyak bantu. 😦
    Tapi tapi tapi kok pengen nyobain Airbnb juga ya. 😛

  2. Saya juga berharap Bali Utara tidak terjamah dan tetap seperti ini :hehe. Syukurlah di desa saya (Sangsit, Buleleng) kakek masih punya lahan sawah dan sistem subak di sana masih berjalan dengan baik. Kalau di luar Bali juga ada sistem yang mirip, di Lombok juga ada namanya pekasih dan mirip-mirip dengan persubakan, cuma tentu tanpa Pura Subak atau Dewi Sri.
    Kalau menurut saya yang pegang peranan sekarang malah pemerintah ya Mbak, melalui penataan ruang dan perbaikan nasib petani. Iya, Bali memang sudah mekilit dengan agrarianya, soalnya napas pertanian itu ada di setiap acara budaya yang ada di Bali. Tapi kalau sekarang balik ke soal ekonomi lagi, yah… jadi ikutan bingung juga :haha *kemudian jalan-jalan lagi ke Ulun Danu Batur*.

    • Kayaknya sebelum ada Airport di Buleleng sih aman nok *Buleleng style*. Tapi di Airbnb juga udah mulai ada villa untuk disewakan. Indeed ini ekonomi banget Gara, tapi kalau pura tergusur karena ekonomi, pedalem sajan Betarane.

      • Wahaha betul banget, selama belum ada bandara :hihi.
        Soal Betara yang pedalem dan semua-muanya itu, saya sekarang hanya melakukan apa yang saya bisa untuk mencegahnya. Kalau ternyata Tuhan sudah berkehendak lain, yah maka biarlah semua terjadi sebagaimana seharusnya (pasrah mode: on).

  3. Perkembangan wisata memang cepat ya Tje di Bali. Ada beberapa gerakan menolak spekulan tanah di Ubud (Gianyar dan sekitarnya). Moga-moga Bali Utara nasibnya beda dengan Bali Selatan.

    Btw, Air BnB memang ok. Aku sering pake ini. Travel like a local. Aku suka akomodasinya super host yang bikin aku betah karena tipsnya. Ada juga clonenya Air BnB, Wimdu.

  4. Masalah perekonomian ya. Tetapi memang segala sesuatu itu kan dinamis dan tidak statis. Mau tidak mau pasti akan ada perubahan. Tinggal bagaimana pihak-pihak yang terkait mengelola perubahan itu dan tentunya harus memikirkan masa depan 🙂 . Bangun villa terus kalau sampai titik dimana sawah habis kan bikin berabe juga…

  5. iya mba ail,waktu dulu tinggal di tabanan sempet ngehadirin Upacara Ngaben ibunya tetangga konon katanya upacara itu menghabiskan dana 60 juta saja,dan itu katanya masih termasuk yang ‘biasa’ aja. . .

  6. Baca postingan ini jadi pengen coba air bnb suatu hari nanti…masih rada skeptis soalnya khususnya dari segi kenyamanan dan keamanan. Sayang banget ya kisah sawah2x di Ubud yang berubah jadi villa…moga2x tradisi dan nilai2x tradisional di sana ngga makin tergerus oleh tuntutan ekonomi dan desakan modal.

Show me love, leave your thought here!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s