Jual Beli Makanan di Luar Negeri

Bulan Desember kemarin, Instagram saya meriah dengan instastory dan juga foto-foto risoles. Euphoria karena baru bisa bikin risoles dan risolesnya, kebetulan enak serta creamy. Rupanya peminat risoles ini banyak, bahkan ada yang mau pesan untuk sebuah acara ulang tahun. Mimpi apa anak yang tak bisa masak ini tiba-tiba dapat orderan? Tapi orderan berbayar itu saya tolak dan risoles pun saya berikan gratis sebagai hadiah ulang tahun. Saya, menolak menjual makanan karena banyak alasan.

Di Indonesia, jual makanan itu prosesnya gampang sekali dan tak memerlukan “banyak modal”. Cukup dengan bahan-bahan makanan dan meja, makanan pun bisa digelar di luar rumah. Peminatnya juga ada saja. Soal kualitas makanan, para pembelilah yang akan menilai. Jika enak, makanan tersebut akan bertahan, jika tak enak, pasti akan gulung tikar.

Para pelaku usaha makanan di Indonesia juga banyak, apalagi menjelang hari Raya. Semua orang mendadak berwirausaha dengan resep andalan keluarga. Dapur-dapur rumah pun berubah menjadi unit usaha kue kering dan juga makanan lain.

Pada usaha-usaha kecil dan rumahan ini, saya lihat tak ada mekanisme kontrol untuk melihat berapa kilo micin yang dimasukkan ke dalam makanan, apalagi mengontrol jenis daging yang dimasukkan. Bahkan bahan-bahan yang tak seharusnya menjadi makanan pun bisa dimasukkan, termasuk pewarna pakaian. Bicara micin, di dekat kantor saya di kawasan jalan Galuh Kebayoran Baru, ada tukang soto yang cukup terkenal. Suatu pagi saya mendapati bapak tukang soto dengan santainya memasukkan bungkusan besar micin ke dalam panci soto. Tak cukup satu bungkus besar, setiap meracik, satu sendok micin akan dituangkan ke dalam mangkok. Itu baru micin, soal kebersihan adalah isu lain yang tak terkontrol. Bila kemudian ada yang sakit perut, tak ada mekanisme pelaporan dan siapa yang peduli?

Di Irlandia, jual makanan itu bisnis yang tak mudah. Ada banyak aturan mengenai proses penanganan hingga penyimpanan makanan. Makanan di sini tak boleh dipajang hingga seharian seperti di Indonesia, apalagi dihinggapi lalat. Mereka yang berjualan pun wajib punya ijin, area masak yang memenuhi standar kesehatan dan tentunya wajib bayar pajak. Tak heran kalau kemudian harga jual makanan di luar negeri itu relatif “mahal”. Bahan-bahannya mungkin lebih murah karena bisa beli dalam jumlah besar dan tak bayar PPN, tapi ongkos tenaga kerja, asuransi dan lain-lain membuat harga menjadi tinggi.

Ketika mengalami reaksi tak biasa setelah maka, konsumen pun tinggal menelpon dan membuat laporan, seperti yang dilakukan seorang teman saya. Konon mereka yang banyak dilaporkan akan diinspeksi dan bisa kehilangan lisensi untuk berjualan sehingga usaha makanannya ditutup. Tiap tahun selalu ada beberapa restauran yang ditutup karena hal seperti ini dan nama serta alamat mereka akan diumumkan kepada publik.

Orang-orang Indonesia di berbagai belahan dunia membawa budaya berjualan makanan ini ke tempat mereka tinggal. Coba tanya deh sama yang tinggal di luar negeri, pasti ada yang bisa bikin bakso, nasi Padang, lapis legit, hingga aneka panganan lain. Budaya jualan secara informal tak hanya terbatas di satu negara, kadang bisa lintas negara juga. Makanan tinggal dibungkus vacuum lalu dikirimkan melalui pos. Para penjual makanan ini kemudian menjadi penyelamat bagi orang-orang yang tak pandai masak seperti saya.

Mereka tak hanya menjadi sumber penyelamat tapi juga menjadi sumber kritik; kritik utama biasanya soal harga yang terlalu mahal, apalagi jika bahannya-bahannya terbilang murah. Argumen terkuat dari pengkritik biasanya karena mereka tak bayar pajak, jadi tak seharusnya menjual dengan harga “mahal”. Biasanya, para pengkritik ini hanya ingat menghitung biaya bahan-bahan dan seringkali lupa menghitung ongkos tenaga kerja. Ongkos tenaga kerja di negara-negara Eropa, apalagi Eropa Barat tidaklah murah, apalagi jika waktu yang dihabiskan untuk menyiapkan sebuah makanan cukup banyak. Kebiasaan mengkritik dengan pedas ini juga mungkin karena kita terbiasa dengan harga tenaga kerja yang kelewatan murahnya di Indonesia.

Selain mengkritik harga, rasa makanan yang tak sesuai di lidah membuat konsumen suka mengeluh. Kurang pedes, kurang asin, gak berani bumbu, kurang ini dan kurang itu. Mungkin juga kurang micin.

Selain karena alasan-alasan di atas, ketidakadaan ijin juga membuat orang kepanasan. Makin panas ketika terjadi keracunan makanan dan pembeli tak bisa membuat laporan. Eh bisa juga sih mereka menuntut, tapi urusannya akan panjang karena ijin usaha yang tak ada. Nah kalau sudah gini pun aparat dan tukang pajak akan ikut terlibat.

Kegiatan berdagang makanan ini tak hanya menjadi kebiasaan orang Indonesia, tapi saya perhatikan banyak dilakukan oleh orang-orang Asia. Melalui seorang rekan kerja, saya pernah membeli satu kilo bakso hasil buatan orang Thailand yang rasanya super enak. Orang-orang Filipina juga suka ada yang menjual lunchbox.

Bagi banyak orang, apalagi yang hobi memasak, berjualan makanan mungkin menjadi suatu kepuasan tersendiri. Menyiapkan banyak makanan, mengolahnya menjadi lezat dan kemudian memperoleh sedikit keuntungan. Bagi saya, mereka yang berjualan makanan ini menjadi penyelamat ketika saya merindukan makanan nusantara dan tak tahu, atau bahkan malas, memasak. Kalau kemudian ada kontroversi dengan pembeli yang lain, saya tak urusan. Yang penting makanan saya sesuai pesanan, tanpa sambal.

Untuk menjadi penjual sendiri saya enggan, karena saya enggan jual makanan tanpa ijin, apalagi kalau sampai bikin orang sakit perut dan sakit hati. Soal yang terakhir ini bahaya, karena sakit hati bisa dibawa ke media sosial dan petugas negara. Modyar. Bicara soal ijin, di sini makanan harus ketahuan asalnya dari mana dan isinya apa saja, apalagi kalau berkaitan dengan alergi, seperti kacang-kacangan, susu, dan panjang lagi. Lupa nyantumin orang bisa sampai meninggal. Ngeri deh urusan sama petugas negara.

Jadi, kalian beli makanan apa hari ini?

Xx,
Tjetje

61 thoughts on “Jual Beli Makanan di Luar Negeri

  1. Di Belanda buanyaakkk banget katering rumahan, apalagi sekitaran Den Haag. Masakan mereka sudah terkenal se antero Eropa deh kayaknya saking lingkup kirimannya yang memang luas. Nah masalahnya, mereka setahuku ga punya ijin usaha (pernah nanya langsung beberapa dari mereka). “Salut”ku adalah, mereka kok ga takut ya didatangi petugas pajak. Kalo ada yg iri dengki trus ngelaporin gimana. Nama mereka kan sudah terkenal.
    Tahun 2015-2016 aku sering mendapatkan pesanan. Tapi khusus dari kantor suami dan temen2 deket. Awalnya karena suami kan kalo siang pasti bawa bekel hasil masakanku. Nah dari situ kolega2nya jadi pengen juga haha. Akhirnya ada yg kateringan. Trus kalo ada meeting mereka pesen juga. Ya seputaran nasi kuning, urap, sate, rendang dll. Bahkan ada yang konsisten pesen mendol 😅 pernah juga terima pesanan acara ulangtahun pernikahan dan ulangtahun kolega suami. Paling sebel kalo ada yg nyelutuk (orang Indonesia) “buka aja restoran, kan pinter masak” dikata buka restoran segampang buka warung di Indonesia. Lagian pesanan2 itu juga aku kerjain buat menyalurkan suka masak dan untuk kalangan terbatas aja. Sejak 2017 sudah berhenti, waktu itu kondisi ga memungkinkan masak banyak.

  2. Wihh hebat risolnya enak & creamy 😍.
    Iya mrk2 yg Pinter masak mmg jd obat kangen. Kbtulan krn gue tinggalnya jauuuhh dr para penjual jd jarang mesen. Positifnya jadi irit.
    Kalo pun tinggalnya deketan, kynya jg ga akan kalap mesen tiap hr krn ehm gue hny doyan segelintir menu yg prnh gue coba. Yg lain tak sesuai selera.
    (Songong banget, ud ga bs masak sok fussy lagi 😂)
    Justru yg masakannya cuco di perut itu kawan yg bikin, yg ga jualan. Nah g bujuk2 spy d mau dibyr, blgnya no mulu. Sdgkan gue ogah minta dia masak gratis.
    Prnh ada yg mau buka kafe, dia tny apakah gue bersedia bikinin lemon drizzle cake (yg entah gmn bs ngetop di kalangan org2 deket) tiap minggu sampai d diperbolehkan bikin mknan di kafenya. “I’ll pay you” duh dgrnya aja ud tersanjung bangetttt. Tp g dgn berat hati menolak krn merasa blm pantas gitu.
    Nah akhir2 ini eike lg seneng bikin bakso kuah. Nmnya bikin ndiri ya enak2 aja. Tp kt bojo ga enak. Yah bgs lah more for me.
    Ini br bagi temen, entah blm dgr testimoni dia. Mdh2an msh sehat wal afiat.

    • Kayaknya harus nunggu 17an buat nyoba risolesku, itupun kalau mood bikinnya 🤣. Aku kalau sama masakan sendiri mengkritik pedas, termasuk sama bakso buatanku yang masih belum OK. Sampai dibela-belain beli food processor yang OK punya demi bakso 🤦‍♀️

  3. Yaa, kalau cuma asal mengkritik kan gampang ya, hahaha….

    Di Belanda juga kurang lebih mirip-mirip dengan di Irlandia ya. Setahuku sering ada pengecekan begitu (dari segi kebersihan dapur hingga pajak), termasuk juga katering rumahan (apalagi restoran).

  4. Kemarin sekeluarga abis pesen makanan via go food dari resto punyanya komedian terkenal.. d lidah aku sih enak2 aja ya, karena aku selalu berusaha enjoy with every food I eat, jd kurang bgtu bisa mengkritisi.. tp klo kata nyokab dan si mbak kurang bumbu dan pedesnya kelewatan 😅

    Tapi so far yang aku tau restonya si komedian ini emang laris banget sih dibanding usaha restonya artis2 lain

  5. salah satu teman yang lg di Austria juga yang kebetulan bisa memasak jadi berjualan di sana.. hanya memang dia ngerjain sendiri semuanya jadi katanya ngak perlu izin karena cuma mau menyalurkan hobby.. 😀

  6. Di New Zealand juga harus ada ijin. Jadi kalau kayak take aways kecil gitu, mereka selalu pajang di frame, ijin jualannya.. berlaku per tahun.. buat dapetin ijinnya itu berliku banget deh.. aku pernah fotoin ijin yg di frame itu. Well, sejauh yg aku lihat kalau resto2 gede kayaknya ga majang gituan.. tapi yg kulihat ini yah di daerah Blenheim dan sekitarnya ya.. so far sih krn komunitas orang Indonesia di Blenheim gak gede, biasanya cuma acara makan bareng aja, ga ada yg jualan. Ada Indonesian food truck disini, tp yah mereka jualannya resmi.. cuma menunya juga nyampur. Yg punyanya aja org indonesia 😬

      • Ah i see.. kayak venue di Bali, kalau ada wedding gitu, biasanya mereka gak bolehin bawa pulang makanan, apalagi kan kalau di Bali, rata2 pada nginep di hotel ( walaupun bukan di hotel tempat acara ) dan gak ada kulkas atau microwave buat nyimpen dan manasin kan.. Takut basi dan pas dimakan jadi mencri2.. Jadi kalau sampai ada yang keukeh, biasanya kudu tanda tangan surat gitu..

      • Hahaha.. Aku sampe sekarang tuh belum pernah pake GoFood sama sekali.. Nanti pas pulkam deh, bisa nyoba karena pasti waktu rada terbatas kalau mau kesana kesini makan banyak haha

  7. Bener kata mbak Deny, disini harus punya izin. Apalagi kalau katering rumahannya mau ikutan bazaar makanan Indonesia, itu ketat banget deh. Aku punya tante disini, punya usaha katering makanan Indonesia terutama masakan Manado. Walaupun usahanya cuma katering dan made to order, tapi dia harus belajar banyak banget buat lulus dapat sertifikat ini itu.

  8. Masak sendiri hari ini 😀 Saya jarang beli atau pesan dari katering rumahan kecuali kenal bener sama yang masak 😀

    Sepertinya kebanyakan katering rumahan kadang andalan buat tambahan penghasilan bagi imigran atau ya emang hobi masak. Inget ada temen yang kerja kantoran tapi saking doyan bikin lemper dan bacang juga jualan lemper & bacang ke mana-mana. Dia gak pake ijin tapi selalu rajin nanya yang mesen ada alergi apa enggak. Apalagi jaman sekarang, kayaknya semua pada alergi macem-macem gak sih 😀 emang penting banget buat konsumen tahu bahan apa yang dipakai buat masak.

      • iya, soalnya anaknya alergi macem-macem, jadi ngerti. Emang jarang penjual makanan yang kasih informasi alergi kecuali emang ngalamin sendiri. Di Amerika sih kebanyakan restauran ada informasi alergi di menunya. Jaman sekarang kayaknya ada aja yang alergi mulai dari gluten sampai dairy product…

  9. Klo hari ini belum beli makanan ke luar, tapi bikin baso sendiri dan tetep ga mau dijual walau pernah ada yg memelas pingin beli, akhirnya Aku buatin khusus buat dia, gratis dong, dia senang akupun bahagia banget😁 bisa bikin temanku senang

  10. Sama kayak disini Tje, sebenernya harus punya ijin dan ijin nya dapetinnya susah + mahal. Tapi ya tetep banyak ibu2 Indonesia yang jualan. Kemarin waktu aku baru pindah, dateng ke acara natal di rumah sodara. Sampai sana kaget, makanan nya lebih meriah daripada pesta natal keluargaku di Indonesia. Ada nasi kuning, bakso, mie ayam, pempek, somay, ayam goreng, mie goreng, kue basah… lengkap banget kan. Tentunya yang jual tante2 Indonesia, bisnis rumahan gitu hehehehe dan kayaknya sih gak berijin :))))))))))))))

  11. Bubur Ayam Cirebon, getuk, dan gemblong (sarapan yang sungguh beratsss)..hahaha..iya mbak, kalau disini buka resto sungguhan harganya mahal langsung deh dibilang pricey, padahal kan emang nyiapinnya ga asal2an..dari bahan baku, instalasi dapur, bayar sistem, tenaga kerja 😥..hahaha

  12. jualan makanan memang gak ada yg semudah di Indonesia. Tinggal gelaran aja jadi hahahah. sekarang banyak tuh yg jualannya di mobil, bukan food truck ya tapi bener2 mobil biasa kayak Avanza.
    Belakangan setelah gak kerja lebih suka masak sendiri mba, coba2 resep selain lebih irit juga bisa lebih berlimpah kuantitasnya. Kayak balado pete, petenya bisa sepuasnya hahahaha

  13. Betul harus ada kontrol micin di negara ini. Dan kontrol bahan baku panganan supaya nggak dimasukkin boraks, fornalin, lilin, wantex, macem-macem deh. Generasi kita bisa rusak kalo makan begituan

Leave a reply to Tjetje [binibule.com] Cancel reply