Cerita Koran

Sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar saya sudah diajarkan untuk membaca koran. Tentu saja saya tak begitu ingat dengan berita-berita yang dimuat pada saat jaman itu. Tapi saya ingat betul rutinitas kedatangan koran di rumah kami pada pukul dua siang. Pada saat itu Kompas, koran pilihan kami, belum dicetak di Jawa Timur sehingga koran pagi ini berubah menjadi koran siang di Jawa Timur. Beberapa kali terjadi keterlambatan yang menyebabkan koran baru tiba pada sore hari atau bahkan datang pada keesokan harinya.

Begitu koran datang, saya akan duduk di ruang tamu, mengangkat kaki ke kursi (kalau gak ketahuan) dan mulai membaca-baca berita. Jaman tersebut, pilihan berita di televisi sangat terbatas, sementara internet belum dikenal. Otomatis koran menjadi salah satu sumber berita pilihan. Kendati koran Kompas datang pada siang hari, Eyang Putri saya tak mau mengganti Kompas dengan media-media lokal yang terbit di pagi hari. Bagi beliau isi koran-koran lain tak menarik dan tentunya tak bermutu. Dan saya yang anak kencur tak paham kenapa  saya tak diperkenankan membaca koran lokal yang memuat berita-berita pembunuhan, kecelakaan dan juga berita ajaib lainnya yang lebih juicy dan dibicarakan orang banyak.

Ketika awal-awal pindah ke Jakarta, saya sempat tak berlangganan kompas dan hanya membeli edisi Kompas Minggu secara eceran. Sampai kemudian saya menemukan tukang koran dan mulai berlangganan. Lama-lama empet juga saya berlangganan dengan tukang koran di Jakarta, karena koran yang seharusnya lebih murah ketika berlangganan bulanan dibandrol dengan harga eceran dikalikan jumlah hari dalam satu bulan. Saya menyebutnya harga kreatif, dan di Jakarta tukang koran tak hanya kreatif dengan harga langganan tapi juga harga majalah. Tempo, misalnya, dijual di perempatan jalan dengan harga 59.000, lebih mahal 30.000 dari harga aslinya. Modusnya, harga asli dihapus dan ditimpa dengan bolpen. Kreatif dan rapi.

Saya kemudian membaca Kompas cetak  secara daring dan pada saat itu masih gratis. Sampai suatu saat  Kompas menetapkan biaya. Ketika internet dipenuhi koran-koran gratis, mana mau saya membayar. Kebiasaan mencari gratisan ini gak bertahan lama, karena baca koran gratisan itu tak enak. Berita yang ditampilkan kebanyakan kurang bermutu dan bahasanya acak-acakan. Parahnya, untuk mengejar jumlah klik dari pembaca, mereka memutus berita menjadi beberapa artikel yang sebenarnya tak perlu. Contohnya: ini rumah si korban, ini rumah pelaku, ini kata tetangga korban, ini kata teman sekolah, ini kata Kapolres, ini kata media sosial, begini begitu. Pembaca dibuat tertarik untuk terus menerus mengklik demi traffic, soal kualitas tak dipedulikan.

Akhirnya saya memutuskan berlangganan Kompas cetak online dan membayar secara tahunan. Tak hanya dapat hadiah, saya juga diberi kompas cetak. Enaknya berlangganan daring, saya bisa membaca berita-berita terkini dari Nusantara melalui handphone. Dan karena saya bermukim di Eropa, berita-berita tersebut bisa saya baca ketika orang-orang di Indonesia sedang terlelap. Seringkali berita-berita tersebut saya printscreen dan saya muat di Twitter.

Sahabat saya mengamati bahwa ketidakbiasaan saya dalam berpikir dan menganalisa banyak dipengaruhi oleh Kompas. Harus diakui bahwa analisis dan kualitas tulisan di Kompas memang sangat bagus. Tak hanya itu, bahasa Indonesia baku yang digunakan Kompas juga memperkaya kosakata saya. Walapun terkadang ada kosakata baru yang cukup membingungkan. Konon, halaman luar negeri Kompas juga wajib dibaca secara rutin bagi mereka yang ingin lolos tes menjadi PNS di Kementerian Luar Negeri. Testimoni salah satu sahabat yang sudah bolak-balik lolos tes tertulis, soal-soal tes memang sering keluar dari halaman tersebut.

Media memiliki peran kuat dalam membentuk karakter dan membangun cara bepikir kita. Tak heran, banyak orang-orang kaya dan politikus yang membeli media supaya bisa mengatur persepsi publik. Kontrol untuk memilih media terbaik, baik daring maupun cetak, sepenuhnya ada di tangan kita.  Jadi menurut saya, ada baiknya kita mulai membayar kembali koran yang kita baca untuk mendukung berita-berita bermutu dan tentunya untuk menikmati kembali kenikmatan membuka lembaran-lembaran koran di pagi hari. Koran toh tak begitu mahal, bahkan mereka yang tinggal di Jakarta bisa mendapatkan Kompas dengan murah di halte-halte TransJakarta pada pagi hari. The early bird gets the worms. Lalu saya mendengar mereka yang tinggal di luar Jakarta berteriak, gak adil kenapa lagi-lagi yang di Jakarta bisa dapat akses koran murah.

Masih baca koran cetak? Apa koran favoritmu?

xx,
Tjetje

 

 

Advertisement

78 thoughts on “Cerita Koran

  1. Skrg cuma baca koran kalau ke kantor orang atau cafe yang menyediakan koran. Kantor baru pun nggak langganan koran. Mau langganan sendiri tapi ya kok nggak sempet juga baca pagi-pagi / malem-malem (banyak alasan). Tapi tetap baca koran lebih enak karena infonya lebih komplit. Kompas memang masih jadi panutan sih, Eniwei Mba sudah baca tulisan ini http://www.kompasiana.com/hilmanfajrian/menyelamatkan-koran-dari-kiamat_568b314af77a61b3052da5c7

    • Barusan baca, emang setuju smartphone lebih cepet cuma ya kualitasnya beda. Berita daring, bahkan yang di Kompas, terkesan banget dibuat buru2. Mungkin di masa depan koran akan mati jadi online semua. Tapi kok gue belum bisa terima ide itu 😛

      • Bener, Mbak. Berita portal sungguh diburu-buru. Tau banget ini karena sebelumnya kerja di koran juga dan di lapangan. Keliatan bedanya pewarta portal dan cetak pas ngejar deadline. Hehe. Iya, aku juga berharap koran nggak mati. Gimanapun tetap ada pecinta koran yang belum bisa terima berita online. Misalnya : orang tua yang belum kenal dengan smartphone. Jangan sampai mereka jadi nggak bisa apdet berita gara2 nggak ketemu berita di kertas koran lagi. =/

  2. Sama, di rumahku juga langganannya Kompas. Tadinya Kompas dan harian lokal tapi lama2 sekeluarga males sama si harian lokal karena berita yang diangkat ngga bermutu. Efeknya baca kompas ini bisa dirasain sih, saya sampai diminta jadi pemeriksa skripsi temen temen sebelum naik ke dosbing karena diksi saya yang (mereka biang) cukup bagus hehehe 🙂

  3. Kalau dulu baca Pos Kota Mbak… judul doang. Tapi komiknya Ali Oncom dibaca lengkap. Hehehehe *jaman kecil udah baca yang kayak gini*.

    Kalau sekarang sih lebih banyak baca berita online aja.

  4. Kalo saya udah jarang baca koran cetak Mbak. Palingan yang ada di kantor dan kalopun beli Kompas. Saya baru niat sih langganan elektroniknya kompas. 😀

  5. Dulu suka sih baca KOMPAS. tapi ya gitu seiiring kesibukan udah ada kali ya 5-6 tahunan ngga pernah baca Kompas lagi dgn rutin..paling kalo ada yg ngasi gratisan aja.
    Tapi emang secara mutu tulisan Kompas masi juara lah ..setujuh

  6. Sejak di KFC ada paket Kompas aku ga pernah ketinggalan beli, mbak 😆 Siang-sore sih tapi, daripada gada. Kalo yang daring, aku bacanya detikcom.. Kalo majalah bacanya Reader’s Digest. Lumayan banget bahasa Inggrisnya, banyak kosakata baru~

  7. sampai sekarang saya masih baca koran cetak. kalau dulu, waktu kecil di rumah langganan Jawa Pos. sekarang di kantor juga bacanya masih Jawa Pos. *bukan lagi promosi merek koran ya mbak:) *

  8. Hai Ailtje, ini Ade, temannya Vita dan Arif 🙂 Aku ikut di blog-mu karena cerita2mu seru dan menarik sekali. Aku sangat suka gaya bahasamu yang enak di baca, mengalir, lucu, segar, dan sangat terus terang. Hebaaat deh! Jempol yang banyak untukmu!

    Aku juga dari kecil sudah suka baca koran Kompas. Hingga sekarang masih langganan koran cetaknya, walaupun hanya edisi Sabtu – Minggu, karena pada hari itu aku ada di rumah. Hari2 lain ga sempat baca koran cetak bo… jadi banyak ngitip Kompas online di kantor 🙂

    Aku juga merasakan banyaaaaak manfaat dari membaca koran, terutama koran Kompas. Selain kulitas beritanya, bahasanya pun bagus pula. Jadi bahan rujukan.

    Benar sekali, kebiasaan kita menganalisa dan berfikir banyak dipengaruhi dengan apa yang kita baca. Sekarang harapanku adalah menularkan keasyikan membaca koran Kompas ini ke anakku, Emir, yang sampai sekarang masih dalam tahap menikmati komik (11 tahun). Aku akan barusaha walaupun mungkin awalnya akan susah bagi dia, tapi aku berharap di masa depan nanti dia akan merasakan manfaatnya.

    Terus menulis Ailtje, kami sangat menikmatinya…
    (Mudah2an suatu saat nanti aku bisa ikut membuat blog seru seperti kamu ini… ngarep.com)

    Salam hangat,

    Ade

    • Mbak Ade apa kabar? Lagi di Indonesia atau di Perancis kah? Makasih banyak atas dukungannya. Wah generasinya Emir itu generasi yang aku duga kebanyakan gak akan kenal koran karena media online. Mesti diajarin. Eh btw, kenapa nunggu suatu saat? Bikin blog aja sekarang cerita-cerita tentang Perancis? Yuk aku bantuin xx

  9. Dulu orangtua ku juga langganan Kompas, dan setahu aku pun Kompas jadi tolak ukur di KBBI. Sempet aku ganti ke Media Indonesia tapi karena agak mengarah ke politik tertentu aku balik lagi ke Kompas. Dan aku pun perhatikan slmereka seperti punya rules tertentu yang sesama media cetak tidak boleh di pakai atau trademark. Misalnya Kompas selalu pakai hari Ahad, maka Media Indonesia memakai kata hari Minggu. So far, aku lebih senang baca Kompas karena general dari sisi sudut pandang penulisnya.

  10. Sekarang tetep baca koran cetak, gratis malahan. Soalnya rumah deket stasiun, ada namanya koran Metro, dibagi gratis buat yang bepergian menggunakan tram, kereta (bis juga apa ya). Jadinya pagi2 aku suka nongkrong distasiun baca2 koran, trus aku letakkan lagi kalau sudah selesai. Kompas aku dulu sering baca sabtu minggu karena bagian opininya bagus2, selain baca lamaran kerja dan bagian kontak jodoh whuahaha.

      • Ha…ha…emang sesuatu ya bisa baca koran bahasa asing. Aku sampe sekarang juga masih norak kok Tje kalo ke Perancis atau Spanyol pasti beli koran & majalah.

        Aku ngga tahu di Irlandia gimana, di Belanda bisa langganan koran online untuk akses ke website selama hari kerja aja atau hanya weekend.

  11. Udah jarang baca kompas, jaman aku masih sekolah dulu orang tua selalu langganan kompas, tapi dulu. Jaman kuliah cuma langganan kompas sabtu minggu doang, begitu dateng tiap pagi langsung rebutan koran sama org rumah, baca sambil ngeteh dipagi hari nikmat banget hehe

  12. Jaman dulu kerja masih wartawan, tiap pagi harus baca empat-lima koran di perpus kantor sebelum memulai hari kerja. Favoritku waktu dulu Koran Tempo (layoutnya menarik untuk dibaca – teteup), sementara Kompas menurutku terlalu bertele2 dan panjang untuk sebuah esensi yang mestinya tidak panjang.

    Sekarang masih baca koran internet dua tiga biji, agak berkurang frekuensinya karena sudah mulai mengcharge biaya tadi, dan ga murah pula. Pengen langganan koran cetak, tapi males bawa “sampah”nya ke tempat recycle tiap minggu. Satu2nya koran cetak yang aku “langganan” sekarang adalah koran “Ingeniøren” (alias the engineer) koran yang dapat gratis karena jadi member union Engineering (klo ga member bayar), yang datangnya tiap Jumat. Sisanya langganan majalah National Geographic sama The Economist saja. Itupun males klo sudah banyak “sampah”nya dan mesti bawa ke tempat recycle

  13. Masih langganan Kompas yang hari sabtu minggu saja. Dengan pertimbangan sekali baca sudah bisa merangkum berita selama seminggu dan nga dikejar-kejar kalau belinya tiap hari karena kadang suka tergoda baca yang lain ketimbang koran.

  14. Baca Kompas 🙂 Btw, katanya wartawannya lebih disukai yang bukan lulusan jurnalistik, karena masih bisa diolah bahasa & gaya penulisannya. Kalo yang lulusan jurnalistik lebih sulit dibilangin katanya hehehe

  15. Di rumahku juga langganan Kompas, Mbak. Jadi inget, dulu waktu kecil aku langganan majalah Bobo, terus kadang juga beli majalah rohani di gereja. Pas SMA mulai baca majalah Tempo tapi setelah kuliah berhenti karena lebih milih baca buku teks kuliah. Haha.. Ah good old days ya Mbak.. jaman-jaman dulu, di mana media cetak ditunggu kehadirannya di rumah 🙂 Emang bener ya, nggak ada yang ngalahin sensasi membalik kertas koran, majalah, atau buku! 🙂

  16. aku masih baca koran cetak mbak Tjetje. Lebih puas baca berita di media cetak ketimbang daring.
    Kalau di rumah sih langganan koran Pikiran Rakyat, dan suka numpang baca kompas di perpus kampus 😀

  17. Dulu dari kecil ikutan yang dilangganin ortu gitu Ai, Sinar Harapan, langganan terus sampai mereka ganti nama jadi Suara Pembaruan, terbit nya sore terus ya harian ini, gw ingat redaksi mereka dekat rumah kita juga, Jl Dewi Sartika No 136 seinget gw, disitu ada radio juga namanya Pelita Kasih, as you know mereka semua 1 management.
    Kerja baru deh baca Kompas yang gratisan di kantor.
    Kalau disini suami gw yang bawa pulang dari kantor, kalau weekend baru beli keluaran mana aja yang cover/topik nya seru, atau kl pas gw naik kereta pagi selalu ambil koran yang gratisan disediain di stasiun, ada bahasa Belanda dan Prancis.

  18. Mbak Ailsa,
    sy jadi ingat waktu masih di Jakarta langganan Kompas yg hari Sabtu & Minggu. Jadi ingat lagi cari cari loker di Kompas Sabtu dan ingat banget pas di panggil interviw sy bawa lembaran yg ada iklan lokernya..dan pas sy dapat kerjaan itu saya simpan itu lembaran korannya😊 Ah.. Kompas emang bagus deh..
    Oh, buat orang orang yg udah mulai/lagi proses lancar bhs Indonesia, mereka bilang Kompas bagus banget loh membuat mereka paham dengan bahasa Indonesia yg baku karena utk bahasa percakapan sehari hari kan kadang kadang lain ya. Majalah Bobo kayaknya sih masih ada deh, terakhir sy ke Jakarta sempat mampir ke toko buku Gramedia Matraman (OMG… Old School banget ini toko buku favorit) sy masih lihat ada majalah Bobo dan kayaknya ada juga majalah buat anak Preschool, namanya kalo ga salah Mombi..
    Hidup Kompas!😊

  19. Sekarang banyakan baca online aja mba, baik tabloid maupun koran. Biar go green. Walau ribet juga sih, kalo pas lagi butuh koran bekas terus gak punya stock 😀

  20. Sekarang sudah jarang baca koran, paling koran gratis saja dan ga baca tiap hari.
    Dulu kami di rumah langganan koran lokal Pikiran Rakyat, seingatku pernah juga langganan koran kompas pas kakak paling besar mau UMPTN, agak susah bacanya mungkin karena tidak biasa, waktu kecil kami langganan majalah bobo dan ananda, yg kemudian diganti jadi majalah hai dan gadis, lalu femina. Lucunya waktu aku sudah di akhir sma, di rumah langganan majalah bobo lg karena aku punya adik yg baru masuk SD. Disitu kami bisa membandingkan bobo di jamanku lebih keren, seru dan mendidik dari jaman adikku.

  21. waktu masih jd pegawai kantoran, msh suka baca koran di kantor tiap hari.

    Kalo skrg beli korannya pas sabtu doang, sambil nyari loker 😁😁

    Dari bbrp koran yg dibaca, so far sukanya ama kompas

Show me love, leave your thought here!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s