Adik dari Eyang saya (yang juga saya panggil Eyang) memiliki seorang putra yang menyandang disabilitas. Sedari kecil, Eyang saya tidak pernah menyembunyikan Oom saya. Saat akhir pekan Oom saya bersama Eyang saya itu akan beraktifitas jalan pagi ke rumah kami. Oom saya terekspos dengan aktifitas sehari-hari dan bertemu banyak orang. Oom saya bukan satu-satunya penyandang disabilitas yang saya tahu sejak kecil, ada Anto, teman antar jemput saya (kami sama-sama satu antar jemput di masa SD dan rumahnya tak jauh dari rumah saya). Anto merupakan penyandang disabilitas intelektual yang sekolahnya, sebuah SLB, terletak nun jauh di sisi lain kota. Setiap kali saya pulang ke Malang dan berpapasan dengan Anto, ia akan bersemangat bertanya tentang kabar saya juga kabar adik saya. Sementara temen saya yang lain lain boro-boro nyapa, bales sms aja ogah. Eh.
Oom saya dan juga Anto tidak disembunyikan, mereka berinteraksi dengan orang lain. Tak heran saya kaget luar biasa ketika salah satu guru les saya menyembunyikan anaknya yang menyandang disabilitas. Si anak hanya boleh berada di bagian belakang rumah saja dan tak boleh terlihat orang lain (tapi satu hari saya tak sengaja melihatnya). Padahal usia guru saya ini tidaklah muda, terus kalau beliau meninggal apa yang akan terjadi? Mestinya kan anak tersebut diajarkan bersosialisasi dengan orang.
Indonesia boleh berbangga hati karena sudah meratifikasi Konvensi Penyandang Disabilitas di tahun 2011, harus bangga lho karena ternyata Irlandia belum melakukan hal tersebut. Tapi menyembunyikan penyandang disabilitas di negeri ini masih banyak terjadi. Alasannya malu ataupun takut dengan stigma dan label buruk dari orang lain. Parahnya, yang sering menyembunyikan penyandang disabilitas justru orang tua dari si anak.
Masyarakat kita juga punya andil besar mendiskriminasi dan juga mengolok-olok penyandang disabilitas. Makanya, masih banyak PR yang harus dilakukan oleh Indonesia. Negeri ini tak hanya perlu menghentikan stigma dan diskriminasi tapi juga perlu berbenah untuk menyediaakan pendidikan inklusif, pembangunan fasilitas yang akses, penyediaan lapangan pekerjaan, akses kesehatan yang layak. Dan masih banyak lagi PRnya yang terkait disabilitas. Ayo Pak Jokowi!
Sebagai individu, apa yang bisa lakukan? Paling gampang, kalau ada penyandang dengan disabilitas, nggak usah dilihatin dari ujung rambut sampai ujung jempol. Saya rasa, cuma Syahroni yang nyaman dilihatin dari atas dari bawah, manusia lain, termasuk penyandang disabilitas nggak nyaman dilihatin seperti itu. Jangan pula menghina dan mengolok-olok, karena dengan atau tanpa disabilitas, kita ini sama-sama manusia.
Penggunaan kata yang tepat juga penting untuk dilakukan. Penggunaan kata cacat misalnya, walaupun UU di Indonesia masih UU cacat (UU no. 4 tahun 1997), kata cacat tidak tepat lagi. Lebih tepat menggunakan penyandang disabilitas. Jangan pula mengatakan kita normal dan penyandang disabilitas tidak normal, lebih baik mengatakan kita adalah orang tanpa disabilitas. Idiot, tolol, lambat juga sebaiknya diganti dengan penyandang disabilitas intelektual atau orang dengan disabilitas dalam belajar.
Hari ini, 3 Desember diperingati sebagai hari internasional disabilitas. Penting bagi kita untuk tahu tentang disabilitas, karena semua orang bisa menjadi penyandang disabilitas kapan saja. Oleh karena itu penting bagi kita untuk menyuarakan hak-hak penyandang disabilitas. Saya bagi infografik WHO tentang disabilitas. Sebenarnya versi Indonesianya sudah ada, tapi saya nggak sempat motret *padahal cuma di ujung kubikel*.
Tahukan kamu kalau dari setiap 100 orang yang dipekerjakan, perusahaan wajib memperkerjakan 1 orang penyandang disabilitas? Ini diatur UU lho. Hayo silahkan hitung jumlah manusia di kantornya masing-masing!
xx, Tjetje