Satu Atap Dengan Mertua

Tinggal satu atap sama mertua itu nista ya?

Pertanyaan ini saya ajukan ke Twitter beberapa waktu lalu. Jawaban yang saya terima bermacam-macam, tergantung kultur mana yang di pakai untuk melihat hal ini. Di Indonesia hal seperti ini dianggap normal, begitu juga di kultur China dengan pembatasan tiga rumah tangga dalam satu atap. Di Irlandia sendiri, ada beberapa pasangan yang melakukan hal seperti ini dengan alasan bermacam-macam. Kebanyakan orang yang saya tahu ketika melihat hal seperti ini tak begitu peduli.

Alasan memilih tinggal dengan mertua

Di Indonesia, pasangan baru yang tinggal dengan mertua bukanlah sebuah hal yang aneh. Ada banyak alasan mengapa pasangan-pasangan ini memilih tinggal bersama mertua. Alasan ekonomi seringkali menjadi alasan utama tak tinggal sendiri. Mengumpulkan uang untuk uang muka properti jadi alasan utama, karena memang tak ada properti dengan uang muka nol persen. Lagipula, sayang jika uang digunakan untuk membayar kontrakan, sementara rumah mertua banyak memiliki ruang kosong. Masuk akal kan? Apalagi kalau kemudian sang mertua tak berkeberatan.

Mertua yang sudah beranjak tua juga seringkali menjadi alasan tinggal satu atap. Mertua yang biasanya sudah sendirian dan tua, seringkali menjadi bahan kecemasan anak-anaknya. Di beberapa keluarga yang besar, salah satu anak biasanya ditunjuk untuk tinggal dan menjaga orang tua tersebut.

Selain usia, kondisi kesehatan mertua juga banyak menjadi pertimbangan. Apalagi mertua yang menderita sakit-sakit tertentu. Mertua terkena diabetes, jantung dan harus diawasi karena makannya tak terkontrol, mertua terkena kanker sehingga harus rutin kemoterapi, ataupun mertua terkenal sakit ginjal serta harus rutin cuci darah. Beberapa keluarga yang mampu biasanya akan mempekerjakan suster juga untuk mengawasi mertua yang sakit, tapi kehadiran anak, apalagi cucu, sedikit banyak akan sangat membantu menyemangati mereka yang sedang dalam kondisi sakit.

Ada juga mereka yang ingin anak-anaknya tak keluar dari rumah, karena memang ingin terus bersama sang anak dan menghabiskan waktu lebih banyak dengan anak-anaknya. Saya sendiri mengetahui salah satu orang kaya yang melakukan hal ini. Dengan segala uangnya, sang mertua bisa membelikan rumah-rumah untuk anak mantunya, tapi ia meminta anak-anaknya tinggal bersama. Sweet banget.

Tantangan tinggal dengan mertua

Tinggal dengan mertua bisa saya bayangkan sebagai sebuah hal yang tak mudah dilakukan. Rutinitas dan kebiasaan yang tak sama, belum lagi ego yang saling bertubrukan. Bisa dibayangkan sang anak biasanya harus terhimpit dengan orang tua vs pasangan. Banyak konflik yang timbul, apalagi jika semua pihak keras kepala.

Akan ada perebutan area di dalam rumah juga, misalnya dapur yang biasanya dikuasai oleh salah satu pihak, entah itu sang mertua atau menantu. Soal menu makanan pun bisa menjadi sumber argumentasi yang tak berkesudahan. Tak cuma berebut area, beberapa bahkan ada yang mengalami kecemburuan karena berebut perhatian. Tak heran kalau banyak bertebaran meme kejam seperti ini di internet, karena hubungan mertua dan mantu tak pernah mudah.

OMG, this one is harsh!

Privacy juga menjadi salah satu tantangan berat. Lingerie seksi-seksi tiba-tiba akan menjadi sumber kekagetan luar biasa dari mertua. Kamar tidur yang seharusnya menjadi area untuk tinggal berdua tiba-tiba “dijelajah” mertua yang beralasan ingin membantu beres-beres. Belum lagi mertua yang tiba-tiba ingin ikut campur dalam membuat keputusan-keputusan rumah tangga. Dari yang paling sederhana seperti warna lipstick, hingga memilih merek mobil.

Pendek kata, tinggal dengan mertua itu tak pernah sederhana.

Pandangan orang

Tekanan tinggal satu atap dengan mertua yang tak mudah ini masih ditambah dengan pandangan dan omongan tak enak dari lingkungan sekitar. Penghakiman dari masyarakat, karena pilihan, atau karena keadaan yang memaksa untuk tinggal dengan mertua, misalnya dengan cara menilai pria yang setuju melakukan hal tersebut sebagai pria yang tak mampu menghidupi pasangan dan keluarganya. Label tak mandiri pun melayang.

Di banyak lingkungan, tinggal di rumah mertua itu menjadi bahan pembicaraan. Saya sendiri pernah digosipkan miring tinggal dengan mertua. Gosip yang bagi saya sangat aneh, karena tinggal dengan mertua itu bukanlah sebuah skandal, seperti sebuah perselingkuhan. Dosa pun tidak. Lucunya saya ini tak pernah tinggal dengan mertua, hanya beberapa kali menginap di rumah mertua ketika berkunjung ke Irlandia (back then saya belum kawin).

Tapi begitulah lingkungan sosial kita dan cara berpikir orang lain, mereka terbentuk untuk terus mencari kesalahan orang lain dan membicarakan hal yang kemudian dianggap salah menurut standar mereka. Kebayang kan betapa pusingnya mereka yang memang harus tinggal dengan mertua dan dicibir karena keputusan mereka. Mau tak mau memang kita harus kebal dengan kenyataan bahwa banyak dari kita masih suka ngurusin dapur orang lain. Lagipula, ngurusin dapur orang lain itu kan menyenangkan dan bisa menambah kepercayaan diri yang seringkali rendah.

Jadi, apa pandanganmu tentang mereka yang tinggal dengan mertua?

xx,
Tjetje

43 thoughts on “Satu Atap Dengan Mertua

  1. Buat aku yang jelas sangat tidak sekali. Jangankan mertua, tinggal bareng orang lain (yang bukan pasangan) aja udah gerah (jaman kuliah dulu, ngekos maupun tinggal di kollegium disini), aku butuh privasi!

    Pas pulkam dan harus tinggal di tempat orang tua itu aku merasa 2 minggu udah maximum, nggak bisa lebih2, lama2 bisa gila! 😛 Aku “takjub” sama orang2 yang bisa pulkam ke Indonesia sebulan lebih or so, atau bahkan tinggal bareng sama mertua, their ability to compromise is amazing 🙂

  2. I dont see this as a problem krn alasan yg sdh mbak sebutkan diatas. Terutama yg bagian mertua sakit. But probably I say so bcoz bkn aku yg menjalani hidup bersama mertua, hehehe. Hey but I’ve been living with my granma since like, forever…. ada banyak konflik & perbedaan antara kami. Jd kurang lebih klo ada yg bercerita ttg gmn challanging-nya tinggal bersama mertua, aku bs ngerti lah.

  3. Aku pernah tinggal sama keluarga pacar beberapa bulan lalu pas ada kerusakan di rumah selama weekend. Bokapnya pacar ternyata di rumah galak banget dan aku nggak ngerasa bebas karena nggak punya kunci rumah. Untung masalah di rumah cepet kelar, jadi aku cepet pulangnya juga. Pacarku juga malas tinggal sama orangtuanya, dia sih mau2 aja diundang makan malam sebagai tamu, tapi kalau harus tinggal disana lagi dia nggak mau.

    • Bisa juga, tapi gak usah orang ke empat juga potensi konfliknya udah tinggi. Apalagi karena kebiasaan yang beda-beda, dicampur ego. Disuruh bikin teh aja beda2 caranya, nanti kalau caranya gak sama, ditegur tersinggung. Bubar deh.

  4. Aku sudah biasa melihat dalam kehidupan sehari2 ttg hal satu atap dengan mertua. Lingkunganku tumbuh besar adalah di lingkungan suku Madura. Sejauh yg aku tahu, bagi mereka semboyannya adalah semacam : makan ga makan yg penting kumpul. Jadi aku sudah biasa melihat tetangga kiri kanan depan belakang yg dalam satu rumah ada 2 atau 3 keluarga. Tetapi buatku, rasanya aku ga bisa. Sudah biasa tinggal sendiri sejak umur 15 tahun, jadinya privacy adalah hal utama. Ini aja Ibu tinggal bersama kami 3 bulan, awalnya aku deg2an gimana rasanya karena sudah lama banget ga tinggal bersama selama itu. Selama 3 minggu, sejauh ini baik2 saja karena aku secara jelas menyebutkan beberapa aturan di rumah kami. Dari urusan dapur sampai mengoperasikan beberapa alat elektronik. Dan Ibu menanggapinya dengan baik2 saja. Cuma, suami awalnya agak “cranky” karena musti adaptasi dengan beberapa kebiasaan Ibu yang berbeda. Dan pada akhirnya Ibu yg beradaptasi dengan kebiasaan kami. Masalah selesai.

  5. Engga deh Mba Ailsa.. Waktu masih gadis saya tinggal sama ortu dimanja banget. Setelah nikah baru merasa susah senangnya hidup mandiri. Tapi nikmat 😂😂😂.
    Setelah melahirkan saya sempat balik tinggal dengan ortu selama seminggu. Saya baru sadar bahwa saya ga bisa lagi tinggal sama mereka.
    Sekarang gak mau tinggal dengan mertua maupun ortu sendiri. Takut berkonflik yang malah bisa merusak hubungan baik.
    BTW Gunung Agung mulai erupsi Mbak, mohon doakan masyarakat Bali ya 🙏🙏🙏

  6. Nista sih engga mba Tje, tapi malesin. Pada dasarnya aku emang udah gak kebiasa tingal sama orang yg lebih tua (aku anak pertama btw, suami juga jd gak ada kakak), sebelum nikah juga sudah hidup nge kos juga dari SMA.
    Tinggal sama orang tua baik kandung sama suami tentunya harus mau diatur sama mereka, apalagi kalo tinggalnya ditempat mereka. Makanya sejak dari pacaran kalo udah ngomongin soal nikah, aku udah bilang dari awal kalo aku maunya hidup mandiri. Aku gak mau tinggal sama ortu baik ortunya (calon) suami atau ortu ku, fair kan? 😀
    Kalo mau tinggal deket2 sih oke aja tapi gak tinggal satu atap. Kalau memang ortu udah tua, ya mending sediain perawat trus beli tempat tinggal yg deket sama mereka biar lebih mudah nengok. Untung pak suami juga sepikiran 🙂

  7. Aku sebenarnya dan sejujurnya engga mau tinggal sama mertua mba tapi seperti isi postinganmu ini, mau engga mau aku harus rela tinggal sama mertua karena beliau sudah beranjak tua dan kesehatannya juga jadi bahan pertimbangan. Suami sudah tinggal serumah dengan mertuaku sejak lama karena mertua single parent jadi kasihan juga kalau mertua tinggal sendirian di rumah. Perbedaan itu pasti ada soalnya beda generasi dan pola pikir, tapi di sisi lain aku menganggapnya sebagai sarana untuk kontrol ego dan emosi haha, apalagi suami masih bisa jadi penengah yang adil.

      • Iya, memang tidak mudah tapi bukan tidak mungkin menurutku. Kalau aku analisis setahunan ini, kuncinya lebih ke komunikasi dan pengontrolan diri. Kalau mau sesuatu ya kasih tahu. Contohnya soal cuci piring. Mertuaku tangannya sudah tidak kuat untuk cuci piring sedangkan aku ga masalah buat cuciin tapi pakai caraku bukan cara mertua. Hal lain juga seperti itu.

  8. Kalo aku pribadi sih ga mau tinggal dengan mertua, tapi buat yang tinggal sama mertua juga menurut aku itu bukan masalah, dan alhamdulillah ga pernah nyinyirin juga hehe. Suamiku aja diminta orang tuaku untuk tinggal bersama setelah menikah. Pas hampir setahun aku tanya “Gimana rasanya tinggal sama mertua?”, Jawaban suamiku “Biasa aja, happy2 aja” Ooooh berarti di enjoy aja tinggal bareng ortuku.
    Alasan aku tinggal dengen ortu sama banget yang seperti mba tulis, kebetulan bapak sakit diabetes dan harus dikontrol ketat makanannya, selain itu, ortuku hanya punya 2 anak (aku dan adik). Kami berdua tidak pernah menetap bersama dari SD sampai kuliah, paling pas liburan aja… itupun hanya seminggu/dua minggu, Jadi mungkin, ortuku juga kangen dengan kebersamaan kita….

  9. Kalo orang lain yg tinggal dgn mertua, aku ga mau pusing ngomongin karena segala sesuatu pasti ada alasannya tersendiri yg mana bukan urusanku.
    Aku dulu pernah tinggal dgn mertua slama 6 atau 7 bulan sampe kita ketemu rumah yang ideal.
    Aku amat sangat bersyukur atas tumpangannya tapi lebih baik tinggal terpisah krn aku butuh privasi, butuh space. Mau selonjoran tinggal angkat kaki, mau bebas beha tinggal lepas hahaha.
    Yg paling penting, mau “MENGEKSPRESIKAN” opini kepada pasangan ya tinggal membacot. Ga pake sungkan ada org lain hehehe

Leave a reply to Tjetje [binibule.com] Cancel reply