Luar Negeri tak Lebih Indah dari Tanah Air

Negara yang indeks pembangunannya tinggi selalu diagung-agungkan dan dianggap menawarkan hal-hal yang lebih baik ketimbang negara berkembang. Ketika tahu saya tinggal di Irlandia, komentar yang seringkali saya dengar dari orang-orang tak jauh-jauh dari kata: “enak ya hidup di luar negeri”. Tak bisa dipungkiri bahwa hidup di negara maju menawarkan kemudahan seperti transportasi publik yang tertata ataupun administrasi kependudukan yang lebih rapi, sehingga mengurangi praktik-praktik korupsi, menyogok hingga percaloan.

Tapi dibalik kemegahan negara maju, ada banyak sekali problem-problem sosial yang tak banyak dilihat dunia lain. Beberapa yang tertangkap mata saya rangkum secara pendek disini, supaya kita semua bisa tahu bahwa dunia barat tak semegah yang ada di angan banyak orang.

Gelandangan 

Problem orang-orang yang tinggal di jalanan, atau biasa kita sebut gelandangan, sudah lama mendera Irlandia (dan juga negara-negara lain). Mereka banyak sekali ditemukan di pusat kota Dublin, duduk di tengah dinginnya kota berselimut tebal, terkadang sambil menggendong anjing dan memegang gelas kertas bekas kopi atau teh. Gelas-gelas itu digunakan untuk menampung uang recehan hasil belas kasihan orang.

Sebuah koran ternama di Irlandia beberapa waktu lalu mewawancarai para gelandangan yang tinggal di Grafton Street, jalanan ternama di Dublin. Jalanan ini mungkin layak disebut Champs Elysee-nya Dublin. Kehilangan rumah karena krisis yang menghempas ekonomi Irlandia bukanlah salah satu alasan mereka berada di jalan. Perseteruan dengan keluarga juga salah satu alasan mengapa mereka memilih hidup di jalan. Kendati lebih sering menemukan pria, ada banyak juga gelandangan perempuan, baik yang muda maupun yang tua. Artikel tentang gelandangan di Grafton Street bisa dibaca disini.

Pemerintah Irlandia menyediakan rumah layak huni untuk orang miskin, tapi sayangnya jumlah rumah ini tak memadai. Niatan untuk membangun lebih banyak rumah juga seringkali berbenturan dengan penolakan masyarakat. Social house di Irlandia diidentikkan dengan kumpulan orang-orang bermasalah, kriminal, penyedot social welfare (dole), pengguna obat serta banyak label lain yang berkaitan dengan pembuat masalah. Jadi jangan heran jika penolakan masyarakat terhadap pembangunan rumah sosial di lingkungan rumah mereka sangatlah kuat.

Para gelandangan ini juga enggan untuk tinggal di hostel untuk gelandangan, karena banyaknya kekerasan yang terjadi di dalam hostel tersebut. Tak hanya kekerasan, tapi juga penyalahguanaan obat serta pencurian. Bagi sebagian dari mereka, lebih aman tidur di jalanan Dublin ketimbang di dalam hostel. Gelandangan ini seringkali menjadi alasan mengapa orang-orang Irlandia menolak kedatangan para migran. Soal migran dan juga pengungsi, rasanya diperlukan satu pos tersendiri untuk membahas lebih detail.

Pengemis zombie

Saya menyebut mereka pengemis zombie karena penampilan mereka yang seperti zombie. Penampakan seperti zombie ini disebabkan penggunaan obat-obatan yang membuat mereka terbang tinggi. Dalam kondisi mabuk obat, mereka berjalan-jalan di kota, atau nongkrong di dekat halte-halte tram until meminta uang kecil. Jika pengemis menunggu di beri uang, mereka biasanya bergerak lebih aktif dengan mendatangi targetnya. Target paling mudah tentunya orang-orang yang membeli tiket di mesin tram. Berbeda dengan di Paris, disini mereka tak marah dan mengomel jika tak diberi uang. Dalam satu kesempatan saya bahkan pernah menemukan zombie yang tidur berdiri di tengah kota.

Penumpang Gelap

Tram di Dublin tak diberi pintu pembatas. Siapapun, baik dengan tiket maupun tanpa tiket, bisa bebas melenggang masuk. Menurut manajemen Luas, mereka memang tak memerlukan pintu pembatas, yang mereka perlukan hanya kejujuran dari penumpang. Sesekali ada petugas pengecek tiket yang mengenakan rompi berwarna oranye yang akan mengecek tiket penumpang. Jika tertangkap tidak memiliki tiket, denda yang dikenakan bisa berkisar dari 45€ hingga 100€, tergantung berapa hari semenjak tertangkap denda tersebut dibayar. Semakin cepat dibayar, semakin murah.

Ada berbagai macam tipe penumpang gelap di tram. Tapi yang paling sering saya temukan adalah remaja. Tak hanya tak bertiket, mereka juga seringkali berisik tak karuan. Jika ada petugas keamanan, mereka akan dikejar dan dipaksa turun. Tapi sekali waktu saya pernah bertemu dengan masinis yang super galak yang keluar dari ruang kendali. Masinis ini kemudian mengusir mereka, jika mereka tak mau turun, ia tak mau menjalankan tram. Teknik ini berhasil.

Di lain waktu saya duduk berdekatan dengan perempuan tanpa tiket. Bersama perempuan tersebut, seorang pria muda yang mungkin pacarnya juga tak memiliki tiket. Ketika diminta kartu identitas perempuan itu tak bisa menunjukkan. Dia malah sibuk mengaduk-aduk tasnya sambil berkata: “I have perfume, I have a cosmetic pouch“. Sungguh mengesalkan. Saking kesalnya, petugas tiket sampai mengancam akan memanggil Polisi. Mereka akhirnya diturunkan di stasiun tram untuk kemudian diproses. Mereka berdua adalah bagian dari komunitas traveller, sebuah komunitas yang seringkali mendapatkan diskriminasi dalam berbagai hal. Mereka juga mengalami aneka rupa pelabelan yang tak mengenakkan, salah satunya tak pernah mau bayar transportasi umum. Satu hari nanti saya akan bercerita lebih jauh tentang mereka. Penumpang gelap tak hanya ada di dalam tram, di dalam bis pun banyak penumpang gelap. Padahal, pembayaran ongkos bis biasanya dilakukan ketika masuk ke dalam bis.

Luar negeri memang cantik, secantik kartu pos yang seringkali dikirimkan ke berbagai sudut dunia. Tapi di balik kecantikan negara-negara maju, tersimpan banyak permasalahan sosial. Mungkin jumlah pengemis ataupun gelandangan tak sebanyak di Indonesia, apalagi karena negara menyediakan tunjangan bagi mereka yang tak bekerja. Tapi faktanya, negara majupun bergulat dengan hal-hal seperti itu. Jadi, siapa bilang luar negeri lebih indah dari tanah air?

xx,

Tjetje

Advertisement

70 thoughts on “Luar Negeri tak Lebih Indah dari Tanah Air

  1. Di setiap negara pasti ada problem nya masing masing ya mba Tje. Lain padang, lain belalang yah.
    Anyway saya masih kepengen ngerasain hidup di negara yang fasum nya bagus, polisi nya cepet tanggap, dan bersih sih 🙂

  2. Permasalahannya adalah anggapan bahwa kehidupan di luar negeri itu “sempurna” dan “tanpa permasalahan” ya. Padahal yang namanya sempurna itu tidak mungkin dan masalah pasti ada dimana-mana 🙂 .

  3. yang dilihat film-film Beverly Hills semuanya tampak bagus-bagus, dulu saya kira negara maju juga ga da gelandangan & pengemis bahkan saya kira di Malaysia tidak ada gelandangan ohh ternyata ada juga. saya penasaran dg komunitas travellernya juga ini mbak 🙂

  4. Bener sih mba, banyakan org, termasuk akuu, pasti ngiranya di luar negeri itu orangnya kaya semuaa.. Pasri beruntung semuaa, kaya yg di film2, ternyata sama aja yaa.. Di setiap negara pasti punya masalah sosial juga..

    Itu yg pengemis zombie ngeri banget keknya.. Sampe marah2 gitu, kalo ga dikasi duit?

  5. Rutinitas ‘tinggal’ yang membuat orang masyarakat kita tak betah tinggal di Indonesia sehingga menimbulakan persepsi lain terhadap negara lain. eh ditunggu cerita tentang komunitas traveler itu yah.. 🙂

  6. Tapi saya pilih daripada hidup di Indonesia lebih baik saya hidup diluar negri..(Australia)
    Semiskin miskinnya jadi orang miskin di Australia lebih baik daripada jadi orang miskin di Indonesia. Banyak orang menjadi miskin di Australia karena mereka “memilih” dirinya sendiri menjadi miskin (males kerja, ngedrugs, minum/mabok2an). Pemerintah memberi tun jangan sosial yg memadai (asal pinter ngaturnya aja) dan cukup untuk menjadi lebih baik daripada orang miskin di Indonesia…..

    • Nah tunjangan sosial ini disatu sisi bagus, tapi menyakitkan kalau kita kerja keras dan melihat ada orang yang milking the system. Disini bahkan ada yang dapat sampai 3600€ per bulan dan gak kerja.

      Kalau di Indonesia belum ada sistem seperti ini, tapi semoga segera ada perbaikan sehingga ada sistem proteksi bagi orang miskin.

  7. Suka postingan ini Tje, luar negeri ga melulu shiny n gold 😉 klo cuma liburan mungkin tampak gemerlap n penuh harapan ya, tp begitu kita jadi penduduk, mulai banyak keliatan ini dan itu-nya deh…

  8. Suka postingan ini. Luar negeri gak selamanya lebih bagus dari negara sendiri. Aku nolak penawaran kerja di luar negeri dan sampai sekarang kalau ada teman yang tanya masih suka dibodoh-bodohin. Padahal aku udah tinggal di sana bbrp bulan dan ngerasa gak nyaman, ya ngapain mesti dipaksakan kan. Hehehe.

      • Dan aku sempat omongin sama teman yang orang Amerika, orang Indonesia itu lebih Europe-minded daripada America-minded.

        Maksudnya lebih kepikir ngejar traveling ke Eropa. Eropa itu dianggap lebih wah. Bukan Amerika. Hahaha.

      • Susah visanya ke Amerika. Terus di Eropa bisa kejar banyak negara (buat pemburu jumlah negara). Tapi kalau soal bahasa Inggris kita America banget, aku disini susah ngikut English British.

  9. Sempet salah satu orang posting di fesbuk bahwa dia barusan kecopetan di Kopenhagen setelah meninggalkan tas / dompet di stroller bayi yang ditaroh diluar pas dia masuk kedalam sebuah toko / kios. You think??? Naif banget banyak orang Indonesia mengira di luar negeri nggak ada copet / rampok dst.

    Yang aku juga ga habis pikir adalah pertanyaan2 ajaib dari temen2 yang mungkin wawasannya kurang:

    “Disana ada nasi ya?”
    “Kalau sendok bagaimana? Ada sendok juga kah disana?” (Secara mereka pikir orang bule makan pake garpu dan pisau – lha klo makan sup gimana? Lo pikir disosor macam bebek?)

    dan pertanyaan2 ridiculous lainnya. Kadang aku udah emoh jawab

    • well, to be fair, orang asing juga suka nanya begitu kok tentang Indonesia. Disana ada bangunan tinggi? Dimana kamu belajar bahasa Inggris? Bagaimana kalian tahan dengan makanan pedas? Apakah ada sekolah?

      • Kalo ada orang bule yang bertanya seperti : —> Disana ada bangunan tinggi? Dimana kamu belajar bahasa Inggris? Bagaimana kalian tahan dengan makanan pedas? Apakah ada sekolah? Menurut saya dia itu bule udik, seudik-udiknya yang gak keluar dari “kepompongnya” hahaha….

    • Aku pernah ditanya tentang jemur baju juga. Disangka di luar gak jemur baju. Setuju juga kalau orang asing juga suka ajaib pertanyaannya. Kemaren ada yang nanya sama orang Papua: kalian belajar bahasa Inggris gak di sekolah? Terus kalian kalau ngobrol sama tetangga desa pakai bahasa apa? Ampun deh.

      • Kalau bahasa masih mending lah, kan bahasa kita macam2 dan banyak banget, tapi klo soal kehidupan sehari2 itu kayaknya pake logika aja udah bisa di nalar

  10. sawang sinawang ya mbak, kita memang sering ngerasa kalo luar negeri itu lebih indah lebih teratur dan lain-lain. Yahh semua kembali ke diri sendiri aja deh, disyukuri aja apa yang ada

    • Ada banyak hal yang indah di luar negeri, aku ngakui. Perlindungan bangunan2 tuanya juga bagus, gak kayak di kota tua dimana Pemerintah mesti berkelahi sama pengusaha besar.
      Tapi tetep masalah sosial ada dimana-mana. Ini yang gak banyak diulas sama turis yang jalan-jalan.

  11. Sebelum jjs backpack ke Paris dapet banyak wejangan dari senior kalo di sana banyak imigran, gypsi, pencopet, tukang hypnotis dan tukang jualan souvenir yang mengganggu. Pas sampe di Paris dari CDG keluar dari statisun Gare du Nord..tetep kaget! lihat semua yang sudah di bilang para senior. Wah..di trotoar dekat Gare du Nord banyak pengemis gelandangan dengan tampang Asia. Para gypsi yang demen ngikutin dari mesin tiket sampe ngambil print out tiket kereta api. Pas mau foto di spot terkenal seperti Eiffel, Coloseum di Rome, pedagang cindera mata ngotot banget minta dagangannya dibeli. Dikasi senyum sama dijutekin karena gak mau beli, ujung-ujungnya sama mereka ngomel-ngomel, langsung deh cari aman, menyeruak ke kerumunan turis lainnya. Dari kunjungan aku yang singkat-singkat itu sepertinya Lucerne dan Zurich di Swiss jauh relatif lebih aman. Aku tunggu postingan komunitas traveler yang dapet banyak diskriminasi itu ya Mba, apakah mereka travler dari desa ke kota? atau dari negara lain..penasaran nihh..

  12. Malah jadi ingat cerita benefit yang disalahgunakan sama banyak orang di UK, sepertinya di Ireland sama juga ya 🙂 ada ibu2 beranak 4 tidak kerja masih bisa jalan2 liburan ke luar negeri dengan benefit

  13. Nah, copet ternyata gak di negara maju maupun negara berkembang tetap ada. Mungkin ini soal perilaku. Perilaku manusia tentu ada baik ada gak baik dimanapun.
    Kalo di indonesia social welfare bagus pasti banyak orang jadi pemalas ngadalin bantuan uang pemerintah yang cukup besar itu, 🙂

    • Gak gampang dapat social welfare, ada syarat-syarat tertentu. Saya malah berharap di Indonesia ada, supaya pemerintah lebih terlecut untuk memberikan kesempatan kerja bagi orang-orang kecil dan supaya duitnya gak dikorupsi terus.

  14. Banyak teman dan keluarga saya di LN yang berpendapat serupa seperti mba TjeTje.
    “Rumput tetangga selalu lebih hijau”, tapi sebenarnya tidak selalu demikian.
    Anyway, ditunggu postingan tentang migrannya ya mba 🙂

  15. yang emang tempting dari “pemandangan” di luar negeri adalah keteraturannya. Beda banget sama di Jakarta, jadwal transportasi umum aja kacau balau seakan percuma ada jadwal wong ga pernah on time. Pas maen ke Paris juga ngeliat ada kawasan slum gt yang kayaknya jd tempat ngumpul para homeless..

  16. Lbih baik disini… rumah kita sendiri… *lho malah nyanyi* :p

    Tapi Mbak Tje, tetap tidak bisa di bandingkalah dengan Indonesia untuk Problem-problem sosialnya. Halo mereka yang mempekerjaan anak2 sebagai pengemis untuk meraup untung sebanyak-banyaknya. Halo metromini dan kopaja yang membawa penumpang tapi seenaknya aja ugal2an di jalan raya, Halo mereka pengemis2 yang bertebaran di Jakarta yang pada kenyataannya bisa bangun rumah besar, sapi, dan sawah di kampungnya. Halo mahalnya pendidikan Anak Indonesia sehingga mereka tidak bisa meneruskan pendidikan ke Jenjang yang lebih tinggi. Dan Apa kabar suami2 yang tinggalin istri anaknya buat nikah lagi dengan perempuan lain dan begitu juga sebaliknya, Bagaimana dengan hutan yang di bakar2? Orang Utan yang sudah langka pun malah di bunuh2 karena dianggap Hama buat para petani, dan pekebun. 😦 😦 😦

    Tapi tetap bersyukur karena Indonesia cuma memiliki 2 musim yaitu panas dan hujan, Klo panas ya kurang air, klo ujan ya cuma banjir.

    • Perbandingannya gak Apple to Apple. Disini gak ada hutan jadi gak ada kebakaran. Disini pengguna narkoba gak ditangkap jadi bisa jalan2 di tengah kota nakut2in. Disini pengemis juga banyak gak tahu tapi kaya apa nggak. Orang kawin lagi ada, banyak tapi Single mother dikasih allowance jadi gak begitu sengsara.

  17. Waah. ..waah… semakin membuka mata mbak tulisannya. Sebelumnya aku baru tahu tulisan serupa di blog Pak Adi dan Ibu Susu, ardisfamily.blogspot.com, yang menceritakan apa adanya seperti yang mbak sampaikan.
    Tapi saya tetep suka Irlandia alam dan musiknya, Celtic Music. Karena The Corrs sih sebenarnya. Hehe
    Makasih ya mbak sudah menambah wawasan yang gak didapat di sekolah. Hehe

  18. Pingback: Search Term Ajaib | Ailtje Ni Dhiomasaigh

  19. Pingback: Bono Mengamen di Dublin | Ailtje Ni Diomasaigh

  20. Ayahku juga selalu bilang luar negeri itu keren dan seperti diagung2kan karena lebih tertib, dan tata kota nya lebih baik. Soal keindahan alam Ayahku bilang Indonesia alamnya ga kalah indah

    • Soal tertib, gak semua negara tertib kok Riyan. Di Irlandia orangnya pada gak tertib, sampai pusing aku. Antri masuk bis rebutan, nyebrang seenak udelnya gak di zebra cross. Dari beberapa negara barat yang sudah aku kunjungin, ini negara emang kacau, agak mirip2 sama Indonesia.

  21. Wah, baru tau aku. Tapi yang namanya tunawisma memang ada dimana-mana. Oh ya, aku jadi pengen tau ceritanya traveller sama soal migran yang kurang disukai di Irlandia.

Leave a Reply to Binibule.com [Tjetje] Cancel reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s