Beberapa waktu lalu, televisi nasional di Irlandia (semacam TVRI gitu, tapi lebih berkualitas), menayangkan sebuah film dokumenter tentang imigran di Irlandia. Dokumenter itu bercerita tentang beberapa kelompok imigran yang tinggal di Irlandia. Kelompok ini terdiri dari orang muslim, pelajar berkulit hitam serta seorang pria Romania yang kulitnya putih. Dokumenter ini menggambarkan tantangan-tantangan yang dihadapi oleh para pendatang dalam menjalani hidup dan berintegrasi di Irlandia.
Orang-orang yang saya sebut di atas mewakili sebuah komunitas-komunitas imigran yang sering terdiskriminasi. Romania yang berkulit putih dan berwajah Eropa misalnya identik dengan mengemis, mencuri di toko, serta label-label lain seperti malas bekerja dan hanya suka mengambil jaminan kesejahteraan sosial. Ketika berbelanja mereka sering sekali diawasi oleh security karena label tukang mencuri. Di dokumenter ini seorang pria muda diceritakan sukses menjadi polisi di Irlandia. Sukses itu tak datang dengan mudah, karena ibunya harus mengemis untuk keluarganya.
Kelompok-kelompok muslim sendiri banyak ditakuti karena diidentikkan dengan terorisme serta islamisasi Eropa. Di film tersebut seorang pria Irlandia berkulit putih bahkan tak segan menyerang dan mengancam pria muslim secara verbal. Perempuan muslim yang mengenakan jilbab di Irlandia mengeluhkan betapa seringnya mereka diberi pandangan oleh orang lain. Perempuan yang ada di film ini bahkan pernah diikuti oleh pria setelah turun dari bis. Saya kemudian ngobrol dengan seorang teman yang berjilbab tentang diskriminasi di Irlandia. Teman saya ini tak pernah mengalami diskriminasi, tapi sering banget dilihatin orang, mungkin karena pilihannya untuk mengenakan jilbab. Dan dilihatin karena penampilan yang mungkin dianggap aneh ini bagi mereka cukup tak mengenakkan.
Islamisasi Eropa sendiri merupakan isu yang cukup ditakuti banyak orang. Dalam sebuah kesempatan, seorang rekan saya di kelas bahasa pernah berkata bahwa Irlandia adalah negara Katolik yang memiliki nilai-nilai Katolik. Anak muda ini kemudian takut jika nilai-nilai Katolik ini hilang atau bahkan berubah karena kehadiran Islam. Pada intinya ia menolak perubahan dan baginya Islam itu mengerikan. Di film tersebut juga ditampilkan sebuah organisasi Pegida dan organisasi politik Identity Ireland yang menolak imigrasi secara besar-besaran di Eropa. Organisasi ini monggo digoogle tapi gak usah pakai emosi bacanya.
Kelompok terakhir yang ada di film tersebut adalah kelompok kulit hitam yang diwakili oleh seorang pelajar berkulit hitam yang juga sering didiskriminasi. Di akhir cerita, Boni, sang mahasiswa hukum ini menjadi Presiden Pelajar pertama yang berkulit hitam di sebuah universitas di Irlandia. Cerita manis Boni tapi tak semanis dengan cerita beberapa pengemudi taksi yang pernah saya ajak ngobrol. Seorang pengemudi taksi bahkan pernah dipukuli sekelompok orang ketika sedang menunggu penumpang. Menurut sang pengemudi, saat itu ada polisi di area kejadian, tapi ia tak ditolong. Masalah yang kemudian dilaporkan ke polisi juga tak pernah ditemukan pelakunya.
Rasisme terhadap para pengemudi taksi berkulit hitam juga sering terjadi ketika urusan mengangkut penumpang. Bukan hal yang aneh lagi jika penumpang rela menunggu taksi berikutnya karena enggan disupiri pengemudi berkulit hitam. Bahkan, ada ibu-ibu yang sudah memesan taksi mengenakan aplikasi langsung menolak dan membatalkan pemesanan ketika tahu pengemudinya berasal dari Afrika. Sungguh sebuah perilaku yang mencengangkan, apalagi saat itu terdapat anak kecil bersamanya.
Salah seorang teman saya yang tinggal di sebuah kota kecil di Irlandia pernah mengalami rasisme yang cukup parah. Ketika itu sang pemilik toko yang ia kunjungi berkata “lebih baik kalau semua orang asing di negeri kita ini kembali ke negaranya dan tanah-tanah kosong kita bisa dipakai untuk sapi”. Di tempat ia tinggal, rasisme memang cukup tinggi, saking tingginya ia sampai tahu mana toko yang harus didatangi dan mana yang tak boleh didatangi. Ia tak sendirian, rekannya warga Malaysia juga sering mengalami diskriminasi.
Seperti saya tulis di postingan tentang rasisme, Irlandia itu negara yang cukup terbuka untuk para imigran. Orang-orangnya ramah dan terbuka pada orang asing. Kendati begitu, rasisme masih tetap ada dan jumlahnya hingga saat ini relatif “kecil”. Kecil tapi menyakitnya.
Pernah mengalami diskriminasi atau rasisme?
Xx,
Tjetje
Baca juga: Tentang rasisme & Irlandia
Dunia semakin maju tetapi rasisme dan diskriminasi selalu ada ya mba. Sering dipanggil “Cina” dan “Amoy” dulu, hehe..
Nah ini soal Cina masih juga lho, apalagi dengan Ahok mau maju. Makin keliatan rasisnya sebagian orang Indonesia.
Betul mba. Mana agama Ahok Kristen pula, haha. Semakin rasis nampaknya 😀
Iya aku lihat agama dan ras jadi bahan menyerang. Gak penting banget.
Aku pernah, mbak. Di negara orang juga. Pertama pas aku di Moscow, hampir semua orang yang ngobrol sama aku itu berfikir aku dari negara tarzan. Maklum, beberapa negara Asia kan masih di cap benua ke tiga. Mereka berfikir kalo Jakarta itu masih berupa hutan, terbelakang. Haduhhh… Ampe capek jelasinnya deh kalo Jakarta itu udah semodern kota kota lain malahan di Moscow sendiri banyak aku lihat mobilnya lebih kuno dari di Jakarta. Terus mereka kira aku itu orang Thailand jadi pas aku pergi ke bar, they thought me i’m prostitute girl! Dohh… Padahal itu aku pake baju tebel lohh.. 😦
Rasanya pengen aku unyeng2 kepala mereka deh! Gemes, sebel, sakit hati..
Ampun, gitu deh kalau gak pernah keluar negerinya.
Serem juga ya kalau diomongin mendingan untuk sapi tanahnya. Aku belon pernah Ai, mudah2an jangan deh
Iya Non, itu parah banget. Aku pernah sih ke kotanya, kecil buaaaaaanget.
Selama disini belum pernah mengalami (mudah2an sampai kapanpun ga mengalami). Dulu sempat ragu pas mau ngelamar kerja, karena selain berjilbab, aku kan juga ga pakai nama belakang suami, jadi pakai nama asli. Tapi bersyukurnya ternyata tembus juga 2 kali keterima kerja dimana pada akhirnya malah ga bisa kuambil karena bentrok sama jadwal sekolah. Dalam sehari2 juga normal, belum pernah mendapat perlakuan yang berbau rasis. Beberapa kali mau makan di restoran malah dikasih tau kalau disalah satu menunya ada masakan babi. Jadi kayak memberi tahu diawal. Sejauh ini masih nyaman karena Den Haag atau Belanda sendiri memang banyak orang berjilbab plus muka Indonesia sudah familiar buat mereka.
Waktu aku kawin, sepupuku yang berjilbab dibisiki pelayannya dibilangin tiramisunya mengandung alkohol dan diganti sama dessert lain.
Disini diskriminasi jelas ada, terutama pada non-Danish (yang berkulit gelap), lebih parah lagi ke muslim. Mungkin jarang yang dikata2in di jalan, tapi yang jelas ada di sistem (ditolak lamaran kerja kalau nama asing etc, apalagi kalau nama muslim – wasalam deh, mending ga usah ngelamar kerja sekalian).
Untuk perempuan Asia memang disama ratakan sama orang Thailand yang entah pelacur atau berpendidikan rendah (bisa jadi dua2nya). Ini bukan cuman orang2 yang jarang keluar negeri, justru mereka yang keluar negerinya liburan nya (cuma) ke Thailand doang. Tapi memang stigmanya perempuan Asia adalah submissive, biasanya bodoh dan gampang diapa2in.
Duh parah banget itu. Terus kalau muslim berakhir bergantung pada social welfare karena gak kerja jadi masalah lain lagi deh.
Sepertinya sih yang namanya rasisme itu mustahil (atau sulit sekali) untuk “dihilangkan” ya karena kan bagaimana pun tampilan luar setiap orang berbeda-beda. Namun, yang seharusnya bisa diubah (in theory, plus butuh waktu lamaaa kayaknya) adalah persepsi dan perilaku seseorang terhadap itu 😀 .
Butuh waktu untuk merubah, tapi pun akan selalu ada sepanjang masa.
Rasisme itu emang biasanya dilakuin sama sebagian kecil orang doang yang kayaknya kurang bahagia hidupnya. Tapi biar sebagian kecil pun patut di waspadai sih, karena mereka bisa berkembang jadi radikal dan jahat.
Kadang gak abis pikir ya, dunia ini luas, kalo mau semuanya seragam boring gak sih? Justru kan serunya karena beda beda. Yah sayangnya gak semua berpikiran begitu ya mba 🙂
Btw aku mah kenyang sama diskriminasi. Sebagai keturunan Cina di Indonesia, udah tau lah kayak apa. Tapi yang rasis kadang bukan orang pribumi aja, tapi dari sisi orang keturunan pun yg rasis gak kalah nyebelinnya
Hah maksudnya sesama Tionghoa rasis gitu?
Ada yang rasis mba. Dulu pernah pacaran sama Tionghoa totok, ortunya nanya macem2 kayak masih sembahyang gak, ortu dari suku mana, marga nya apa, dsb dsb. Aku nih, keturunan generasi keberapa. Mata doang yang sipit, tapi gak punya nama Tionghoa, gak bisa ngomong mandarin juga wah dibilangnya Cina coret 😀
Btw, rasis dikalangan orang keturunan terhadap pribumi juga ada. Ada yang dinasehatin jangan berteman sama pribumi lah, begini lah, begitu lah. Jadi rasis itu tergantung orangnya sih 🙂
Duh sampai segitunya ya. Soal gak bisa bahasa Mandarin bukannya banyak yang gak bisa gara2 rezim Suharto ya? Orang Indonesia memang etnosentris banget.
Waktu heboh2nya kasus Corby, which is jaman gue SMP d Aussie. Salah seorang guru gue bilang d depan murid2nya klo Indonesia itu negara pengedar drugs *OMG* aku pengen bales tu omongan guru, cuman aku bingung gimana balesnya. Klo salah stigma negatif utk gue maupun negara kita bakal bertambah :’-(
Errrrr…..negara pengedar narkoba yang ngedarin dari Oz gitu? :p
Iyalah, yg jelas bukan Idn yg ngedarin. Kebetulan aja yg ketahuan make lg d indo. Gagal paham tp berusaha mendoktrin murid2 sekelas
Aku alhamdulillah belum pernah, paling rancu dikira orang Thailand, Vietnam atau malah Spanyol dan lain-lain pokoknya selain Indonesia! 😅
Bersyukurlah kamu yang mayoritas di Indonesia! Saya sudah sejak kecil udah “dikenalkan” sama rasisme di Indonesia karena dobel minoritas (Cina & Kristen)
Gw paling sebel nih sama rasisme ini di Indonesia. Eurgh, serius deh berapa juta taun lagi sampai orang2 tidak lagi adanya Cina Indonesia, yang ada kan orang Indonesia!!! Mo teriak2 gw kadang2 kalau itu.
So sorry to hear that…:(
Iya, makanya saya bilang alhamdulillah…dan di sinipun sebagai dobel minoritas juga (Islam dan Asian) juga bersyukur so far belum pernah mengalami rasisme.
Di Belanda juga ada sebagian orang yang masih rasis gitu mba Ai. Ian yang sering cerita, gemes banget dia kalo ketemu orang-orang yang kayak gini.
Aku sendiri di Belanda pernah beberapa kali dibrentiin orang pas lagi jalan kaki dan ditunjuk-tunjuk dibilang China. Pernah juga sekali ditunjuk-tunjuk sambil diketawain cewek-cewek disana dipanggil China. Kalo yang sampe diketawain itu berakhir dengan cewek-ceweknya ditarik temennya Ian dimarah-marahin 😛
Duh duh parah juga ya. Tapi untungnya jumlah mereka tak seberapa. Eh tapi biarpun kecil gak boleh ditoleransi juga.
Bener mba Ai. Aku yang diberhentiin pas jalan kaki orangnya aku omel-omelin 😛
semenjak byknya org suriah yg jd pengungsi dturki, warga lokal yg biasanya ramah sm foreigner suka naruh curiga, dan anggep semua org asing yg make jilbab itu jg pengungsi, byk yg ngalamin kejadian ga ngenakin, temen yg lg pesen makanan di resto nunggu di depan, di usir pelayannya krn dkira pengungsi yg ngemis,dia make baju sederhana. padahal ya udah jelas dr wajah beda bgt..muka arab yg mancung2 sm indonesia,tp org sini suka mukul rata, kecuali lg jln sm suami dan saya make kerudung langsungan khas indonesia br deh ngeh kl bkn pengungsi, tp byk jg yg nyebelin, udah dijelasin org indonesia,msh dtanya, km dtg ke turki ngapain, negara km perang juga yaaa…hehehe, efek byknya org suriah dsini kerasa bgt buat foreigner lainnya, urus resident permit jg jauh lbh rumit aplikasinya
Wah apalagi sekarang Turki bakalan makin banyak nampung mereka ya.
udah byk bgt mb…sayangnya ga terkoordinasi dgn matang jg,skrg istanbul mkn byk pengemis, kriminalitas naik drastis,dan yg gemesin itu byk jg org2 kaya suriah yg pd mindahin aset kesini, tetap hidup bermewah2..plesiran eropa, dsatu sisi yg sodaranya jg byk yg susah dsini, tp ga saling peduli,dilimpahin ke negara tampungannya,kl dbilang muslim,islam, ga semuanya jg gitu, berandalannya jg byk, masalah sosial jg ikutan ngungsi dsini
Soal rasisme ini kayaknya memang ada dimana2 aja.. Even di keluarga besar aku pun gitu.. sedih deh.. Kadang aku mikirnya mungkin dari kecil sudah didoktrin seperti itu dari orangtuanya, dan orangtuanya dari orangtuanya mereka lagi.. Ugh..
Mbak Ailsa, di Malaysia juga agak hampir sama dengan di Indonesia soal rasisme. Disini sebagian orang bumiputera (kalo di Indonesia disebut sbg pribumi) suka bersikap arogan sama orang2 keturunan chinese & india dan mereka juga suka arogan terhadap orang Indonesia (padahal kan tidak semua orang Indonesia yg tinggal disini bersatus TKI tapi kesan pertama yg ditunjukkan oleh mereka itu orang Indonesia mestilah TKI) dari pengalaman sy nih, terutama sekali kalo sy berurusan dgn aparat berseragam (imigrasi, urusan pembuatan SIM, urusan perpanjangan paspor anak) kebetulan utk urusan perpanjangan paspor anak baru kejadian kemarin. Mereka gak totalitas tulus dlm pelayanan ya.. Sok sok galak-otoriter-menganggap banget kalo kita sangat sangat butuh mereka jadi mereka bisa ngomong seenaknya.. Belum lagi yg pandangan sinis mereka terhadap sy begitu mereka buka paspor sy, disitu tertera nama asli sy yg total Islami banget tapi sy tidak berjilbab dan….Ditambah lagi sy dtg dgn suami yg orang India yg udah berumur pula… Ya udah deh, campur aduk deh mereka memperlakukan kita… Sabar aja deh, yg penting paspor baru utk anak sy udah jadi. Soal petugas yg rasis bin arogan gitu .. Mungkin mereka punya persoalan lain dlm dirinya yg salah satunya mereka hobi banget berlaku rasis & arogan terhadap orang lain. Makan tuh rasis & arogan, hidup lo sampe situ aja gak bahagia lahir batin..
Hahahaha….😄😆😃
happy weekend & take care mbak Ailsa!
Ah untungnya aku tak pernah berurusan dengan orang Malaysia yang arogan, moga-moga gak pernah deh. Have a nice weekend juga Ririn.
Aku pernah ngerasain dulu pernah ditanya sama teman sekelas kalau aku dibeli atau nggak, gara2 perempuan filipina disini kaya dagang mail bride yg sasarannya well, orang danish tua, (jelek), single dan naive. Mereka nanyain orang2 ini soal mau dikenali atau nggak dengan teman/relatif di Phillipine 🙄
Aimaaaak, parah banget itu pertanyaannya. Btw, suamiku memperhatikan dia seringkali dilihatin orang karena punya istri orang Asia.