Seperti kebanyakan orang Indonesia, saya ‘tak besar dengan bahasa Indonesia’. Kalau boleh nekat saya bilang, bahasa Ibu saya adalah bahasa Jawa Timuran (alias bahasa Malang) dicampur dengan sedikit Bahasa Indonesia dan sedikit omelan Eyang saya dalam Bahasa Belanda (yang sukurnya saya tak paham dan sekalipun kursus Bahasa Belanda saya masih tetep gak paham). Walaupun sering diomeli bahasa Belanda, bahasa asing bukanlah hal yang ‘penting’ dalam keseharian. Ketika itu Bahasa Jawa justru lebih penting ketimbang bahasa lain. Makanya selain berlangganan majalah Gadis, saya juga berlangganan majalah Panyebar Semangat. Sebuah majalah bahasa Jawa terbitan Jawa Timur yang hingga sekarang masih terbit. Ketika itu majalah ini dikhususkan untuk saya supaya saya bisa berbicara dalam Bahasa Jawa halus.
Adalah hal yang normal jika banyak orang Indonesia, sama seperti saya, tak bisa berbahasa Indonesia dengan baik. Pertama, karena bahasa yang digunakan di kebanyakan rumah adalah bahasa tradisional. Kedua, bahasa pergaulan pun lebih banyak menggunakan bahasa daerah, kecuali di daerah-daerah tertentu di mana bahasa Indonesia menjadi bahasa pemersatu (Papua dan Jakarta adalah contohnya). Ketiga, karena Bahasa Indonesia tidaklah mudah. Bahkan mendapatkan nilai 9 pada mata pelajaran Bahasa Inggris jauh lebih mudah daripada Bahasa Indonesia. Selain itu, Bahasa Indonesia juga punya keterbatasan kosakata sehingga terkadang tak mudah menjelaskan suatu keadaan. Setidaknya, tak semudah menjelaskan hal dengan Bahasa Inggris atau bahkan Bahasa Jawa. Bagi penutur Bahasa Jawa, rasanya lho ya, bahasa Jawa lebih kaya ketimbang Bahasa Indonesia.
Separah-parahnya kemampuan dan pengetahuan Bahasa Indonesia kita, penting sekali untuk menjaga kelangsungan Bahasa ini, setidaknya dengan menggunakan Bahasa Indonesia dengan sepantasnya. Kalau baik dan benar terlalu susah, sepantasnya aja. Entah mengapa saya perhatikan orang, baik itu yang masih remaja atau bahkan yang sudah dewasa, banyak yang merusak dan melecehkan bahasa Indonesia. Beberapa hal kekinian yang menurut saya tak layak dilakukan kepada bahasa Indonesia saya rangkum dalam beberapa poin di bawah ini.
Tak tahu dimana meletakkan huruf besar
Anak SD juga tahu kalau hanya beberapa hal saja yang boleh menggunakan huruf besar, termasuk nama orang, nama tempat, gelar kehormatan, suku bangsa dan beberapa aturan lainnya. Di luar hal-hal tersebut, huruf besar hanya boleh diletakkan di tengah kata pada kata sandi. Makanya, menuliskan kalimat ajaib sepert di bawah ini:
“U laGi NgaPain ChynkQ?”
lebih baik tak dilakukan. Menulis huruf besar kecil seperti itu selain membuang tenaga, karena jari-jari yang harusnya istirahat dipaksa bekerja lebih keras, juga menunjukkan level ketidakpahaman tata bahasa yang paling sederhana. Menulis seperti itu juga mengganggu kesehatan mental orang yang terpaksa membaca sambil berpikir keras.
Menghilangkan huruf vokal
Bahasa Indonesia diciptakan dengan konsonan dan vokal supaya ada suara yang muncul ketika dibaca. Penyingkatan kata-kata dengan menghilangkan huruf vokal terjadi dan ‘diperbolehkan’ dalam dalam hal-hal tertentu, termasuk ketika terjadi pembatasan tempat untuk menulis, seperti di twitter ataupun sms di hp jaman dulu. Ketika tak ada limitasi karakter, sebaiknya penulisan bahasa dituliskan dengan lengkap supaya mempermudah pembaca. Menyingkat kata juga sebaiknya dilakukan dengan hal-hal yang umum saja, tanpa merubah struktur kata. Misalnya, yang disingkat menjadi yg. Penyingkatan kata-kata seperti yang dilakukan alay dalam kalimat ini: Chynk,,,,,,, q tkT khLng4N U, selain tak indah, gak intelek juga tak umum.
Tanda baca tak tepat
Masih ingatkah dimana titik dan koma harus ditempatkan? Saya yang tak pernah dapat angka 8 untuk pelajaran Bahasa Indonesia masih ingat bahwa titik dan koma digunakan untuk beristirahat atau berhenti ketika membaca sebuah kalimat. Tujuannya untuk mengambil napas. Tanpa titik koma, mengambil napas menjadi susah. Tapi lebih susah lagi jika banyak koma serta titik yang tak jelas fungsi dan maksudnya, terlebih jika titik koma tersebut diletakkan di tengah kalimat dan jumlahnya banyak. Bahkan lebih banyak dan lebih rumit daripada sandi Morse.
Bahasa Indonesia adalah bahasa kita bersama yang harus dijaga dan dihormati. Jika kemudian tak bisa berbahasa Indonesia dengan baik setidaknya ada upaya untuk tidak melecehkan bahasa tersebut dengan meletakkan huruf besar, angka serta tanda baca di tempat yang tak selayaknya. Penggunaan bahasa yang kurang baik tak hanya menunjukkan ketidakpedulian terhadap Bahasa Indonesia tapi juga menunjukkan kemalasan karena tak mau berusaha untuk menulis dengan baik dan benar.
Mari kita sambut bulan bahasa yang jatuh pada bulan Oktober ini dengan berusaha menggunakan bahasa Indonesia yang lebih baik.
Xx,
Tjetje
Masih berusaha menggunakan Indonesia dengan benar
Masih belajar juga, Mbak. Kadang masih suka bingung kalau mau nulis kalimat tak langsung, bingung mau ngasih tanda petik dan tanda titik/koma di sebelah mananya. Oiya btw, yang betul mengubah bukan merubah, ehehehe…
Ahh merubah, baiklah. Nah itu di twitter gak ada pakar bahasa Indonesia yang bisa ditanyain ya?
Di twitter aku kurang tau juga sih Mbak, mungkin ada. Tapi aku aja yang kurang gaul mungkin, hehe.. Yg betul mengubah karena dari kata dasar (kata kerja) “ubah”. Kalo rubah itu nama binatang 🙂
Aku senang membaca Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) J.S. Badudu sejak kecil sampai sekarang kamusnya kubawa ke Belanda. Kamus itu hadiah dari Ibuku, seorang guru Bahasa Indonesia. Aku senang membuat kalimat yang menggunakan padu padan kata. Karenanya aku suka mengulik isi KBBI. Salah satu alasan aku menulis diblog dengan (berusaha keras mencoba) menggunakan EYD, selain supaya aku belajar bagaimana menulis dengan baik dan benar, blog kami jadi sarana belajar suami untuk belajar Bahasa Indonesia. Lumayan sekarang kosakatanya mulai banyak, dan sudah sedikit-sedikit ngobrol dengan Ibu menggunakan Bahasa Indonesia.
Wah kamu telaten ngajarin suami ya, aku kurang telaten. Malah Mamaku yang suka ngajarin dia. Mereka ngobrol sendiri pakai Viber, terus tiba-tiba Mas G ngomong sesuatu dalam bahasa Indonesia.
Aku sakjane ga ngajarin secara langsung juga. Kalau dia nanya, aku jawab. Kalau nggak, aku ya ga ngajari haha. Dianya sendiri yang pengen belajar. Sudah daftar kursus bahasa Indonesia. Sudah beli buku belajar bahasa Indonesia. Prakteknya ngomong ya cuma sama Ibu dan Mama (mertuaku bisa bahasa Indonesia). Motivasinya belajar tinggi cuman satu : kalau nanti liburan ke Indonesia, sudah harus bisa ngobrol sama keluarga besar disana pakai Bahasa Indonesia.
Itu cita-cita suamiku, tapi di Dublin gak ada tempat kursus. Jadi ya dia sebisanya aja.
sedikit koreksi mbak, mungkin poin kedua maksudnya menghilangkan huruf vokal? huruf vokal (vowel) kan “a-i-e-o-u”, sementara huruf konsonan “b-c-d-f…” 🙂
Ah iya betul sekali Ronny terimakasih banyak atas koreksinya.
dulu, tulisan EYD wajib dipake tiap nulis berita. sekarang kalo nulis blog, pakai bahasa sehari2 mba 😀
Bahasa sehari-hari memang jadi bahasa ‘resmi’kita kan? Sepertinya jarang banget ada orang yang pakai EYD dalam komunikasi setiap hari (eh kecuali mbot.wordpress.com ya, dia ngobrol EYD sama anaknya).
Tapi menurut saya, bahasa sehari-hari pun dilecehkan. Tambah runyam.
Kekurangan aku pake bahasa Indonesia sekarang itu, masih suka singkat – singkat. Yang jadi yg, dimana jadi dmn, dll untuk text yang sifatnya ga resmi hehe.. Ga pernah nyingkat yang aneh2 juga, takut pusing sendiri 😛
Kalo dalam dunia penulisan sekarang, terutama novel, sudah banyak disisipkan bahasa daerah. Beruntung ada bahasa Indonesia, sehingga dari Sabang sampai Merauke bisa bicara dalam bahasa yang sama.
Di Papua bahasa Indonesia perannya penting banget pak Alris, karena bahasa daerah dari satu desa ke desa yang lain tidak sama. Jadi orang di Papua bisa berkomunikasi. Begitu juga dengan kita dari Sabang sampai Merauke.
Setuju, bahasa Indonesia itu tidak mudah. Makanya dulu heran ketika banyak yang berkata bahwa (mendapat nilai bagus di) pelajaran bahasa Indonesia itu “gampang”. Ummm. Kok sewaktu SMA aku merasa sulit ya? Hahaha 😆 .
Sebenarnya kalau dipikir-pikir lagi, minimnya “tenses” dan kosakata dalam bahasa Indonesia (sehingga sekilas terlihat “mudah” jika dibandingkan dengan bahasa yang “tenses”-nya banyak (sehingga harus lebih “berpikir”) atau kosakata banyak (sehingga ada lebih banyak yang harus dihafalkan)) justru membuatnya semakin rumit karena kalimat yang tersusun bisa menjadi lebih ambigu ya 🙂 .
Maka sebab itu kadang saya suka gaya ngobrol dalam bahasa Inggris sama sahabat. Padahal bahasa Inggris juga gak bagus-bagus amat.
Aku kadang msh suka salah, msh belajar juga. Yg paling payah klo udah gabungin kata, misalnya, harusnya kan di Bandung ini malah nulisnya dibandung.
Nah untuk tempat itu emang harus dipisahkan, aku ingat banget karena guru bahasa Indonesiaku dulu galak. Sehari harus hapal minimal lima peribahasa, kalau hapal kurang dari tiga disuruh jongkok yang setengah berdiri di depan kelas.
aku setuju Mbak Tjetje, kalau dulu kok rasanya memperoleh nilai besar di Bahasa Inggris itu lebih mudah daripada di Bahasa Indonesia? 😦
Iya aku berusaha dengan keras pun nggak berhasil. Sepertinya sih bagian sastra yang bikin bahasa Indonesia jadi susah.
Aku baru tau kalau bulan oktober ini bulan bahasa.. :O dan setujua, bahasa Indonesia itu susah. Kalau ngeblog pake bahasa Indonesia full itu rasanya susah bener.. hehe
Kebayang ya wartawan Kompas yang harus nulis dengan bahasa baku.
Kalau di Twitter saya follow @ivanlanin. Dia pecinta bahasa Indonesia. Oh iya, yang betul “di mana” karena itu keterangan tempat. 😉
Mbak, ini ngingetin saya yang sering slebor pas nulis-nulis gini, trimakasig sudah berbagi saran. Ada satu yang ngeganjel saya sebenarnya (maap kl diluar konteks) saya beli sebuah buku perjalanan si penulis menulis nama negara Prancis, selama ink saya tahunya Perancis. Ternyata ketika saya googling dan baca-baca lainnya penulisannya (sekarang) menjadi Prancis. Apa emaang dah berubah ya?
Barusan saya cari di KBBI, tidak ketemu. Tapi menurut KBBI, prancis artinya halaman buku yg terletak di bagian kanan sebelum halaman judul utama yg hanya memuat judul buku saja.
Ahh terimakasih sampe repot cari di KBBI. Berari memang seharusnya negara Perancis ya. Pengucapan dan tulisan dibikin sama tapi jadi keterusan. Terimakasih ya
Aku jadi penasaran juga makanya aku cari 🙂
Masih belajar Bahasa Indonesia juga. Iya juga sih pas SMU nilai ulangan Bahasa Inggrisku mesti lebih bagus daripada nilai Bahasa Indonesia hehehe. Tiap ngeblog selalu intip KBBI biar terlhat rapi kosa katanya. Rempong juga ternyata. *brb cek postingan lama yang ada kekeliruan* 😀
Yang penting masih ada vokalnya ya Lim, kalau gak ada pening bacanya.
Akuuu Ai, masih harus belajar banyak lagi buat nulis dan bicara bahasa Indonesia dengan baik dan benar
Sama, rasanya kita semua masih harus tetap belajar. Belajar sepanjang hidup.
Hehehe jadi ingat pas setelah lulus SMA pernah ke sekolah minta legalisir ijasah+DANEM. Sama Bu Kepsek digodain, “kamu tuh orang mana, sih? Bahasa Inggris bisa dapat 8 tapi Bahasa Indonesia lima koma.” XD
Soalnya susah semua.
Saya follow @ivanlanin di Twitter. Oh iya, yang betul “di mana” karena merupakan keterangan tempat. 😉
Wah terimakasih banyak informasinya, saya follow dia juga ah.
Waah aku nih salah satu yg bhs indonya jelek. Nulis surat formal seperti undangan meeting aja momok bgt
Hah surat undangan formal government ngetiknya sama ketawa karena gemes banget bahasanya aneh.
Nilai Bahasa Indonesia ku waktu sekolah juelek banget, Mbaaa… Pas kuliah di fakultas sastra baru deh diajarin gimana cara nulis yang baik dan benar. Tapi ya nulis pake bahasa formal begitu ya palingan cuma pas bikin surat resmi atau karya ilmiah, ya. Selebihnya pake bahasa lisan yang dituliskan.
Omong-omong soal bahaya “alay” yang suka banget bikin sakit mata karna banyak banget “tingkah”nya, aku pernah ikut training How To Deal The Gen Y (Gen Y= Millenials, orang kelahiran 1980-1995) dan dapet soal harus baca tulisan alay yang panjangnya minta ampun, campur karakter huruf plus angka, hilang atau ganti vowel, tanda baca yang berantakan dan content yang super gak penting. Sampe juling-juling bacanya. Tapi emang fenomena tulisan “alay” ini tercipta karna nature si Gen Y ini yang sukanya cari perhatian in every way. Makanya jatohnya malah aneh.. Ehehhehe…
Oh jadi bahasa alay itu karena cari perhatian. Good to know Kalau gitu besok2 gak usah dibaca sekalian. Lol.
nah ini juga bisa jd sentilan orang tua yang anaknya masih kecilpun dibawah balita udah diajarin bahasa Inggris. Banyak juga mainan anak kecil sekarang mengucapkan alphabet saja dengan ucapan bahasa Inggris daripasa Bahasa Indonesia.
Harusnya dua bahasa jangan cuma bahasa Inggris aja.
Kalau di rumah, sejak kecil aku terbiasa bilingual : Jawa (dengan ayahku) dan Indonesia (dengan ibuku). Ibuku ngerti bahasa Jawa tapi nggak lancar kalau ngomong. Aku bisa bahasa Jawa “ngoko”, kalau kromo gak ngerti bar pisan 😀
Aku pasif kromo gak bisa ngomong paham denger. Kalau sudah denger baru mulai inget lagi.
Baca tulisan ini jadi mengingatkan diri sendiri untuk menulis dengan bahasa Indonesia yang baik. 😍