Sepulang belanja mingguan kemarin, sambil menenteng tiga tas belanjaan yang cukup berat, saya teringat pada adik-adik yang biasanya nongkrong di lantai dasar ITC Kuningan. Adik-adik ini menanti mereka yang selesai berbelanja dan menawarkan jasa mendorong troli belanja. Di Irlandia, jasa dorong troli tak eksis sama sekali. Boro-boro jasa dorong, pinjam trolinya pun mesti memasukkan koin 2€ untuk memastikan troli dikembalikan ke tempat semula.
Kembali lagi pada adik-adik itu, jaman dahulu kala, sekitar tahun 2006-an, saya seringkali jatuh kasihan pada mereka dan akhirnya meminta mereka untuk mendorong troli hingga ke bagian lobi depan ITC Kuningan. Si adik beralasan memerlukan dana untuk membiayai sekolahnya sehingga ia bekerja di pusat perbelanjaan. Beberapa tahun belakangan ini saya semakin jarang ke belanja di Carrefour, kalapun kesana, saya sudah tak pernah lagi melihat mereka. Mungkin mereka sudah dihalau oleh petugas pengamanan.
Selain menjadi joki troli, pekerja anak juga dengan mudahnya ditemukan di beberapa jalan utama menuju kawasan 3 in 1 di Jakarta. Kebanyakan dari mereka dibawa oleh ibunya dan sangat jarang yang dibawa bapaknya. Usianya beragam, dari mulai bayi hingga sudah usia sekolah. Saking senangnya mengamati joki, saya bahkan mengamati seorang joki yang dari hamil, hingga anak bayinya lahir masih tetap menjajakan jasa joki. Saking gilanya (atau mungkin terhimpit ekonomi), anak bayi yang masih mungil ikutan di bawa! Ibu joki yang masih muda ini bisa ditemukan di depan lapangan futsal di samping Standard Chartered Casablanca. Untungnya, ketika menggunakan jasa joki, saya sudah tersadar bahwa menggunakan jasa joki anak itu tidak baik. Selain karena kemungkinan mereka anak sewaan, banyak dari anak-anak ini yang dilelapkan dengan obat tidur demi selembar dua puluh ribuan. Bagi sebagian dari kita, selembar dua puluh ribu itu tak begitu banyak, bahkan tak bisa membeli segelas kopi di warung kopi internasional. Tapi bagi mereka, jumlah itu sangatlah banyak hingga membuat mereka rela menidurkan anak-anak tanpa dosa dan membiarkan mereka terpapar pada polusi ibu kota.
Besarnya rasa sosial kita, serta kemauan untuk membantu mereka yang miskin juga membuat jumlah pengemis anak-anak di berbagai kota di Indonesia, terus meningkat. Karena rasa kasihan dari kitalah anak-anak itu harus terpapar teriknya matahari, berdiri di perempatan meminta recehan dari deretan kendaran. Sementara orang tuanya, duduk berteduh di perempatan sambil mengawasi mereka, layaknya mandor mengawasi para tukangnya. Soal pengemis tak perlu dibahas lebih lanjut, karena sudah pernah saya bahas dalam tulisan terpisah tahun yang lalu.
Pekerja anak lain yang bisa kita temui adalah penyemir sepatu. Dulu, saya sering melihat mereka berkeliaran di bandara Soekarno Hatta, tapi akhir-akhir ini saya tak pernah melihat mereka lagi. Bicara tentang penyemir sepatu, saya jadi teringat dengan seorang anak yang mematahkan hati saya. Ketika itu, saya sedang duduk di KFC (saya punya ritual tak sehat untuk makan KFC di bandara dan jaman dulu saya rajin melakukan perjalanan dinas. Haduh…gak sehat bener) dan seorang anak kecil duduk bersembunyi ketakutan di balik tempat pembuangan sisa makanan. Rupanya, ia sedang menghindari kejaran petugas keamanan bandara. Saya menawarkan adik itu untuk duduk dan makan bersama saya. Selain karena sepatu saya tak perlu disemir, saat itu saya juga telah berhenti memperkerjaan anak di bawah umur. Adik itu menolak dan lebih memilih diberi uang saja ketimbang seporsi KFC.
Penolakan itu menampar saya. Saya terhenyak ketika tahu ia lebih menyukai uang. Tapi wajar jika anak-anak di bawah umur lebih menyukai uang ketimbang makanan. Dengan uang, mereka jadi memiliki kekuatan untuk membeli dan memutuskan apa yang mereka mau. Makanya, tanggung jawab untuk menghentikan pekerja anak ada di pundak kita, orang-orang yang pernah, sering, atau bahkan sedang memperkerjakan anak-anak di bawah umur.

Foto para joki anak di NTT yang dipasang di sebuah pameran di Paris.
Pekerja anak tak hanya bisa ditemukan di perempatan jalan, bandara, pusat perbelanjaan, tapi mereka ada di berbagai sudut kota. Bahkan mereka mungkin ada di dapur rumah-rumah orang kelas menengah atas karena menjadi pekerja rumah tangga. Kemiskinan membuat mereka meninggalkan sekolah dan memilih mencari uang. Baik untuk membantu orang tuanya, atau untuk melanjutkan hidup. Tanggung jawab pengentasan kemiskinan, yang merupakan salah satu pelanggaran hak asasi manusia, ada di tangan pemerintah. Tapi sebagai manusia, tentunya kita bisa turut berkontribusi, dengan cara yang paling sederhana, dengan berhenti mempekerjakan anak-anak.
Mempekerjakan anak-anak dengan landasan kasihan merupakan aksi yang tak hanya merusak kesempatan mereka untuk bermain, tapi juga berkontribusi pada perubahan persepsi mereka tentang uang dan pendidikan. Anak-anak ini akan melihat bahwa tak diperlukan pendidikan untuk bisa mendapatkan uang. Cukup pasang wajah memelas, maka uang akan datang. Walaupun hari ini bukanlah World Day Against Child Labour, hari ini Hari Hak Asasi Manusia, tapi mari berkomitmen untuk menghormati hak anak dan berhenti memperkerjakan mereka. Rasa kasihan dan belas kasihan kita sebaiknya disalurkan melalui lembaga sosial, lembaga amal, badan kemanusiaan khusus anak seperti UNICEF atau rumah-rumah ibadah.
Sudahkah kalian berhenti mempekerjakan anak-anak?
Xx,
Tjetje
Aduh saya sedih bener baca ini sambil ngebayangin mereka Mbak Tjetje.. 😯😯 bener juga ya kalo pake jasa mereka berarti memperkerjakan ya.. 😦
Bener banget Dan, rasa kasihan kita itu racun buat masa depan mereka. Jadi memang kedengeran sadis, tapi kita mesti berhenti ngasih mereka.
Setuju Mbak! 🙂
Aku udah dan gak pernah kasih duit lg di anak2 yg suka nongkrong di lampu merah. Eh tapi mulut mereka juga suka jorok bgt Ai. Ada yg suka ngomong kasar kalau kita gak kasih duit
Aku gak bisa menyalahkan mereka Non, hidup mereka di jalanan keras banget. Anak-anak itu seperti spons yang menyerap apa saja yang mereka dengar dan dengan usia muda penyerapan mereka lebih cepat. Sedih bener kan kalau harusnya mereka nyerap tentang ilmu fisika, IPS atau tata bahasa malah harus tergantikan dengan kata-kata jorok.
Well done Non, semoga semua orang berhenti mempekerjakan anak-anak ya.
Iya memang, hidup di jalanan pasti beda. Makanya cuman shock doang kalau ada yg ngomong jorok sambil teriak. Takut sih sebenarnya aku 😁
Kadang saya dilema melihat yang seperti ini mba. Kadang saya masih suka memberi kadang nggak lantaran bingung ini perlu dibantu atau nggak. Dan yang paling menyedihkan mereka menjadi kasar karena tidak diberi sedikit pun.
Kuncinya cuma satu sih, berhenti. Kalau uang ada, maka mereka akan terus tertarik untuk membeli.
Dilematis memang karena kebanyakan dari kita diajarkan untuk berbagi dengan yang tidak mampu. Tapi mungkin ajaran itu perlu direvisi sedikit, ditambahi kata-kata lewat jalur yang benar sehingga tak menyebabkan mafia di balik pekerja anak ini menari-nari dan jadi kaya.
Waduh aku ngak kepikiran sampai segini aku dulu sempat pakai juga namanya anak kantong kalau kita belanja di pasar pasti mereka yang selalu siap bantu bawa belanja kita atau ojek payung kala musim hujan tiba..
Sekarang pindah Yogya sudah tidak pernah lagi..
Ah ojek payung, bener banget Ria. Aku kelupaan tentang mereka. Kalau di Bali anak-anak kantong itu digantikan oleh ibu-ibu yang membawa keranjang di kepala. Ibu-ibu ini akan membuntuti kemana kita belanja dan mengangkut semua belanjaan. Di Pasar Badung, anak-anak juga sudah dilarang bekerja.
Eh emang di Yogya gak ada pekerja anak ya? Selain ojek payung tentunya?
Jarang nemu kecuali maap pengemis anak anak.
Kalau di pasar beringharjo nenek nenek yang bawa belanjaan.
Aduh kasihan sudah tua masih angkut-angkut 😦
Banyak banget mbak ai…
Makanya aku juga bingung pas aku pindah jogya antara ngak butuh and ngak tega beda tipis..
Kalau menurut saya yang paling bersalah itu orang tuanya. Bagaimana pun keadaan ekonomi mereka, tidak seharusnya menyuruh anaknya untuk bekerja.
Sekarang klo dipikir2 orang-orang kok tega ngasih obat tidur ke anak kecil hayo? Baca-baca itu bisa membahayakan lho. Atau ibuk2 yg ngemis sambil bawa anak kecil. Saya sih biasanya tetap memberi soalnya udah dari sononya hati suka kasihan. Saya kan nggak mungkin ngelawan hati ha ha ha
Menurut saya tak bisa menyalahkan satu pihak saja, dalam hal ini orang tuanya. Ada banyak pihak yang terlibat dalam proses ini, dari mulai yang memberi, orang tua, hingga ke Pemerintah yang seharusnya menyediakan pekerjaan serta kesejahteraan sosial bagi warga negaranya.
Bagi saya memberi itu menyuburkan mereka (termasuk mafia-mafia di belakangnya) dan lebih baik memberi lewat institusi resmi saja.
Sekarang udah mulai menghentikan kebiasaan memberi recehan ke anak-anak yang berkeliaran di perempatan jalan. Sadar bahwa dengan memberi mereka uang akan memberikan efek buruk ke mereka.
Dan baru bulan kemarin mendapati anak-anak yang berenang di Sungai Musi, awalnya mereka mnawarkan dirinya untuk difoto, ehh ujungnya kok “uang om… lempar uang ke sini ( sungai ),om!” Haduhhh… hanya bisa geleng kepala dan bilang nggak ada receh, lalu daku kabur 😐
Ah para pemburu koin itu. Kasihan telinga-telinganya kalau pecah karena terlalu dalam nyelemnya. Btw, kebiasaan itu bisa diganti dengan ngasih kue-kue kecil atau susu (kalau percaya dengan khasiat susu ya, aku sih engga).
Benar banget. Biasanya kasih biskuit kemasan kecil tapi kmrn pas nggak bawa. Hahaha khasiat susu daku jg udah nggak percaya lagi :))
Langsung memberi (apa yang kita kira) bantuan belum tentu “baik” ya memang.
Miris banget memang melihat anak-anak yang masih kecil tetapi sudah mata duitan banget. Padahal sebenarnya di usia segitu mereka lebih baik bermain dan belajar 🙂 .
Iya karena pemberian kita ikannya, bukan pancingnya.
Pas aku msh ngampus, pengamen anak itu malah seneng lho Mbak klo dikasih makanan/cemilan, klo dpt uang kayaknya malah hrs dikasih ke ‘bos’-nya dan gak bs utk jajan lg…
Sebenernya dengan kasihan dan kasih mereka uang malah sebenernya gak membantu mereka malah “menyuburkan” kemiskinan mereka. Lebih baik memang bantu melalui lembaga. Sedih liat mereka kalo lagi kerja, apalagi kalo ojek payung. Ada yang sampe membiru kedinginan bibirnya.
Kadang kasihan tidak mesti ditunjukkan dengan memberi uang pada si anak kecil yang meminta-minta di jalan. Mungkin kalau kita beri santunan ke lembaga yang legal dan terbukti menyalurkannya pada yang berhak, mereka bisa merangkul anak-anak kecil ini ya Mbak :hehe.
kadang saya mikir dengan kalimat “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara”. Dipelihara di sini maksudnya apa, ya? Dijaga supaya tetap ada? #eh.
kadang susah memang untuk tidak memberi ke anak-anak jalanan, jadi dulu saya lebih suka kasih makanan ketimbang uang. Dari pengalaman, ada yang suka ada yang nolak (jleb!). Ya memang lebih baik kalau mau nyumbang melalui lembaga.
Kalo anak kecil yang jualan kresek di pasar saya masih suka ngasih lebih. Hitung-hitung penghargaan buat dia yang masih mau berusaha/bekerja untuk mendapatkan uang.
Sejujurnya merasa kasihan dengan anak-anak yang suka ngemis di lampu merah atau depan parkir pertokoan, tapi aku berusaha menguatkan diri untuk tidak kasih uang ke anak-anak itu lagi. Nice post mba TjeTje
Duh, Mbaaak.. Sedih aku dengernya 😦
Semasa SD dulu aku punya temen sekelas yang kerja sebagai penyemir sepatu di plaza deket sekolah. Yah, kayaknya sih nelangsa aja. Di mana aku en temen temen yang laen bisa maen puas dan istirahat plus makan yang cukup, dia malah harus kerja demi bisa sekolah 😦
Jaman dahulu bisa dipahami, sekolah gak gratis. Sekarang kan sudah diprogram harus gratis walaupun banyak sekolah yang masih narik duit. Padahal 20% APBN itu untuk pendidikan.
Di jakarta aku lihat pengemis dan pekerja anak2 jauh berkurang dibandingkan 2 tahun yang lalu. Tp emang nga bisa dipungkiri kl kita masuk ke spot2 terpencil dan bawah jembatan masih mereka disana.
Dengan tidak memberi uang kepada mereka diharapkan pekerja anak akan semakin berkurang. Walaupun kadang kita harus menanggalkan rasa iba dan kasihan demi kebaikan merekanya juga.
Iya emang harus tahan mental, kalau gak gitu gak berhenti lingkaran setannya.
Aku telat komennya Tje. Kasian ya yang seharusnya anak-anak itu sekolah dan main, jadi mereka hanya bekerja terus. Aku kebetulan ada draft ttg ibu-ibu yang mengorbitkan anaknya jadi model atau pekerja dunia hiburan.
Nah itu kasihan banget anak-anak masih kecil mesti dibedakin dan dilipstikin demi obsesi ibunya. Apalagi yang anak kawin campur tuh.
halo mbak Tje, aku jarang banget kasi uang ke peminta2. terutama ke anak kecil. kita lebih suka bantu ke sekolah terpencil yang mana anaknya pingin sekolah tapi ga mampu.
jaman waktu kuliah dulu, anak ada pengemis yang kalo kita ajak makan ke kantin, dia gak mau. mintanya duit. dan saya lihat sendiri, ada pengemis ibu anak nenek turun dari angkot pakai pakaian bagus lalu ganti kostum gembel. semakin dikasi, semakin mereka mikir ngapain susah susah kerja, tengadahin tangan dapet duit kok
Iya di Indonesia pengemis tak bisa dipercaya. Mereka seperti mafia yang menjual belas kasihan.