Cerita dari Paris

Di Jakarta saya sering dipanggil Princess, karena kelakuan saya yang seperti Princess. Jarak selemparan batu dari Senopati ke Plaza Senayan untuk makan siang saja saya naik taksi atau Uber, muter-muter dulu lewat Al-Azhar dan menghabiskan setidaknya 30 menit di dalam taksi. Ongkosnya sih tak seberapa, tapi saat makan siang seringkali orang kelaparan dan tak mau menunggu di dalam taksi. Alasan saya beraneka rupa, dari panas, malas berkeringat, penguatan ekonomi bagi pengemudi taksi dan Uber, serta karena Jakarta tak didesain jadi kota pejalan kaki. Tapi sesungguhnya saya bisa dan mau berjalan kaki ketika trotoar tak bikin dengkul capek karena naik turun dan saat hawa tak panas.

Akhir pekan panjang ini (di Irlandia hari Senin kemarin libur) kami melatih kekuatan kaki di Paris, berjalan keliling kota hingga gempor. Dari satu arrondisement ke arrondisement lainnya untuk melihat gedung-gedung indah, menikmati pohon-pohon yang daunnya menguning dan berguguran. Sungguh sebuah kemewahan luar biasa yang sayangnya tak bisa ditutup dengan pijatan mbok-mbok pijit. Anyway, dari keliling-keliling kota ini saya menikmati sekejap denyut Paris, berinteraksi dengan banyak hal dan merekam cerita yang bagi saya menarik.

 

Interaksi Pinggir Sungai

Di pinggir Sungai Seine ini kami disambut dengan Photoquai 2015, pameran foto dari aneka rupa sisi dunia. Dari tranjender di Amerika Latin, budaya selfie di Korea, kehidupan pasangan gay di Vietnam hingga joki kuda anak-anak di Nusa Tenggara. Beruntungya mereka yang tingga di Paris bisa mengakses seni seperti ini secara gratis. Pameran foto tersebut bukanlah satu-satunya acara yang mengundang orang untuk tiba ke ruang publik, ada pameran foto lain serta ada kegiatan ruangan terbuka tak jauh dari sana. Balok-balok kayu dan kontainer dilengkapi tempat duduk yang disiapkan supaya orang bisa duduk untuk menikmati pemandangan, sementara beberapa permainan disiapkan. Dari mulai permainan di atas meja seperti catur hingga mainan monyet-monyetan yang ditarik untuk jatuh *aduh saya lupa namanya*.

Romi Perbawa dengan joki anak-anak NTT

Permainan yang menguras energi seperti pingpong, pukul bola, hingga engklek (atau yang dikenal juga dengan sunda manda, atau la marelle dalam bahasa Perancis). Ruang terbuka untuk parcours, hingga papan super besar untuk menulis dan menggambar juga tersedia.

ruang publik di pinggir sungai

Masalah sosial

Vandalism di Versailles

Kendati penuh dengan seni, kota Paris tidaklah bersih. Vandalisme bisa ditemukan dimana saja, dari mulai di dalam Metro hingga karya seni di Versailles (yang terletak di luar Paris). Paris  juga tak terlepas dari masalah gelandangan. Para gelandangan ini menjadi beberapa subyek foto menarik yang dipamerkan di sudut lain sungai Seine.

pasar malam

Satu malam saya mendapati beberapa Polisi menggeledah gelandangan, tapi   mereka tetap diperbolehkan tidur di depan butik-butik mewah. Sungguh pemandangan yang menyedihkan. Gelandangan juga bisa ditemukan dengan mudah di dekat stasiun Metro, meminta uang kecil kembalian pembelian tiket. Saya, sukses diomelin karena menolak memberi. Sak karepmu.

pameran foto

Mesin tiket Metro juga diwarnai dengan pria-pria berdandan rapi, yang menawarkan informasi. Jangan terlena dengan kerapian mereka, karena bantuan dan informasi tersebut konon berharga mahal, semahal dompet dan isinya. Beberapa tempat juga diwarnai dengan anak-anak yang membawa kertas permintaan sumbangan untuk para penyandang disabilitas. Mungkin menipu.

Bahasa Inggris

Orang-orang Perancis yang terkenal tak mau berbahasa Inggris, ternyata sudah banyak yang berbahasa Inggris, di Restaurant dan di Hotel tentunya. Di jalan, bantuan jika nyasar akan diberikan jika kita berbahasa Perancis. Kendati tak seramah Dubliner (yang suka membantu orang nyasar dan bikin tambah nyasar), saya masih menemukan orang tua yang menyapa kami ketika kami kebingungan mencari jalan. Menyenangkan.

pasar kaget di Dupleix, stasiun Metro

Mahal?

Banyak yang mengeluhkan Paris sebagai kota yang mahal. Benar, jika dikonversi dari rupiah harga makanan di Perancis tidaklah murah, apalagi jika dibandingkan dengan warteg ini itu. Tapi sebenarnya harga di Paris hanya sedikit lebih mahal dari di Jakarta. Bagi saya, yang lebih mencengangkan bukan harga makanan tapi harga air putih luar. Kami yang terbiasa tak membayar air putih di restaurant pun tercengang ketika harus membayar 5 Euro untuk sebotol air. Agaknya, ketika di Perancis memang kita harus minum wine sebanyak mungkin, karena harga wine seringkali hampir sama, atau bahkan lebih murah daripada harga air. Dan wine apapun yang kami pilih, tak pernah mengecewakan. Semahal-mahalnya Paris, kami tetap terkejut ketika tahu kantong plastik di Paris diberikan secara cuma-cuma dan ongkos Metro jauh lebih murah dari Dublin. Tak hanya lebih murah, Metro di Paris juga jauh lebih cepat.

Jauh cinta dengan beberapa stasiun metro

Ah Paris, aku ingin kembali bukan untuk antri tiga atau empat jam di bawah Eiffel Tower seperti ribuan turis lain, tapi untuk sudut-sudut jalananmu yang menyimpan banyak kecantikan dan juga kekumuhan khas kota metropolitan.

Kalian suka jalan kaki di kota yang tak kalian tinggali?

Bisous,
Tjetje

Advertisement

50 thoughts on “Cerita dari Paris

  1. Saya membayangkan hari yang penuh dengan petualangan Mbak Tjetje, berkeliling Paris sampai ke sudut-sudut kota terjauhnya. Pameran seninya yang gratis itu keren banget dan ngimpi Jakarta bisa punya yang seperti itu..

  2. Adalah salah ketika saya berpikir kota-kota di Eropa tidak punya masalah sosial gelandangan peminta-minta atau scam berkedok orang dengan penampilan necis. Tapi harus diakui juga kalau pengelolaan ruang publik di sana lebih baik, dan dalam beberapa segi, lebih bebas. Menurut saya ini adalah sisi lain dari Paris yang tumben saya temukan dalam bacaan di dunia maya, ketimbang kupas tuntas Eiffel. Paling tidak saya bisa membayangkan Paris sebagai kota.

  3. Aku sering dengar dari kawan2 yang jalan2 ke Paris banyak pengemis, pencopet, gelandangan. Ternyata bener ya. Paris termasuk negara yang kedatangan arus pengungsi bukan ya?
    Aku sejak jaman SMA di Surabaya memang senang jalan kaki kemana2 kalau radiusnya masih masuk akal. Kerja di Jkt pun begitu, dari kos ke kantor 30 menit jalan kaki kalau ketinggalan bis kantor. Panas sih, tapi aku ga suka naik ojek jaman itu. Seringnya abang2nya beraroma tidak sedap. Jaman kuliah juga pasti jalan kaki atau naik sepeda ontel ke kampus. Di Belanda sini makin seneng aja jalan kaki dan naik sepeda tentunya, karena pejalan kaki kata suamiku seperti raja disini, didahulukan keberadaannya.

      • Sebelum krisis pengungsi Syria memuncak pemkot Paris sudah kewalahan menampung orang Roma Sinti (di Indonesia terkenal sebagai orang Gypsy) di daerah Bois de Boulogne, Paris. Ini kejadian 2 – 3 tahun lalu Den. Dan betul Tjetje bilang; para pengungsi Syria sekarang ini tujuan akhir kebanyakan Inggris, Jerman, Belanda & Swedia. Maap ya Tje nyahut dua komen disini 😉

      • Gak papa mbak. Nah kalau Roma Sinti kayaknya disini ada yang serupa, disebut traveler. Ini seru lagi ceritanya, mereka disini didiskriminasi abis-abisan, karena stigma yang kuat sebagai pengambil social welfare. Belum lagi banyak kejadian mereka gak mau bayar tram. Aku pribadi pernah duduk sebelahan sama yang gak bayar, pas ketangkap petugas. Ditanya ID malah yang dikeluarin pouch cosmetic sama parfum, pura-pura bego dan bikin gemes. Tapi ya satu orang ini gak mewakili seluruh populasi.

        Kemaren ada yang kena tragedi, kebakaran. Terus direlokasi, ditolak sama komunitas. Alhasil mereka dipindahkan ke lapangan parkir. Sedih banget, udah ketimpa tangga, ada yang meninggal, ditolak pula relokasinya. Aku gemes pengen nulis ini, tapi masih ngumpulin aneka stigma terhadap komunitas ini.

    • Aku kurang tahu korelasi antara pengungsi dan gelandangan ya Den. Tapi rasanya gelandangan belum tentu pengungsi. Di Irlandia gelandangan ada banyak karena krisis (kehilangan rumah) juga karena drug addict. Mereka gak mau tinggal di hostel karena disana pergaulannya berat, dari perkelahian sampai drug abuse.

      Kalau cepet mah modusnya aneh2, dari yang anak2 minta tanda-tangan, judi bola kecil yang ditutup kotak & disuruh milih kotaknya, sampai informasi itu. Yang ngemis juga ampun banyaknya. *Sigh*

    • Susah membedakan imigran atau bukan di Perancis, dari kacamata saya, karena orang Perancis itu aneka rupa nama keluarga dan warna kulit. Nanti dibilang imigran ternyata sudah 15 generasi di Perancis kan ya bukan imigran lagi.

      Tapi yang unik pedagang gantungan kunci nampaknya dari satu etnis semua, kami menduga mungkin yang pegang kuasa etnis tertentu.

  4. Aaaah Paris kota yang cantik sekaligus memberikan trauma. Kecopetan, kehilangan kamera di metro. Kayaknya aku butuh waktu lagi buat balik ke Paris. Entah kenapa juga kemarin aku dapat kesan mereka tidak ramah, terkesan sombong dan tidak mau berbahasa inggris di ruang publik seperti di airport dan hotel dengan brand internasional. Untuk restoran yaa mereka lebih ramah dan mau menggunakan bahasa inggris.

  5. Itu karyanya Anish Kapoor memang original banget ya, aku suka, temanya hal yang kita lihat disekeliling kita 😉

    Jadi udah ke arrondissement mana aja di Paris? Memang dibalik megahnya boulevards yang lebar itu banyak daerah kumuh juga disana Tje. Biasanya ghettolike quartier itu memang banyak pengungsinya para imigran dari negara ex jajahan Perancis sendiri.

    • Kalau gak salah ngitung 1-8, ditambah 14, 15, 16. Sempet mampir ke kesusteran segala Mbak, lihat kesusteran yang declining karena jumlah suster muda sudah turun drastis, sementara yang tua melonjak.

      Kakiku sampai sekarang masih bengkak semua Mbak. Tapi gak kapok, obsesi selanjutnya pengen keliling Paris naik bis kota.

      Masalah sosial di kota besar nampaknya serupa semua ya Mbak. Aku jadi tertarik banget dengan para imigran ini, karena resistensi masyarakat disini yang lumayan tinggi.

  6. Paris yg ga pernah dlm list kunjungan hanya karena saya ga bisa bhs Perancis ternyata tempat ini menarik, arsitektur bangunan2 nya, kios buku/majalah di jlanan, gang-gang kecilnya, suara sirine mobil polisi dan polisi yang lari2 mengejar entah mungkin pencopet pemalak saya ikut deg2an. Saya suka jalan kaki asal ga panas menyengat&aman dari srempetan mobil/ pesepeda motor.

  7. Aku kok nggak gitu suka Paris ya mbak. Sudah dua kali ke kota itu, pertama memang pakai agen tour, tapi yang kedua jalan sendiri sama teman, tetep aja nggak sreg. Semuanya kembali ke selera. Menurutku daerah yg kumuh tuh daerah Rue Saint Denis, entah arrondissement keberapa, tapi pernah nyasar disitu dan aku ngerasa nggak nyaman banget karena bau pipis dan banyak imigran nggak jelas.

    Nanti tanggal 12 Nov aku bakal ke Paris lagi tapi cuma untuk ke Disneyland. Udah wanti2 sama teman, nggak mau nginap disana, hahaha!

  8. Selama ini hanya sering dengar bahwa di Paris banyak copet dan orang-orang yang kurang ramah dan kurang diladeni jika kita bertanya dengan bahasa Inggris. Tapi terlepas dari semua itu, Paris tetap jadi salah satu kota impian yang suatu hari nanti ingin dikunjungi, Mbak, semoga bisa keturutan.:)

    Aku tiap pagi jalan kaki dari stasiun cawang ke tugu pancoran, Mbak. Terkadang mencoba pulang malam juga jalan kaki, tetapi seringkali dilarang orangtua karena kalau malam jalanannya gelap. Sangat disayangkan memang keberadaan pejalan kaki kurang dihargai oleh masyarakat, padahal di tengah macetnya ibukota lebih menyenangkan berjalan kaki, plus hitung-hitung olahraga. 😀

  9. aku suka sihh jalan kaki, asal trotoar gak diserobot sama pedagang atau motor aja 😀
    seru memang jalan kaki di negara yang udah maju gini, meskipun tetep banyak copet dan vandalism ya

  10. Gw nggak terlalu suka Paris Ai, kesannya dingin gitu, orang2xnya juga. beberapa kali ke sana selalu punya pengalaman nggak enak dengan parisian (juga imigrannya). Tapi kalau sudah keluar Paris wow…..luar biasa deh, alam, budaya, makanan dan iklimnya (ketimbang Norway yang dingin) sangat bersahabat. Sekilas Paris kayak mahal (apalagi harga hotel di pusat kotanya), tapi harga makanan kayaknya masih jauh lebih murah daripada Norway deh. Terakhir ke Paris bulan Juli lalu cuma mampir ke Moulin Rouge buat lihat cabaret show dan lihat konser musik di salah satu gedung pertunjukan, selebihnya numpang lewat saja 🙂

  11. Mbak Ai makasih uda nulis ini! Aku jd semangat belajar buat DELF supaya kalo nanti ke Perancis bisa komunikasi sama warga lokal. Hehe.. Anyway, despite all the social problems, Paris memang lovable, that’s why nous aimons Paris 🙂

      • Wah semangat juga Mbak buat preparationnya! Mau ikut ujian sesi November kah? Sorry kalo out of context, tapi apa iya DELF di sana lbh susah Mbak? Aku kira kayak IELTS yg soalnya sama di manapun..

      • Aku mau ambil yang Juni tahun depan aja. Yang paling deket disini January. Soalnya sama sih, cuma disini serius bener persiapannya (Which is good) Dan menurutku, agak berat. Di Jakarta kursus terakhir yang aku ambil untuk B2 gak serius (jadi kayak buang duit), karena gurunya repot ngajak nyanyi, ngajak nonton film. Mungkin itu sebabnya aku gak pernah siap B2.

      • Wah udah B2 Mbak? Hihihi ya itu emang susah sih.. Aku baru mulai level B1 dan susyaaaah karena banyak hal baru, grammar terus menerus, beda banget sama A2 yg mostly cuma belajar vocab baru. Hehe.. Aku tahan nggak ya smp B2 kayak Mbak? Mudah-mudahan. Hehe.. Bonne chance Mbak Ai! 🙂

  12. Walaupun beberapa stasiun metro dan metro-nya bau pesing, saya pengen banget balik lagi ke Paris. Bener, nggak mau balik ke sana buat Eiffel. Sekali aja cukuup karena ruame banget. Pengen keluyuran di lorong-lorong kotanya sambil bengong ngeliatin bangunannya yang cantikk!

  13. Pingback: Luar Negeri tak Lebih Indah dari Tanah Air | Ailtje Ni Dhiomasaigh

Leave a Reply to Felicity Cancel reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s