Bulan Januari lalu, televisi di Irlandia dihebohkan dengan tayangan tentang keluarga homeless. Ada beberapa keluarga yang ditayangkan, tapi salah satunya seorang ibu tunggal dengan seorang anak perempuan. Mereka tinggal di dalam hotel, memiliki kendaraan dan ibunya menggenggam iphone teranyar. Kepala saya yang asli Indonesia itu otomatis mikir, bagaimana bisa tak punya rumah tapi punya kendaraan dan memegang gawai terbaru. Dalam kalkulasi à la Indonesia, rumah seharusnya menjadi prioritas utama ketimbang kendaraan, apalagi gawai. Tapi di Irlandia, semuanya berbeda.
Dalam bahasa Indonesia, homeless saya artikan sebagai gelandangan, tapi istilah ini nampaknya tak tepat, karena homeless berarti tak punya tempat tinggal tapi tak harus menggelandang. Ada visible homeless yang terlihat di jalan-jalan dan ada hidden homeless yang kemarin ditayangkan di televisi. Mereka yang numpang tinggal dengan keluarga pun ternyata bisa dimasukkan dalam kategori hidden homeless.
Di Irlandia, isu homeless ini adalah isu yang panas dan terjadi dimana-mana. Nah, setelah baca-baca website citizen di Irlandia, ternyata orang-orang Irlandia yang tak punya penghasilan, alias bergantung pada jaminan sosial itu bisa mendapatkan rumah atau dana alokasi untuk nyewa. Gak semuanya bisa dapat dan gak bisa langsung dapat ya, ada proses panjang dan seleksi dahulu. Tapi tetap ada pemberian rumah secara gratis dari uang pajak.
Dengan krisis yang baru saja menghantam Irlandia, terjadi banyak keruwetan di negara ini. Krisis yang menghempas negeri ini membuat banyak orang kehilangan rumah karena rumah mereka disita oleh bank, ongkos sewa rumah di Irlandia juga tak murah, berkisar dari 800 hingga ribuan Euro. Keruwetan ini kemudian ditambah dengan tingginya permintaan rumah sosial yang tak berimbang dengan tingginya persediaan rumah.

cartoon: John Meaney toonpool.com
Niat pemerintah untuk mendirikan rumah-rumah sosial pun tak mudah diwujudkan. Di dekat daerah tempat saya tinggal misalnya, ada tanah lapang yang luas, tapi rencana ini ditolak mentah-mentah oleh masyarakat di wilayah tersebut. Alasan penolakannya beraneka rupa, dari mulai takut harga rumah mereka akan turun drastis hingga keengganan bertetangga dengan orang-orang yang bergantung pada jaminan sosial karena adanya kemungkinan perilaku anti-sosial.
Pusingnya pemerintah Irlandia pun makin bertambah ketika mereka menawarkan rumah-rumah yang sudah ada kepada orang-orang yang memerlukan. Studi yang baru-baru ini dikeluarkan menunjukkan bahwa banyak penolakan dari mereka yang membutuhkan rumah. Alasan mereka menolak rumah yang ditawarkan pemerintah beraneka rupa, tapi alasan terbanyak karena rumah yang ditawarkan tak memiliki halaman, tak memiliki tempat parkir, berlokasi di daerah yang tinggi perilaku anti-sosialnya, lokasi apartemen di lantai atas atau karena terlalu kecil. Padahal, ketika mereka menolak tawaran, mereka tidak akan ditawari rumah lagi hingga satu tahun ke depan.
Selain diberikan tawaran rumah, orang-orang yang memerlukan rumah juga diberikan dana untuk menyewa rumah. Besarannya tergantung dari wilayah tempat tinggal, di Dublin misalnya ongkos sewa yang diberikan sekitar 950 – 1000 Euro. Tapi konon ada saja pemilik rumah yang enggan menyewakan rumahnya kepada mereka yang mendapatkan alokasi untuk sewa rumah dari pemerintah. Mereka yang melakukan ini bisa dilaporkan dan mendapatkan hukum. Tapi perlu dipahami juga bahwa ketakutan mereka karena mereka takut tak dibayar karena uang sewa tak diberikan langsung kepada pemilik rumah dan enggan berurusan dengan dokumen yang lebih panjang daripada sewa-menyewa biasa. Ditambah lagi, jika terjadi masalah di masa datang, ‘mengusir’penyewa ternyata tak mudah. Ada tata cara panjang secara tertulis untuk mengosongkan rumah. Tak seperti di Indonesia yang menggunakan preman atau Satpol PP.
Nah kalau sudah gini, saya jadi teringat dengan koh Ahok yang menyediakan rumah gratis di Jakarta sana. Prinsip dan tujuannya mirip-mirip lah dengan di Irlandia, walaupun ada banyak keributan di sekitarnya, termasuk ribut soal uang iuran sepuluh ribu rupiah hingga soal lokasi yang tak sesuai. Kalau sudah begini saya jadi teringat dengan tukang becak di Yogyakarta sana. Si Pak becak ketika itu bersyukur sekali karena mendapatkan sedikit bantuan ketika gempa Yogya meluluhlantakkan rumahnya.
Sebagai pembayar pajak, apakah kalian setuju jika pajak yang kalian bayarkan ke negara kemudian digunakan untuk memberikan rumah-rumah gratis bagi masyarakat yang dianggap kurang mampu?
Xx,
Tjetje
Kalo aku setuju mbak.. daripada yg menggelandang atau gak punya rumah itu mendirikan rmh di daerah2 terlarang macam bantaran rel kereta, atau bantaran sungai, nyolong listrik pln yg gak pake aturan kan bs bikin resiko kebakaran dan banyak masalah sosial lainnya.. tp ya itulah, susah kali kdg org2 sprti itu mau diajak tertib, mau diurusin pemerintah, ada aja alasannya. Deket rmh saya pun banyak yg seenaknya mendirikan rumah2 dipinggir sungai.. bikin sungai terdesak, belum sampah rmh tangga yg dibuang begitu saja disitu.. tp klo mau ditertibkan mereka minta ganti rugi, lah kan pusing..
Iya itu yang minta ganti rugi aku gak paham logikanya.
aku gk masalah yang penting orang yg menggunakan benar-benar gk mampu jgn yang pura-pura tidak mampu
Disini ada assessmentsnya.
Artian masyarakat kurang mampunya in my opinion mesti jelas dulu Mba Ce, soalnya yang aku perhatikan juga ya banyak yang tinggal di rusun tapi mobilnya bagus bagus gitu. Lebih tinggi dari sekelas Agya atau bahkan Avanza, hahaa..
Disini gak punya rumah juga pegang iphone, bergantung pada jaminan sosial. Pusing liatnya.
Aku setuju2 aja mbak krn toh sistemnya subsidi silang dan aku bisa menikmati hal lain, transport misalnya. Ngomong2 yg nolak rumah belagu bener ya udah bagus dikasih gratis, aku lho tiap bulan masih bayar 😆 *anak kost*
Kulturnya beda sama pak becak yang nrimo-an.
setuju aja mbak …. 🙂
umm, susah juga ya mba Tje.
Disatu sisi kalo orangnya beneran susah (ada tuh yang rumahnya sampe gubuk reot udah ampir rubuh, aku baca di Kompas) kayaknya mereka perlu ditolong dengan punya tempat tinggal yang layak deh. Tapi masalahnya disini banyakan yang gak susah susah banget tapi demen aji mumpung pura pura susah 🙂
Nah kalo buat yang begitu suka gak rela juga sih. Jadi asalkan orangnya benar2 susah ya why not, mereka juga perlu di tolong kok.
Oh iya mafia-mafia yang memanfaatkan situasi ya.
Iya, seorang Ahok aja mesti ngelawan itu semua. Kasian yang betul2 butuh malah jadi harus bayar ketika menempati. Tujuan programnya baik karena disalahgunakan jadi ga tepat sasaran.
hi mba.. tulisannya bagus 🙂
aku setuju banget, gapapa kita bayar pajak untuk bisa bantu pemerintah kasih rumah gratis ke yang membutuhkan, daripada harus liat mereka hidup dijalanan tidur nya pindah pindah dari tempat satu ke tempat yang lain.. apalgi kalau sambil bawa anak kecil.. ga tega liatnya mba..
Eh yang bawa anak kecil tiap mau lebaran itu “duitnya banyak lho”. Aku justru liat mereka menyalahgunakan belas kasihan orang.
Saya setuju agar orang-orang yang kurang mampu di Indonesia dipelihara. Bukan ketidakmampuannya yang dipelihara supaya tetap ada. Hehehe.
Selain dipelihara, harus ditelusuri juga apa yang membuat mereka menjadi seperti itu. Pendidikan kah? Mentalitas kah?
Baru deh dibenahi..
Saya mendingan duit pajek buat biayain mereka, daripada biayain mereka yang kerjaannya tidur ama ngebokep di Senayan #ehh
Eh yang nonton bokep itu akhirnya gak mundur ya?
Ga mundur sih mbak kayanya. Ga dapet pesangon soalnya, mendingan dipecat. Hehehe.
Astaga…..ampun deh ya gak ada malunya.
wah, menarik tau kondisi Irlandia mbak, terimakasih sudah berbagi.
saya sangat setuju pajak nya dialokasikan untuk hal seperti itu, tapi juga sangat berharap pemerintah bisa memberi kualifikasi “tidak mampu” itu dengan benar. tidak seperti contoh di paragraf pertama mbak.
Yang di paragraf pertama itu ibu tunggal.
Soal iphone, disini hape itu murah banget loh. Orang bisa beli iphone secara nyicil sekalian abonemen. Nggak tau sih kalau di Ireland bagaimana, klo di DK, bayar 1DKK bisa bawa pulang iphone, bayar 300 DKK per bulan + abonemen, sama cicilan selama 24 bulan doang. Nggak kaya di Indonesia yang super mahal.
Eh sori jadi off topic. Pointnya buat aku, smartphone udah bukan jadi tolak ukur luxury goods lagi sih.
Untuk soal housing, tentu rela, tapi kalau bener2 membutuhkan. Sayangnya disini banyak orang yang didiagnosa penyakit2 ga jelas (sehingga ga bisa kerja, contoh —> beneran ini kejadian, ada orang yang didiagnosa nggak bisa berada di dekat banyak orang, masih muda umur 20 tahunan, lalu terima social welfare, tapi hidupnya justru party melulu, dapet dia mah housing help etc etc – petugas sosial juga udah males menelaah lebih lanjut ke kasusnya, mungkin pikirnya kasih aja lah, daripada capek diurusin satu2
Disini iphone bulanannya cuma 55 Euro tapi mesti bayar deposit 300/400 Euroan dulu di depan. Aku yang gak paham kenapa prioritas ke hp dulu ketimbang ke rumah, duit segitu kan bisa dikumpulkan buat sewa rumah.
Ini tetangga juga ada yang gak bisa kerja dengan orang jadi seumur hidup gak pernah kerja. Makan duit pajak aja sama nyimeng.
Ada baca satu artikel tentang kenapa orang miskin punya bad habit seperti merokok atau makan junk food atau habit2 yang menurut kita ga bener atau ngabisin duit, karena mereka udah merasa hopeless dengan situasinya, itu kondisi psikologis. Let me try to find it.
Ah bener juga, di Indonesia yang miskin udah hambur-hambur duit beli rokok padahal bisa disimpan.
There it is http://www.theatlantic.com/business/archive/2013/11/your-brain-on-poverty-why-poor-people-seem-to-make-bad-decisions/281780/
Menarik!
Hehe, benar juga. Penerjemahan “homeless” menjadi “gelandangan” sepertinya kurang tepat ya (dua arah kurang tepatnya) karena gelandangan itu adalah himpunan bagian dari homeless 😛 .
Masalah pajak, kalau aku sih setuju aja asalkan dikelola dengan benar. “Perlindungan” terhadap kalangan masyarakat yang kurang mampu begini kan sebenarnya perlindungan terhadap seluruh masyarakat juga. Dalam artian, misalnya orang kalau kepepet banget bisa kemudian bertindak ekstrim kan. Nah, salah satu kondisi yang membuat kepepet banget itu kan jika dia menjadi gelandangan dan tidak memiliki cukup resource untuk hidup. Dengan mengurangi kondisi yang membuat seseorang menjadi kepepet, artinya tingkat kriminalitas (atau tindakan ekstrim apa lah) juga cenderung ditekan 😛 .
Tahun lalu ya Irlandia itu ngabisin 96 juta buat ngurusin Homeless. Satu Homeless diperkirakan dapat 32 ribu Euro. Duitnya nggak jelas kemana semua larinya. Aku lihatnya ini isu jadi bahan pelintiran dan duitnya kok kayak jadi bahan hura-hura yang gak menyelesaikan masalah.
Hah? Satu homeless dapat 32ribu euro setahun mah enak banget tuh kurang lebih hampir sama kayak kerja kantoran biasa! Disini juga ada sih semacam bantuan untuk yang jobless gitu, tapi besarnya cuma sekian persen dari standar gaji minimal. Jadi seenggaknya orangnya nggak akan “mati kelaparan” tetapi masih disemangati untuk cari kerja, hehe 🙂 .
Teorinya sih begitu, tapi duitnya engga tahu kemana. Pada dipakai sama para organisasi2 untuk orang tanpa rumah.
Di beberapa terjemahan buku sini gypsy pun disebut sebagai gelandangan…setuju-setuju saja soal pajak, selama sistemnya jalan dan jelas aliran-aliran dananya…Ternyata pertimbangan2 untuk pindah sama saja dimana2…
Mungkin karena mereka gak punya rumah ya. Semalam ada tayangan menarik tentang gypsy di UK yang bergantung pada social welfare dan housing benefit. Satu orang belum bayar rental rumah selama 8 bulan, masih nunggu duit dari pembayar pajak. Tapi ya dia punya duit buat beli bride yang umurnya masih belasan tahun. Gak heran kalau kemudian banyak anak diambil negara wong umur 14 sudah hamil.
Aku sih pribadi ga masalah asalkan yang bersangkutan memang benar2 butuh. Yang ga rela itu kalau social welfare dikasih ke orang yang males kerja. Bikin gregetan bacanya!!!! Dulu aku pernah baca ada pengungi yang datang ke DK 19 tahun yang lalu – dan menerima welfare dari dulu sampai sekarang karena dia merasa uangnya itu cukup untuk nggak kerja. Bahasa Danishnya aja masih jelek banget. Ini baru bikin darahku mendidih beneran!
Sistemnya juga mesti diperbaiki, menurutku, karena ada kasus-kasus dimana uang social welfare itu lebih besar ketimbang kerja. Akibatnya orang jadi kurang termotivasi. Ini bikin gregetan banget sih.
Setuju! Disini aku denger2 ada juga yang malah dokternya yang kasih surat ijin, padahal yang bersangkutan sehat2 aja.
Tapi tetap aja bikin kesel. Uang pajakku dari kerjaku mati2an malah dipakai untuk bayarin orang2 males. Uuuurrrghhhh 😡👊🏼💥
Ah kagak bener juga dokternyata.
aku sich setuju, sepanjang orang yang mendapatkan benar-benar membutuhkan. tapi kalau orang yang males mendapatkan jatah pajak mah keterlaluan yach.
Pingback: Serba-serbi Dana Kesejahteraan Sosial di Irlandia | Ailtje Ni Diomasaigh