Perisakan di Dunia Maya (Cyberbullying)

Pernah tahu kampanye anti perisakan UNICEF di tahun 2015 yang memenangkan penghargaan? Judul kampanyenya “One Shot is Enough”, dan seperti biasa, kampanye-kampanye UNICEF memang selalu menampar dan menarik. ini foto-foto kampanye tersebut:

One Shot unicef 1 One shot 2 one shot 3

Kampanye UNICEF ini menggambarkan betapa seriusnya kondisi perisakan di dunia maya (cyberbullying), dan dunia maya tak terbatas pada internet dan media sosial saja tetapi juga melalui gawai. Perisakan ini juga tak mengancam anak-anak saja, tetapi juga orang dewasa, tapi kali ini saya akan lebih fokus pada anak-anak, karena mereka lebih rentan dan karena data yang saya dapat memang berfokus pada anak-anak.

Data yang saya peroleh (data Unicef dan sebuahkementerian) menunjukkan bahwa 6 dari 10 anak-anak tak paham apa itu perisakan di dunia maya dan setidaknya 1 dari 10 anak mengalami perisakan di dunia maya. 1 dari 10 yang pernah dirisak, mengalami perisakan di sosial media. Ini data diambil di Indonesia tahun 2012 ya, empat tahun yang lalu. Angka ini, kalau saya perkirakan sih gak turun, tapi meningkat seiring dengan bertambahnya sosial media dan tentunya, seiring dengan makin mudahnya akses terhadap gawai.

Terdapat banyak tipe perisakan di dunia maya beberapa di antaranya saya sarikan di bawah ini:

  • Eklusi (Exclusion) : kesengajaan untuk tidak mengikutsertakan individu-individu baik di dalam grup-grup di sosial media maupun di kelompok-kelompok chatting. Eklusi ini mengirimkan pesan kuat (tanpa perlu diutarakan) bahwa korban tak diterima sebagai bagian dari sebuah grup. Bagi anak-anak dan remaja, eklusi ini sangat menekan, apalagi anak-anak muda merasa perlunya pengakuan dari teman-teman mereka. Kok anak remaja, orang dewasa aja suka kebakaran jenggot kalau ada obrolan di grup-grup yang eklusif yang mereka tak diajak.
  • Outing: Saya tahu apa bahasa Indonesia yang tepat untuk menggambarkan outing, yang jelas outing disini tidak berarti jalan-jalan dalam grup besar ke luar kantor atau ke luar sekolah ya. Outing disini merupakan tindakan mempermalukan dengan menyebarkan komunikasi antara pelaku dengan komunikasi antara korban yang tujuannya untuk mempermalukan. Yang parah, beberapa outing juga melibatkan foto-foto ataupun video yang bersifat sangat pribadi.
  • Harassment: Nah ini apalagi terjemahannya?Entahlah, tapi  harassment saya artikan sebagai  pengusikan secara terus-menerus dengan cara mengirimkan pesan-pesan yang tidak menyenangkan dan yang bersifat melecehkan.
  • Cyberstalking:  Masih berkaitan dengan harassment, cyberstalking ini membuntuti secara daring. Kemanapun perginya sang korban akan dipantau terus-menerus oleh sang pelaku untuk entah dicari kesalahannya, dicuri data-datanya (foto-foto) dan juga diusik.
  • Impersonation: Nah ini persis kayak yang dialami sepupu saya di sini.  Kalau sepupu saya diambil foto-fotonya untuk disalahgunakan dengan memukau perempuan-perempuan serta mengambil uang mereka, impersonation disini bertujuan untuk memalukan  dan merusak image sang korban. Jadi tak heran kalau sang pelaku yang berkedok sebagai korban kemudian banyak melakukan hal-hal diluar kebiasaan seperti menawari foto seksi atau mengajak melakukan hubungan seksual.
  • Merusak image: Tak hanya dilakukan dengan cara impersonation, merusak image juga dapat dilakukan dengan menyebarkan gosip tak benar. Ini gak cuma anak-anak ya, tapi orang dewasa juga rajin melakukan ini.
  • Trickery: Semacam phising. Memancing sang korban untuk memberikan tak hanya kata sandi, tetapi juga informasi-informasi lain yang bersifat pribadi. Dalam hubungan percintaan remaja pun hal ini banyak terjadi dengan mengatasnamakan cinta. Oh halo…kalau kamu cinta, gak usah minta kata sandi segala lah.
  • Flaming: Teknik memancing argumen di dunia maya, biasanya di forum, dengan menggunakan kata-kata vulgar dan tak sopan. Cari ribut kalau kata kita, tapi cari ributnya terus-terusan. Kalau di kaskus yang kayak gini sih biasanya dilempari batu bata. Tapi masalahnya di media sosial yang lain, tak ada sistem lempar bata.
  • Pemerasan: Nah ini yang tak kalah membahayakan. Mengancam menyebarkan foto atau pribadi yang bersifat pribadi jika sang korban tak memberikan uang ataupun foto/ video seksi. Salah satu kasus yang terkenal adalah kasus Amanda Todd di Canada sana. Foto pribadi Amanda diancam akan disebarluaskan dan ia dipaksa untuk memberikan lebih banyak foto yang bersifat pribadi. Amanda akhirnya bunuh diri. Pelakunya warga negara Belanda dan Turki yang ada di sisi lain, jauh dari Canada.

Resikonya perisakan di dunia maya memang tak hanya stress, serta depresi, tetapi juga bisa menyebabkan kematian seperti kasus Amanda di atas. Pelakunya tak harus orang-orang jauh seperti yang dialami Amanda Todd, tapi bisa juga orang-orang terdekat seperti mantan pacar yang dendam membara. Salah satu kasus yang terkenal adalah kasus Jessica Logan yang kemudian membuat perubahan di dunia hukum. Tapi ya tetep, sang korban tak bisa dibawa kembali, karena terlanjur bunuh diri.

Salah satu hal penting untuk mencegah perisakan di dunia maya adalah dengan mengedukasi diri sendiri ataupun anak-anak di lingkungan kita. Seperti saya tulis di atas, anak-anak jauh lebih rentan dalam menghadapi resiko perisakan. Batasi juga akses terhadap gawai bagi anak-anak termasuk media sosial. Jika mereka belum cukup usia, mendingan gak memaksakan diri membuat profil di media sosial deh, daripada terpapar dengan segala macam “kekerasan dunia maya.”

Selain hal-hal di atas, jangan pernah memberikan informasi yang bersifat pribadi. Apalagi jika berhubungan dengan foto-foto yang bersifat privat. Pesan penting ini tak hanya untuk anak-anak saja tapi juga para mbak-mbak di luar sana, terutama para bule hunter, yang pengen punya pacar atau suami bule. Sepengen-pengennya, jangan pernah kasih foto seksi.Pengguna media sosial sendiri sangat saya sarankan untuk mengubah pengaturan menjadi lebih privat. Ingat, hal-hal yang sudah keluar di internet sana, tak bisa dengan mudahnya dihapus. Jadi tak ada salahnya parno sedikit.

Bagaimana dengan para bloggers? Jangan salah, blogger juga berisiko dirisak oleh pembacanya atau sesama blogger lainnya. Komentar-komentar pedas (apalagi kalau pedasnya campur-campur bodoh) sih tak pernah saya anggap sebagai sebuah bentuk perisakan, kecuali jika dilakukan secara rutin dan sudah merambah media sosial lainnya. Kalau masih kelas-kelas teri aja paling tak saya tanggapi dan saya tandai ke dalam spam. Huh! Yang mulai perlu diberi perhatian jika komentar tersebut sudah mengarah pada ancaman kekerasan atau bahkan ancaman pembunuhan.

Punya tips lain untuk mencegah cyberbullying?

xx,
Tjetje
Masih memendam hasrat kerja di UNICEF

Baca juga: Hati-hati Mencari Bule Online yang mengulas tentang scammer cinta. 

Perisakan di Sekolah