Mitos Tinggal di Luar Negeri

Selama lockdown ini, saya banyak mendapatkan tautan-tautan dari Youtube yang berisi video-video tentang kehidupan di luar negeri. Beberapa video yang dikirimkan, memiliki garis besar yang sama: menjual mimpi indah tinggal di luar negeri. Sebuah hal yang lumrah, karena pada dasarnya, kita semua suka bermimpi.

Untuk menyeimbangkan mimpi-mimpi ini, saya ingin membawa kembali ke realitas. Bukan apa-apa, selama seumur jagung di sini, saya melihat banyak orang yang ribut diberbagai media sosial atau ketika kumpul-kumpul untuk mengumbar kekecewaan mereka, ketika mimpi mereka tak seindah realitas.

Generalisasi: pasangan romantis

Bagi mereka yang mendambakan pasangan romantis, ada harapan tinggi ketika mereka diiming-imingi dengan ide bahwa para orang asing (baca: bule) adalah orang-orang yang romantis, seperti film-film Hollywood yang tak hanya suka berkata manis tapi juga tak henti-hentinya memberikan hadiah pada pasangannya.

Faktanya,  pria-pria dari Indonesia ataupun dari berbagai belahan dunia lain, tak bisa disamaratakan. Yang romantis ada, yang tak peduli setengah mati juga banyak. Ada yang rela makan nasi dan telur dadar demi menabung berbulan-bulan untuk hadiah mewah, ada yang suka memberi bunga, ada pula yang tak suka memberi hadiah tapi menunjukkan tindakan yang dianggap romantis. Yang cuek bebek juga banyak.

Image by Free-Photos from Pixabay

Setiap individu dibesarkan dengan cara dan nilai yang berbeda-beda, tak peduli rasnya apa. Keluh kesah tentang keromantisan yang sering saya dengar ini sebenarnya bisa diantisipasi, ketika pacaran. Cari tahu dulu karakter pacarnya seperti apa, apakah cuek bebek atau romantis? Kalau memang tak cocok karena kurang romantis, kenapa gak cari yang lain aja? Thank you, next please! 

Mitos: Orang asing selalu kaya

Nah kalau yang ini sih panjang.

Definisi kaya bagi satu orang ke orang yang lain itu tak pernah sama. Tapi ada pengharapan bahwa mengawini orang asing berarti bermandikan pundi-pundi uang asing, bisa membeli apa saja dengan mudah, bisa mengirim uang ke keluarga di kampung atau bahkan seluruh orang di kampung, membangunkan rumah gedong bagi keluarga, menyekolahkan semua anggota keluarga dan kalau perlu membawa keluarga jalan-jalan keliing dunia dan melihat rumah Tuhan.

Tunggu dulu, mari kita kembali ke realitas. Seperti di banyak tempat, di berbagai belahan dunia ada orang dengan penghasilan minim, cukup, hingga berlebih. Dalam kelas sosiologi ini dibagi menjadi lapisan masyarakat kelas bawah, menengah atau atas. Penghasilannya berbeda-beda, daya belinya juga berbeda-beda.

Keinginan untuk memiliki pasangan yang kaya-raya itu wajar, tapi kalau memang tujuannya cari yang kaya raya, seleksinya mbok ya yang bener. Ketika masih berpacaran, riset dengan baik dan benar, cari tahu berapa penghasilannya, berapa biaya hidup di negeri tersebut, berapa pajak yang dibayarkan. Jadi ketahuan berapa sisa uang yang bisa dihambur-hamburkan. Ketika tahu pasangan bergaji mata uang asing juga jangan dirupiahkan dulu, karena PASTI terlihat wow. Padahal realitasnya, beras dan tempe di luar Indonesia tak dijual dengan harga rupiah, harganya berkali lipat dari di tanah air.

Jangan sampai cita-cita pengen jadi istri orang kaya pupus  karena ketidakbisaan untuk menyeleksi. Sampai di negeri asing kaget karena hanya diberi uang saku yang minim dari pasangan, sehingga tak cukup untuk membeli tas untuk dipamerkan di media sosial. Kalau sudah tahu pasangannya memang tak berpenghasilan banyak juga gak usah ngomel kemana-mana (I’ve heard this too many times), mengatakan pasangannya pelit, kejam dan parahnya tak bertanggung jawab. Woi….yang kejam siapa? penghasilan hanya cukup untuk memberi uang jajan 100 Euro per bulan, ya mana bisa beli berlian tiap bulan. Perlu dicatat di sini banyak orang-orang yang sederhana ya, yang bahagia selama semua kebutuhan tercukupi dan tak bermimpi muluk-muluk.

Mitos: Dapat duit gratis di luar negeri

Image by Pijon from Pixabay

Salah satu hal yang seringkali diumbar dan membuat orang menjadi sangat terpana, hingga memunculkan asumsi bahwa mereka yang tinggal di luar negeri itu selalu enak adalah soal mata uang asing yang jika dirupiahkan terlihat wow. Lembaran uang-uang ini kemudian dipamerkan lengkap dengan kalkulator untuk menghitung berapa banyak pundi-pundi tersebut, termasuk ketika dana tersebut didapatkan dari pemerintah yang dijual sebagai “dana gratis dari pemerintah gaes“.

Faktanya, tidak ada yang cuma-cuma, baik di luar (maupun di Indonesia). Ada berbagai tunjangan yang diberikan bagi mereka yang tidak mampu ataupun berpenghasilan rendah. Tunjangan ini bersumber dari para pembayar pajak yang setiap harinya harus bekerja dan berkontribusi hingga 50% penghasilan mereka setiap bulan (beda negara beda tarif pajak ya). Dana pajak tersebut digunakan untuk memberi tunjangan mereka yang mencari kerja, memiliki disabilitas, hingga untuk biaya sewa rumah bagi mereka yang berpenghasilan rendah.

Makanya kalau kemudian ada yang pamer karena dapat uang beberapa ratus Euro, para pembayar pajak biasanya cuma nyengir sinis. Uang-uang tersebut dari keringat para pembayar pajak untuk mereka yang memang dianggap kurang mampu. Kita kerja keras tiap hari, mereka pamer-pamer karena menadah duit bantuan. Selain untuk mereka yang kurang mampu, ada tunjangan yang diberikan untuk mereka yang punya anak, fungsinya untuk memastikan anak-anak kebutuhannya tercukupi. Tunjangan ini untuk semua orang tanpa memandang berapa penghasilannya.

Jadi kesimpuannya, tak ada duit gratisan di luar negeri, kalau ada yang pamer dapat dana dari pemerintah, tanya kenapa mereka dapat bantuan langsung tunai, kurang mampu sehingga harus dibantu pembayar pajakkah atau itu uang yang seharunya untuk memenuhi gizi anaknya? 

Penutup

Bagi mereka yang bermimpi untuk mendapatkan pasangan asing (for whatever reason), penting untuk melihat dua sisi, ada yang indah dan tentunya ada tantangan-tantangan tertentu. Samalah seperti di Indonesia, tapi tentunya tantangan di luar jauh berbeda, ada cuaca, homesick, beda budaya hingga beda cuaca. Yang jelas, semua yang diumbar di media sosial itu tak selalu adem ayem dan indah. Jadi jangan lupa untuk menjadi realistis.

Mimpi-mimpi hidup seperti di tivi yang tak tercapai ketika mengikat janji itu tak perlu ditambah dengan kecemburuan sosial. Makan hati dan lelah jiwa nanti kalau terus-menerus tak terima ketika melihat rumput tetangga lebih hijau. Padahal siapa yang tahu kalau rumput-rumput tersebut adalah rumput plastik. Terlihat hijau dan indah, tapi KW.

Selamat berakhir pekan dan selamat liburan!

xoxo,
Ailtje

15 thoughts on “Mitos Tinggal di Luar Negeri

  1. Tulisan yang bagus, mbak.

    Lama-lama YouTuber2 itu memang memakai formula sinetron Indonesia ..menjual mimpi karena itu yang laku.. Bagi mereka yang paham realitanya bagaimana, mungkin hanya bisa geleng2.

    Cerita2 sarat unsur romantika keseharian dg pasangan asing juga banyak undang traffic dan private messages…

    Lama-lama berasa program TV lokal pindah ke YouTube…😁😅

  2. Ada yang pamer bantuan dari pemerintah gitu? Astaga. Minta dikeplak sepatu kepalanya, sementara gw bayar pajak diatas 50% termasuk untuk membantu yang “tidak mampu”, yang dapet bantuan malah pamer duit “gratis”.

  3. Wuow… gw setuju sekali, despite of “agenda” menikah dengan orang asing , itu adalah hak tiap individu, jujur gw masih sering risih klo ada teman yang bilang : “ ahh elu mah enak, nikah ma bule, duit nya banyak” padahal nih di sini kami struggle juga, mau di jelas in seperti apa pun temen gw tetep keukeuh kalo nikah sama bule pasti “kaya” . Dan tulisan anda kak, mewakili perasaan gw… thanks a lot… GBU

  4. Pokok pikiran Mbak Tjetje ini juga mungkin mengapa judul-judul video berbau bule tinggi viewsnya. Semisal bule makan indomie, anak-anak bule bermain di halaman, bule belajar bikin rujak and so on and so on hehehe

    • Ah kalau yang jualan anak bule, keluarga bule, suami bule mah aku tutup mata. Masyarakat bisa menilai sendiri konten yang berfaedah dan tidak.

      Yang bikin aku garuk-garuk kepala tentunya yang glorifikasi kehidupan di luar negeri, seakan-akan semuanya indah semua. Atau yang informasinya gak pakai riset dulu, jadinya misinformation kemana-mana. Semuanya demi klik.

  5. Kenapa yang pada marah2 suami pelit ga kasih uang cukup buat beli LV, Gucci, dll ga cari kerja aja biar bisa beli sendiri tas2 mewahnya? Apa karena keterbatasan pendidikan atau bahasa?

Leave a reply to zilko Cancel reply