Beberapa hari ini pengguna internet di Indonesia ramai dengan diskusi mengenai hilangnya salah satu maskapai. Beberapa pengguna media sosial juga marah, marah dengan etika jurnalisme yang tak berkemanusian, dengan model bisnis jurnalisme yang menjual kesedihan orang lain, hingga pada perilaku pengguna media sosial yang bikin emosi jiwa.
Emosi ini tumpah ruah ke media sosial, beberapa dengan terbuka pasang status, sementara beberapa yang lain hanya berkomentar melalui DM. Yang marah-marah bahkan tak enggan akan memblok teman-teman di media sosial yang dianggap kurang beradab. Saya termasuk salah satu orang yang tak segan menegur.
Tangkapan Layar (Screenshot)
Hayo siapa yang ngambil screenshot sosial media dari para penumpang (termasuk penumpang di bawah umur) lalu menyebarkan kemana-mana? Modusnya nyebarin macam-macam, dari berdoalah, quote status terakhir, postingan terakhir, foto-foto prewed dari penumpang, sampai nyambung-nyambungin postingan sama firasat.
Bahkan ada yang mengatasnamakan sahabat lalu mengumbar foto-foto mereka. Halah, ngaku sahabat tapi kok kok kelakuan begitu. Ngambilnya pun gak pakai permisi-permisi, alasannya ditemukan di internet. tujuannya tak jelas pula? Mengutarakan duka bukan alasan yang tepat, karena tak perlu mengumbar cerita duka mereka.
Jejak online para penumpang ini tadinya hanya terbatas di media sosial mereka, bahkan ada yang hanya bisa dilihat 24 jam. Keluarga mereka pun, jika menghendaki, masih bisa menghapus jejam digital mereka di internet. Sekarang, kalau keluarganya mau cek, jejak ini ada dimana-mana. Proses berduka bagi mereka pun tak akan mudah, dan kalian membuatnya semakin sulit dengan tak menghormati privacy mereka.
Mulut pedas, karetnya lima
Mengalami musibah itu bukan kutukan, bukan berarti tak dilindungi oleh Tuhan juga. Di saat seperti ini ada baiknya mulut dijaga dan mikir seribu kali kalau mau nulis status.
Mengatakan “Masih dilindungi Tuhan”, lha emang Tuhan eklusif punya yang hidup doang? Yang mengalami kecelakan terus tak dilindungi Tuhan?
Tak cuma soal komentar-komentar yang kadang diceploskan tanpa dipikir, tapi juga soal guyonan. Guyonan tak mengenakkan tersebar dimana-mana, apalagi di Twitter. Parahnya, ketika sang penulis mengaku bersalah dan meminta maaf, netijen malah jadi ahli bully. Screenshot status dipasang bersama dengan foto supaya penulis status tak bisa dapat kerjaan di masa depan karena satu tweet.
Kalau Twitter bisa memaafkan Donald Trump berkali-kali sebelum menutup akun Donald, kenapa netijen gak bisa lebih baik lagi. Gak usah bullying orang dan ikut-ikut cancel culture lah. Setiap orang kan belajar dari kesalahan.
Media murahan
Kultur media kita itu kultur clickbaity. Judulnya sensasional, beritanya ngambil dari media sosial, atau bahkan ketika keluarga korban sedang menunggu berita. Media tak memberikan ruangan berduka kepada keluarga, bagi mereka ini semua adalah sumber berita dan tentunya sumber pundi-pundi, walaupun bagi banyak orang berita itu tak layak dan tak beretika.
Salah satu argumen yang diberikan soal pemasukan dari media. Masyarakat tak mau membayar media berkualitas, sementara media harus bertahan hidup. Dalam situasi seperti ini, etika dan penghormatan kepada keluarga korban tak lagi menjadi prioritas. Balik lagi, mereka tak dilihat sebagai manusia yang kehilangan anggota keluarganya, tapi sebagai sumber pundi-pundi yang duka nestapanya harus diumbar kemana-mana.
Salah? jelas tak beretika dan mengesalkan. Sayangnya, berita-berita seperti ini masih juga diminati. Hukum supply dan demand pun jadi berlaku. Selama ada yang baca dan selama hal-hal seperti ini tak diregulasi, pemimpin redaksi mengijinkan, media tersebut tak diboikot, ya akan jalan terus.
Peran Kita
Masih banyak perilaku-perilaku lain yang saya tak bisa tuliskan di sini. Dari mulai selfie di tempat kejadian hingga mengambil video atau foto dengan tubuh korban (ini yang paling sering, apalagi ketika kecelakaan). Demi eksistensi di media sosial, semua dilakukan dengan menjual duka nestapa orang lain. Dan ini tak hanya dilakukan di Indonesia, ada di mana-mana, bahkan di negara yang orang-orangnya dianggap maju seperti di Irlandia (ya kalau di sini bisa dibawa ke pengadilan).
Tiap individu bisa memilih peran yang kita ambil. Ini semua pilihan. Apakah kita mau jadi tukang umbar yang sangat nista, ataukah kita mau jadi orang yang lebih menghormati ruang pribadi orang lain untuk berduka. Semuanya kembali kepada individu masing-masing.
Tapi bagi saya prinsip, kalau ada teman yang seperti ini harus ditegur, diberitahu, karena kita semua belajar menjadi orang yang lebih baik. Kalau kemudian yang ditegur malah unfollow, ngeblok, nge-restrict, atau jadi defensif dengan banyak alasan ya diterima aja, itu resiko. Syukur-syukur kalau diunfriend. Good riddance.
Kalian, paling gak suka kelakukan macam apa kalau lagi ada berita bencana atau duka?
xx,
Ailtje
Yang paling nyebelin itu kalau kita dipaksa2 berbagi cerita tentang gimana caranya kita tegar menghadapi kesulitan. Padahal kalau ditanya apakah kita benar-benar tegar, yaa sebenarnya
kita gak setegar yang mereka lihat. Malah yang aku tau, secara naluriah manusia itu akan malu kalau penderitaannya diketahui orang lain, terlebih jika diketahui society kita yg mostly suka victim blaming 😦
Ah iya, padahal belum tentu kita ini tegar, pasti ada saat-saat paling rendah.
Setuju banget dengan ini. Saya rasa orang Indonesia masih banyak yang kurang bijaksana dalam menggunakan sosial media. Dari yang sebar hoax tanpa cek fakta sampai yang posting/komen tanpa etika. Saya biasanya tidak menegur tapi langsung pakai fitur blok/lapor.
Iya masih banyak yang harus dipelajari biar bisa menjadi pengguna internet yang lebih cerdas.
Susah mba mayoritas media sekarang…yg penting cuan. Sekarang sudah terang2an banget eksploitasinya. Akhirnya ada masyarakat yg latah meniru.
Nggak pernah ngeklik cabang2 berita dan segala clickbait. Paling baca update dr medsos resmi tim SAR nya..
Bagusnya sudah ada awareness dr masy yg peduli.
Iya semoga pelan-pelan kita semakin sadar dan gak perlu baca-baca media2 tersebut ya.
aku pernah ngeliat sendiri ketika menjadi volunter bencana gempa palu, beberapa volunteer ada yang foto dengan berbagai gaya di tempat kejadian gempa untuk diposting di facebook. Sampai akhirnya aku tegur juga saking keselnya >.< .
Paling ga suka kalau ada berita bencana/ duka lalu bertanya kepada yang berduka "bagaimana perasaannya?". Rasanya tidak perlu ditanyakan lagi ya bagaimana perasaan keluarga yang kehilangan.
Iya, perasaannya udah pasti sedih dan kaget lah.
Paling sebel kalo ada bencana lalu komennya nyalahin pihak lain dan ngga fokus di solusi!
Nah kalau alam yang marah, mau nyalahin siapa?
Yang mengalami kecelakaan trus ga dilindungi Tuhan?
Jleb banget.
Jadi ingat kejadian yg menimpa kami kemudian dikaitkan dgn hal hal lain, sewaktu ayah ibu pergi haji (30 thn yg lalu) rumah kami dimasukin maling. Eh ternyata kami diomongin sebagian tetangga, ada yg bilang krn ga syukuran dulu pas pergi haji, jaman dulu normal nya masyarakat di tempat tinggal kami klo mo naik haji ngadain syukuran dulu ngundang tetangga dan kerabat, orang tua kami ga suka rame rame, minta ijin saja pada pak RT, jadi orang sekampung ga tau. Eh pas kejadian kemalingan keluarlah beberapa omongan miring, sedih!
Ya ampun, jahat banget sih. Gak ada kewajiban juga lah untuk slametan sebelum naik haji.
Inilah mindset mayoritas orang Indonesia klu mau berangkat haji (melaksanakan rukun Islam ke 5) mesti slametan ngundang2 tetangga , saudara, teman, sahabat dll… padahal tdk ada tuntunan Islam hrs seperti itu….. Ada orang yg mau naik haji diumumkan sebelumnya saat pertemuan keluarga besar… Eh gk tahunya gak berangkat jg krn kebijakan prioritas usia jemaah… lalu thn selanjutnya 2020 krn pandemi gk bs berangkat lagi…. gk tahu kpn lagi… Wallahualam… Intinya kepastian hanya milikNYA. dan namanya ibadah (urusan manusia dgn NYA) gk perlu digembar gemborkan ini menurut pendapat sy pribadi ……
Yang gak menyenangkan memang pressure dari mana-mana untuk undang-undang. Jadinya ongkos beribadah ada plus-plusnya, plus slametan dan juga plus oleh-oleh.
terima kasih penjelasannya sangat membantu