Seputar Istri Bule

Perempuan Indonesia yang memiliki pasangan orang asing, dipenuhi dengan banyak stigma-stima aneh. Dari mulai disangka perempuan matre, disangka bekas pekerja seksual hingga dituduh mengawini opa-opa tua supaya bisa mengambil warisan. Yang matre saya yakin ada, yang bekas pekerja seksual juga banyak, yang nikah tak tulus pun juga banyak.  Tapi karena segelintir orang ini kebanyakan perempuan yang punya pasangan orang asing jadi dianggap jelek semua.

img_1405

Tak hanya dianggap jelek, perempuan yang memilik pasangan asing juga sering dianggap berubah dan jadi belagu karena punya pasangan bule. Manusia berubah itu wajar, manusiawi banget, apalagi adanya perubahan lingkungan, perubahan pola pikir dan tentunya perubahan ekonomi. Tapi ada beberapa hal yang nampaknya sering menjadi buah bibir.

Jadi istri bule suka pakai baju terbuka

Sebelum kita bahas lebih lanjut tentang urusan pakaian terbuka ini, mari kita luruskan dulu persepsi tentang baju di Indonesia. Di negeri kita ini ada satu pemikiran yang menganggap mereka yang mengenakan pakaian seksi dan terbuka adalah pendosa dan seringkali dianggap perempuan murahan.

Seringkali mereka yang mengenakan pakaian seksi langsung serta merta dianggap sebagai pekerja seksual dan murahan. Padahal ya kalau mau tahu mereka yang hidup di luar negeri itu pakaiannya lebih banyak tertutup, karena matahari disini jarang muncul. Apalagi yang tinggalnya di Eropa Utara, makin tertutup.  Kalau kemudian ada  istri bule yang jadi suka mengenakan pakaian seksi, terbuka, atau bahkan bikini ketika ada matahari, ya harap dimaklumi karena jarang terkena matahari.

Tapi alasan kekurangan matahari tak bisa digunakan ketika salah kostum apalagi di tempat-tempat dimana pakaian terbuka tak diterima di Indonesia. Ya kalau begini ingatkan saja tentang peribahasa dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Lagipula yang begini kan hanya segelintir saja, gak semuanya.

Jadi istri bule tak bisa bahasa Indonesia lagi

Ada dua tipe yang seperti ini, yang pertama yang bahasa Indonesianya dicampur-campur bahasa Inggris, ada juga yang tak mau berbicara bahasa Indonesia lagi. Yang pertama tak perlu dibahas lebih lanjut, karena otak, apalagi otak saya, suka gak ingat kosakata tertentu. Tertentu lho ya, gak semua. Nah yang kedua ini sudah pernah dibahas oleh Mbak Yoyen disini. Yang ini sih memang ajaib. Di saat orang-orang berlomba menjadi poligot dengan mempelajari banyak bahasa, mereka berusaha melupakan bahasa ibu mereka. Mungkin, mungkin lho ya, menjadi poligot itu bukan hal yang patut dibanggakan.

Kemungkinan kedua yang perlu dipelajari oleh para scientist adalah kapasitas otak yang memang kecil, persis seperti disket di jaman dahulu kala. Ketika muncul bahasa baru, maka data-data di disket harus dihapus karena disketnya emang gak bisa dan gak mau untuk menyimpan semua data menjadi satu. Jadi kalau ketemu yang model begini sih gampang aja, tinggal dikasih bahasa Inggris yang agak sophisticated dengan koleksi kata-kata dari buku-buku persiapan GRE atau GMAT. Beres.

Jadi istri bule kok tak bisa bahasa asing

Nah kalau yang di atas sok-sokan tak mau menggunakan bahasa Indonesia lagi, yang ini tak bisa bahasa asing. Kalapun bisa biasanya kemampuannya sangat minim. Saya sendiri pernah duduk bersebelahan dengan seorang perempuan muda yang tak bisa bicara bahasa Inggris, maupun bahasa Perancis, bahasa asli suaminya. Mereka berkomunikasi dalam bahasa Indonesia karena sang suami berbahasa Indonesia dengan baik. Mbak ini juga gak repot belajar bahasa Perancis sama sekali.

Saya juga pernah bertemu pasangan Indonesia dan Jepang yang berkenalan pada satu akhir pekan lalu memutuskan untuk langsung kawin. Anehnya, mereka tak punya satu bahasa yang bisa digunakan untuk berkomunikasi. Nah bingung kan gimana caranya berkomunikasi, apalagi sampai memutuskan untuk kawin setelah satu akhir pekan?

Lha tapi kalau mereka sebagai pasangan aja tak bingung, mengapa kita yang mesti repot bingung? Bagus kan mereka tak perlu berkelahi urusan sepele dan tentunya bisa memperpanjang usia perkawinan. Perkara mereka mau ngobrol sama mertua, tetangga atau saudara lain-lainnya, ya biar mereka yang bingung.

Jadi istri bule kok sombong?

Ini bisikan yang paling sering saya dengar. Dulunya sederhana setelah jadi istri bule kok jadi sombong, jadi suka pamer. Lha ini mah jawabannya gampang, terjadi perubahan ekonomi yang diikuti dengan perubahan perilaku. Sekali lagi, yang seperti ini harap dimaklumi saja. Mungkin dulu memang gak ada yang bisa dipamerkan. Begitu ada yang dipamerkan dan ada media untuk pamer, ya ikut arus pamer-pamer. Yang begini mah banyak, gak cuma istri bule doang kan?

Ada pula yang bangganya gak ketulungan karena suaminya bule. Aduh terus terang yang kayak gini ini yang bikin sedih, karena mereka menyanjung bule lebih tinggi dari orang Indonesia dan memperkuat segregasi berdasar warna kulit. Kalau ketemu yang kayak gini jangan cuma dijadikan bahan bisik-bisik, langsung tegur aja biar ngeh kalau kita semua sederajat.

Istri bule itu beraneka ragam, seperti juga istri-istri lainnya. Ada yang berpendidikan tinggi, ada yang berpendidikan rendah. Ada yang elegan ada yang norak. Ada yang pintar, ada yang kurang pintar. Ada yang diam dan ada juga yang nyinyir. Namanya manusia memang berbeda-beda 😉

Bisik-bisik apa lagi yang terlewatkan?

Xx,
Tjetje

Advertisement

Lupa Bahasa Ibu

Alkisah si Noni menulis tentang orang bermuka Jawa yang nggak bisa bahasa Jawa sama sekali, layaknya kacang lupa kulitnya. Tulisannya ada di sini. Si Noni juga meletakkan link blognya mbak Yoyen yang membahas orang Indonesia yang lupa bahasa Ibunya sendiri, bisa dibaca di sini . Dua tulisan di atas itu membuat saya terhenyak karena saya orang yang suka lupa kata-kata di dalam bahasa Indonesia dan rajin sekali menyelipkan bahasa Inggris di dalam kalimat. Kalau ada temen lama yang ketemu saya pasti langsung menghakimi bilang “kemenyek”, belagu, mentang-mentang lakinya bule sekarang kalau ngomong pakai bahasa Inggris terus, medok pula.

Di kantor, 99%  waktu saya digunakan untuk berbahasa Inggris dan terkadang membaca beberapa email gak jelas dalam bahasa Perancis. Dengan pasangan jiwa, kami ngobrol dalam bahasa Inggris  Irish, setiap hari. Kalau lagi smsan dengan mama kami kebanyakan berbahasa Indonesia. Biarpun bahasa Ibu saya bahasa Malang, saya sangat jarang ber “koen-koen” ria dengan Emes (di malang, ibu itu Memes).  Ketika bertemu teman gaul, bahasanya gado-gado, terkadang dalam satu kalimat ada bahasa Malang, Inggris dan Perancis (ini bahasa sandi saya kalau lagi membahas berapa harga yang layak). Saya bukan orang sombong yang sok-sokan pamer bisa beraneka rupa bahasa, buat saya kemampuan bahasa itu anugerah dan usaha yang nggak perlu dipamer-pamerkan, tiap orang kemampuannya beda-beda, jadi ya cuek aja dengan kemampuan diri sendiri. Jujur saja, saya mencampur bahasa karena saya sering LUPA kata-kata dalam bahasa Indonesia. Ini bukan lupa yang dibuat-buat karena saya pengen gaya kayak Cincau Lawrah, tapi ini lupa beneran yang menjadi semakin parah ketika usia bertambah. Biarpun pakai bahasa Inggris, logat saya tetep arema ya. Bahasa Inggris arema nggak ada matinya.

indonesia

Mencampur bahasa itu nggak bikin saya congkak, yang ada rasanya sedih, karena tahu ini terjadi karena otak yang terbatas. Saking terbatasnya saya suka colek kolega bule, hanya untuk tanya: “Bahasa Indonesianya ini apa ya?” atau kalau lagi di depan komputer saya tanya mbah google dulu.Keterbatasan ini kadang membuat saya takut, ngenes dan sedih. Masak nanya bahasa negeri sendiri mesti colek bule dulu atau buka google dulu. Saya sampai takut alzheimer karena dalam merangkai kalimat saya suka berhenti mendadak, karena lupa apa bahasa Indonesianya. Kadang malah berhenti total, karena nggak inget lagi ngomong apa. Habis itu tanya balik sama yang diajak ngomong “Aku lagi ngomong apa ya?”Parah….. Padahal saya ini menghabiskan hampir seluruh hidup saya makan nasi dan menjejak di negeri ini. Saking takutnya, saya sampai sampai bersumpah kalau punya anak, anak saya harus ngomong bahasa Malangan sama saya biar nggak lupa kulitnya dan biar saya sendiri nggak ikutan lupa. Niat mulia ini tapi dibarengi dengan fakta dahi yang mengernyit ketika melihat bahasa-bahasa yang digunakan para teman di di social media. Otak memerlukan sekian menit untuk menafsirkan maksud tersembunyi dari dari bahasa walikan tersebut.

Tapi saya tahu, bahasa itu masih tersembunyi di sudut otak saya. Setiap kali pulang ke Malang, saya butuh setidaknya satu sampai dua jam untuk menggali sudut otak dan mengeluarkan seluruh persediaan kata yang diam berjamur di sudut otak. Setelah penyesuaian, maka mulut pun lancar kembali berbahasa Ibu (maaf bahasa Ibu saya bukan bahasa Indonesia, tapi bahasa Malangan). Tapi tetep kalau di Jakarta, ngobrol sama temen, kata yang keluar dari mulut selalu bercampur dengan bahasa Inggris. Entah mengapa, tapi sungguh saya bukan sombong karena bisa bahasa Inggris, ini lebih karena otak saya yang terbatas aja. Bisa juga ini karena koleksi bahasa Indonesia saya yang lebih terbatas ketimbang bahasa Jawa dan Bahasa Inggris. Tapi bener lho banyak sekali kata dalam bahasa Jawa maupun bahasa Inggris yang tidak bisa dicari padanan katanya dalam bahasa Indonesia.

Kesimpulannya: saya, (ataupun mbak Farah Quinn) yang suka mencampur kata-kata Indonesia dengan Inggris ini nggak sombong kok. Kami nggak sok-sokan bahasa Inggris, tapi otak kami terbatas sekali dan ini (mungkin) karena kami terlalu sering berbicara bahasa Inggris. Biarpun mencampur bahasa Indonesia dan Inggris, hati saya masih 100% Indonesia kok. Otak boleh lupa bahasa Ibu sendiri, tapi hati nggak akan pernah bisa bohong, saya ini orang Indonesia Malang yang masih bisa menulis surat formal dalam bahasa Indonesia baku dengan baik dan benar dengan gaya PNS. Ini baru congkak?!

Ada yang suka lupa parah dengan bahasa ibu?

xx,

Tjetje