[Hari Disabilitas Internasional] Tentang Kusta

Hari ini adalah hari disabilitas internasional. Jika tahun yang lalu saya membahas sekilas tentang disabilitas, terminologi dan juga diskriminasi, tahun ini saya ingin sekilas membahas tentang kusta, lepra atau ada juga yang menyebutnya dengan penyakit (Morbus) Hansen. Penyakit yang mungkin sudah lama tak terdengar tapi pada kenyataannya masih banyak penderitanya. Bahkan, Indonesia menempati posisi ketiga sebagai negara dengan jumlah penderita kusta baru di dunia.

Penyakit yang disebabkan oleh bakteria ini, jika tak ditangani dapat menyebabkan disabilitas. Oleh karenanya saya tak menunggu hingga hari kusta internasional di akhir bulan Januari untuk berbagi infomasi tentang kusta. Di Indonesia, kebanyakan penderita lepra berada di bagian timur. Tetapi, kantong terbesar penderita lepra justru berada di Jawa Timur (salah satu yang terbesar di Madura) dengan persentase lebih dari 20%. Selain Jawa Timur, provinsi lain di bagian barat yang jumlah penderitanya cukup tinggi adalah Aceh.

Logos_day_0

Seperti saya sebut di atas, penyakit ini disebabkan oleh bakteri yang bernama microbacterium leprae. Tapi di banyak tempat, masyarakat masih mempercayai bahwa kusta disebabkan oleh kutukan, baik itu kutukan orang tua maupun kutukan Tuhan yang marah atas dosa-dosa sang penderitanya. Tak cukup dengan kutukan, banyak masyarakat yang mempercayai bahwa lepra dibawa oleh makluk-makluk halus.

Gejala awal kusta dimulai dari bercak yang menyerang kulit dan juga syaraf. Proses pertumbuhan bakter ini berlangsung dengan lama, bahkan hingga memerlukan waktu bertahun-tahun. Tentu saja hal ini tak sesuai dengan mitos yang berkembang di masyarakat, bahwa penderita kusta bisa kehilangan anggota tubuhnya secara tiba-tiba.

Seperti diduga, dengan rendahnya pengetahuan sebagian masyarakat kita, diskriminiasi terhadap orang yang menderita kusta sangatlah tinggi. Kendati dipercaya sebagai penyakit bawaan jin, masyarakat masih ketakutan tertular penyakit ini. Padahal, penularan kusta tak semudah penularan pilek, apalagi batuk. Diperlukan kontak secara konstan dengan orang yang tidak diobati dan juga diperlukan imunitas tubuh yang rendah untuk tertular kusta.

Penderita kusta yang kebanyakan masyarakat miskin, tak hanya diberi aneka lupa stigma, tapi juga didiskriminasi, termasuk dalam mengakses pekerjaan. Bahkan, tak sedikit yang diusir dari wilayah tinggalnya, atau bahkan dikucilkan oleh keluarganya atau pasangannya. Ketika sudah sembuh pun, orang yang pernah menderita kusta juga masih tetap ditakuti oleh masyarakat.

Nampaknya masih banyak orang yang tak tahu bahwa kusta dapat disembuhkan dengan cara minum obat secara rutin. Beberapa Puskesmas konon juga menyediakan obat kusta secara gratis. Namun dari hasil baca-baca, terhambatnya pengobatan kusta, selain karena akses terhadap kesehatan (di timur Indonesia) juga karena keengganan dan durasi pengobatan. Enggan mencari pengobatan karena malu dan takut dengan stigma masyarakat. Juga karena masa pengobatan yang mencapai enam hingga delapa belas bulan, tergantung tipe kustanya.

Jumlah penyandang kusta perempuan di Afrika lebih tinggi ketimbang pria. Tetapi di berbagai tempat, termasuk Indonesia pria lebih banyak terkena kusta ketimbang perempuan. Entah mengapa. Yang pasti, Indonesia berencana bebas kusta pada tahun 2019. Dari jauh, saya berharap 14 provinsi di tanah air yang belum bebas dari kusta bisa segera bebas dari kusta. Saya juga berharap masyarakat Indonesia bisa lebih baik dan lebih ramah terhadap para penderita kusta serta orang yang pernah menderita kusta.

Saya juga berharap supaya para anggota DPR bisa segera mengesahkan RUU disabilitas (yang sudah kelamaan nongkrong di gedung DPR. Ahem…ahem…). RUU yang tentunya untuk pemenuhan hak, bukan untuk charity, karena penyandang disabilitas bukanlah subyek charity!

Apa harapanmu untuk para penyandang disabilitas?

Xx,

Tjetje

Pernah bekerja untuk advokasi hak-hak disabilitas

Advertisement

Tentang Disabilitas

Adik dari Eyang saya (yang juga saya panggil Eyang) memiliki seorang putra yang menyandang disabilitas. Sedari kecil, Eyang saya tidak pernah menyembunyikan Oom saya. Saat akhir pekan Oom saya bersama Eyang saya itu akan beraktifitas jalan pagi ke rumah kami. Oom saya terekspos dengan aktifitas sehari-hari dan bertemu banyak orang.  Oom saya bukan satu-satunya penyandang disabilitas yang saya tahu sejak kecil, ada Anto, teman antar jemput saya (kami sama-sama satu antar jemput di masa SD dan rumahnya tak jauh dari rumah saya). Anto merupakan penyandang disabilitas intelektual yang sekolahnya, sebuah SLB, terletak nun jauh di sisi lain kota. Setiap kali saya pulang ke Malang dan berpapasan dengan Anto, ia akan bersemangat bertanya tentang kabar saya juga kabar adik saya. Sementara temen saya yang lain lain boro-boro nyapa, bales sms aja ogah. Eh.

Oom saya dan juga Anto tidak disembunyikan, mereka berinteraksi dengan orang lain. Tak heran saya kaget luar biasa ketika salah satu guru les saya menyembunyikan anaknya yang menyandang disabilitas. Si anak hanya boleh berada di bagian belakang rumah saja dan tak boleh terlihat orang lain (tapi satu hari saya tak sengaja melihatnya). Padahal usia guru saya ini tidaklah muda, terus kalau beliau meninggal apa yang akan terjadi? Mestinya kan anak tersebut diajarkan bersosialisasi dengan orang.

Indonesia  boleh berbangga hati karena sudah meratifikasi Konvensi Penyandang Disabilitas di tahun 2011, harus bangga lho karena ternyata Irlandia belum melakukan hal tersebut. Tapi menyembunyikan penyandang disabilitas di negeri ini masih banyak terjadi. Alasannya malu ataupun takut dengan stigma dan label buruk dari orang lain. Parahnya, yang sering menyembunyikan penyandang disabilitas justru orang tua dari si anak.

Masyarakat kita juga punya andil besar mendiskriminasi dan juga mengolok-olok penyandang disabilitas. Makanya, masih banyak PR yang harus dilakukan oleh Indonesia. Negeri ini tak hanya perlu menghentikan stigma dan diskriminasi tapi juga perlu berbenah untuk menyediaakan pendidikan inklusif, pembangunan fasilitas yang akses, penyediaan lapangan pekerjaan, akses kesehatan yang layak. Dan masih banyak lagi PRnya yang terkait disabilitas. Ayo Pak Jokowi!

Sebagai individu, apa yang bisa lakukan? Paling gampang, kalau ada penyandang dengan disabilitas, nggak usah dilihatin dari ujung rambut sampai ujung jempol. Saya rasa, cuma Syahroni yang nyaman dilihatin dari atas dari bawah, manusia lain, termasuk penyandang disabilitas nggak nyaman dilihatin seperti itu. Jangan pula menghina dan mengolok-olok, karena dengan atau tanpa disabilitas, kita ini sama-sama manusia.

Penggunaan kata yang tepat juga penting untuk dilakukan. Penggunaan kata cacat misalnya, walaupun UU di Indonesia masih UU cacat (UU no. 4 tahun 1997), kata cacat tidak tepat lagi. Lebih tepat menggunakan penyandang disabilitas. Jangan pula mengatakan kita normal dan penyandang disabilitas tidak normal, lebih baik mengatakan kita adalah orang tanpa disabilitas. Idiot, tolol, lambat juga sebaiknya diganti dengan penyandang disabilitas intelektual atau orang dengan disabilitas dalam belajar.

Hari ini, 3 Desember diperingati sebagai hari internasional disabilitas. Penting bagi kita untuk tahu tentang disabilitas, karena semua orang bisa menjadi penyandang disabilitas kapan saja. Oleh karena itu penting bagi kita untuk menyuarakan hak-hak penyandang disabilitas. Saya bagi infografik  WHO tentang disabilitas. Sebenarnya versi Indonesianya sudah ada, tapi saya nggak sempat motret *padahal cuma di ujung kubikel*.

Disability

Tahukan kamu kalau dari setiap 100 orang yang dipekerjakan, perusahaan wajib memperkerjakan 1 orang penyandang disabilitas? Ini diatur UU lho. Hayo silahkan hitung jumlah manusia di kantornya masing-masing!

xx,
Tjetje