Motor tabrakan dengan mobil pasti mobil yang disalahkan.
Pejalan kaki ditabrak mobil pasti mobil yang disalahkan.
Begitulah hukum kebiasaan yang berlaku di negeri ini. Menurut saya hukum ini agak aneh, karena banyak faktor yang harus dilihat sebelum memutuskan siapa yang bersalah. Sehari setelah Nyepi, tepatnya tanggal 13 Maret 2013, taksi kesayangan warga Jakarta, si burung biru, menabrak seorang penyeberang jalan di jalur TransJakarta. Sekali lagi di jalur Trans Jakarta. Si penyeberang mengklaim sudah menyeberang dengan baik di zebra cross. Jadi dia tak bersalah & menuntut pertanggungjawaban dari sang pengemudi.
Menurut perempuan Bandung yang menjadi korban tabrakan, dirinya ditabrak di zebra cross di Sudirman. Dan saya yang saat itu terbaring di rumah sakit yang sama dengan mbak itu, berpikir keras, mencari tahu dimana ada zebra cross di jalan protokol Sudirman? Menurutnya, Zebra Cross tersebut terletak di depan FX Mall.
Sepengetahuan saya, di sepanjang Sudirman itu tak ada satupun zebra cross. Untuk keselamatan & kenyamanan penyeberang jalan, disediakan 7 jembatan penyeberangan. Jarak dari jembatan satu ke jembatan lain pun tak terlalu jauh, hanya berkisar sepuluh hingga dua puluh menit jalan kaki saja.
Kalapun ada zebra cross di Sudirman saya yakin zebra cross itu hanya bisa dilihat dengan mata batin. Namanya pun jadi zebra cross imajinatif, jadi tak bisa dilihat dengan mata telanjang. Dukun sehebat Ki Joko Bodo pun saya yakin mata batinnya tak bakal bisa melihat zebra cross ini. Tapi si mbak masih ngotot bahwa dahulu di depan FX terdapat perempatan & jika ditengok di samping CIMB Niaga & Plaza ABDA terdapat zebra cross. Duh…dahulu kok dibawa-bawa mbak, kita mah sudah hidup di masa sekarang dan di masa sekarang tak ada zebra cross.
Singkat cerita si penyeberang jalan berdosa ini tertabrak taksi yang juga sedang bikin dosa karena masuk lajur TransJakarta. Saat itu si taksi melaju kencang dan si Mbak tiba-tiba muncul dari balik kemacetan. Terjadilah tabrakan. Kaca taksi pecah berkeping-keping mengenai punggung penyeberang jalan. Untungnya, tak ada tulang yang patah, tapi tetap sang penyeberang jalan harus dilarikan ke RS dan dirawat beberapa hari. Duh mbak, untung dirimu nggak terlindas bus TransJakarta gandeng yang baru itu.
Biaya kerusakan RS yang mencapai 7 juta itu hendak dibebankan pada pengemudi taksi, karena dianggap ini kesalahannya. Jangan tanya soal maki-makian dan marahan yang ditumpahkan kepada pengemudi yang cuma punya uang 300 ribu saja. Tak hanya terancam kehilangan pekerjaan, si pengemudi yang menuruti permintaan tamunya untuk masuk lanjur TransJakarta, terancam masuk dalam daftar orang sangat miskin, tak hanya harus membayar biaya rumah sakit, dia pasti dipaksa membayar kerusakan taksi. Heran, burung biru ini gak bisa ngasih asuransi all-risk untuk kendaraannya dan tak membebani pengemudinya kah?
Apa yang bisa kita pelajari dari kasus ini?
- Sudah banyak yang meninggal tragis di jalur TransJakarta, jadi kalau masih sayang nyawa, jangan males naik jembatan penyeberangan atau menyeberanglah di zebra cross beneran, bukan zebra cross imajinatif.
- Kalau orang lain melakukan hal bodoh bukan berarti kita boleh melakukan hal yang sama. Ya kecuali kalau sama-sama bodohnya.
- Biarpun terburu-buru, jangan nyuruh pengemudi masuk ke lajur TransJakarta. Jangan buat orang lain kehilangan pekerjaan.
- Sebelum nyalahin orang & maksa orang untuk tanggung jawab, apalagi orang yang tidak mampu, sebaiknya pikir baik-baik, apakah kita punya kontribusi dosa.
Finally, si Pengemudi memang salah mengambil jalur TransJakarta (dan harus dihukum karena ini), tapi penyeberang jalan itu, bagi saya tak kalah berdosa. Nggak cuma kebodohannya bikin dia terluka, tapi dia mungkin telah sukses membuat sebuah keluarga kehilangan livelihood-nya dan seorang pengemudi taksi menjadi stress dan mendadak punya beban hutang. Oh sungguh kejamnya dirimu Mbak, membebankan seluruh kesalahan bersama pada sang pengemudi taksi.
xx,
Tjetje
Pingback: Melihat Mall dari Kacamata Nyinyir | Ailtje Bini Bule