Lonely Planet & Backpacking

Tahun 2012 saya off dari kantor selama satu bulan penuh. Berbekal Lonely Planet yang tebalnya tak karuan, 30 liter tas ransel, satu set kamera dan sandal gunung saya pun menjelajah beberapa negara-negara Asia Tenggara lewat jalan darat. Tanpa itinerary.

Foto-foto saya backpacking keselip, hard disk entah ada di mana…

Dari Jakarta saya terbang ke Penang, lalu memulai perjalanan darat ke Hat Yai, belok ke Phuket, lanjut ke Bangkok & nginep di Khao San Road. Dari Bangkok, lanjut ke Nong Khai. Lalu naik kereta dari Nong Khai ke Laos. Perjalanan di Laos berawal di Vientiane, lalu naik bis ke Vang Vien untuk merayakan Songkran. Dari situ balik turun ke Bangkok untuk pulang ke Jakarta.

Tanpa rencana, tanpa reservasi hotel. Semuanya serba mendadak & spontan. Jaman itu, Lonely Planet adalah barang paling berharga. Membolak-balik halaman untuk mencari tahu tempat-tempat menarik yang bisa dikunjungi, hostel murah, hingga tempat makan yang terjangkau. Semuanya berdasarkan kepercayaan bahwa Lonely Planet akan menawarkan tempat-tempat yang terbaik.

Perjalanan backpacking di atas bukanlah perjalanan pertama saya dan bukan satu-satunya. Tapi tahun itu bersejarah karena satu tahun setelahnya, saya gak bisa off selama sebulan penuh lagi. Padahal jatah cuti tahunan saya 30 hari. Boss saya rupanya merana karena saya off terlalu lama. Dan Lonely Planet saya pun duduk diam di rak, kesepian sambil menangkap debu.

Tsunami informasi & Lonely Planet

Sekarang dunia berubah. Kita mengalami tsunami informasi karena media sosial menawarkan aneka informasi tempat-tempat wisata yang bisa dikunjungi. Lengkap dengan visualisasi dan review bias sang influencer.

Saya sebut bias karena tak jarang influencer memberikan penilaian negatif karena mereka tak dapat imbalan, atau bahkan berlebihan memuji kecantikan satu tempat hanya karena faktor “Instagrammable”.

Kekuatan media sosial juga membuat tempat-tempat wisata jadi populer, hingga pengunjungnya membludak.

“Oh ini yang kemarin viral di TikTok?”

“Aduh bentar foto dulu, gak papa antri beberapa jam, buat Instagram”.

Saya pun tak memungkiri media sosial dan juga umur mengubah gaya jalan-jalan saya. Ransel yang sudah berusia 15 tahun lebih saya tinggalkan di Indonesia, dan saya ganti dengan koper kecil. Kamera DSLR dengan aneka lensanya pun saya hibahkan & saya gantikan dengan kamera iPhone.

Lonely Planet? Aduh gak inget lagi kapan terakhir saya pegang Lonely Planet. Lalu barusan saya buka-buka situs mereka dan ternyata mereka masih memproduksi banyak buku panduan jalan-jalan yang menarik. Kayaknya jalan-jalan selanjutnya mesti beli Lonely Planet deh, demi nostalgia masa lalu!

Selamat berakhir pekan!

xoxo,
Tjetje

Cerita Dari New York

Musim gugur tahun kemarin saya terbang melintasi Atlantik untuk urusan pekerjaan. Saya pun terbang lebih awal untuk berlibur terlebih dahulu dan menjelajah New York, the big apple, yang hanya berjarak tujuh jam penerbangan saja dari Dublin.

Enaknya kalau terbang dari Dublin, bandara ini punya namanya US-preclearance. Jadi urusan imigrasi diselesaikan di Dublin dan begitu tiba di US kita tinggal melenggang kangkung tanpa perlu antri imigrasi lagi. US-preclearance ini gak hanya ada di Dublin, tapi juga di bandara Shannon, Cork.

Petugas imigrasinya juga baik banget, gak pakai galak. Dia lihat saya ngajak suami, pertanyaannya yang ditanya malah soal shopping. “Jadi kamu kerja, suami kamu yang belanja? Do you have his credit card?” Saya pun langsung ngaku kalau saya bawa koper kosong buat belanja.

Kesan pertama

Buat saya, NY itu kayak area Sudirman di Jakarta yang dipebesar. Ukuran trotoarnya pun tak kalahlah dengan trotoar di Jakarta. Bedanya, karena saya datang pada saat musim gugur, hawanya sedikit lebih adem dari Jakarta. Minggu itu NY juga sedang sibuk banget, karena UNGA, General Assembly, acara tahunannya NY. Jalanan banyak yang ditutup karena tamu negara. Makin mantap lah saya melabeli NY sebagai Jakarta yang digedein beberapa skala. Tentunya NY jauh lebih diverse dengan penduduk dan turis dari berbagai belahan dunia.

Transportasi di NY sendiri sangatlah mudah dengan adanya Subway. Jempol deh transportasi umumnya, walaupun di Subway banyak orang aneh-aneh. Boss saya yang orang Amerika tapi udah ngewanti-wanti “NY ini bukan standar umum Amerika ya! Gak semua Amerika kayak NY”. Sementara kolega saya dari LA bilang: “Gw tiap kali ke NY pasti takjub dengan publik transportasi, karena di LA engga punya transportasi publik kayak gini”.

Pemandangan dari kantor saya di kawasan Times Square.



Uang Tunai, Tips dan Pajak Belanja

Belanja di Amerika itu pengalaman baru buat saya, karena harga yang terpampang belum termasuk pajak, ada tambahan beberapa persen. Kalau urusan makan, lebih ribet lagi karena ada pajak, plus ada tips. Yang seru kalau makannya di China town dan bayar tunai, bisa dapat diskon. Cash is king!

Nah soal tips dan pajak ini, salah satu hotel tempat saya menginap menyediakan sarapan untuk dua orang. Tapi ada batas maksimum, 50 dollar untuk dua orang. Angka ini buat di NY sangatlah kecil. Model sarapannya persis kayak di self-service cafe. Kita mesti ke kasir, order apa yang kita mau dari menu, lalu bawa sendiri ke meja. Tiap barang diberi harga yang jauh lebih mahal dari toko biasa. Saya yang anti rugi pun setengah mati ngitungin harga, pajak dan tips. Lama-lama saya capek, 50 dollar ini saya pakai buat sarapan suami, sementara saya sarapan di kantor. Sungguh konsep yang sangat absurd, seabsurd piring kertas, dan peralatan makan sekali buang di hotel yang ngakunya berbintang.

Irish dan NY

Orang Irlandia itu termasuk salah satu diaspora terbesar di NYC. Di daerah Battery Park di Manhattan ada reruntuhan rumah khas Irlandia yang menjadi simbol memperingati Irish Famine. Random banget tiba-tiba merasa di Irlandia tapi dikelilingi gedung pencakar langit. Ternyata oh ternyata rumah ini emang didatangkan dari Irlandia.

Selama di NYC saya juga pergi ke beberapa pub Irlandia di NY. Fun fact ternyata ukuran gelas pint untuk bir di NY tidaklah sama dengan di Irlandia. Di NY gelas pintnya lebih kecil dan isinya 95 ml lebih sedikit ketimbang di Irlandia. Gak cuma ke pub, biar seimbang, saya juga ke St. Patrick’s Cathedral. Katedral katolik yang terletak di 5th Avenue. Dan suami pun saya duduk manis untuk ikutan misa. Berdoa biar bisa balik lagi.

Penutup


NY ini kota yang “mempesona” dengan cerita gado-gado yang tak bisa saya tuliskan dalam satu blog post. Saya terpukau melihat tukang antri profesional yang rela tidur di luar demi perempuan-perempuan yang mengejar sale sepatu Jimmy Choo, hingga antrian turis yang berebut ingin memotret Starry Night-nya Van Gogh di MoMA.

Kota ini sungguh dimanjakan dengan berbagai kegiatan seni, tapi pada saat yang sama juga bergulat dengan bangkai tikus, bau pesing, dan tentunya bau ganja yang menyesaki sukma. Kendati begitu, saya masih ingin kembali. Satu wish list saya yang belum keturutan, saya pengen banget ikutan walking tour Hasidic Culture di Williamsburg!

Kamu, sudah pernah ke NY? Punya cerita apa soal NY?

xoxo,
Tjetje

Cuti Sakit

Di Irlandia, kalau kita kena pilek (ini gak sama dengan flu ya), dokter tak segan memberikan instruksi untuk istirahat, tak cuma satu dua hari, tapi bisa satu minggu. Sementara jika kita kena flu (ini mematikan dan orang tak bisa bangun dari tempat tidur, mesti ditawari uang segepok), dokter bisa memberikan surat sakit setidaknya sepuluh hari. Kalau pasien perlu istirahat ya harus istirahat.

Begitu juga ketika kita mengalami gangguan kesehatan jiwa. Di musim dingin seperti ini, dokter-dokter sudah sangat paham kalau banyak orang yang mengalami depresi. Mereka yang sibuk kerja hingga kelelahan, burn out, juga bisa dengan mudahnya mendapatkan ijin untuk istirahat. Dokter Irlandia tak segan memberikan waktu istirahat hingga hitungan bulan, tak lagi minggu. Mereka juga memberikan obat atau bahkan instruksi untuk terapi kejiwaan dengan profesional.

Perlu dicatat, tidak semua dokter seperti ini. Saya memperhatikan dokter-dokter Irlandia jauh lebih perhatian untuk hal-hal seperti ini. Sementara dokter yang dari luar Irlandia cenderung memberikan ijin yang lebih pendek, lalu diperpanjang jika diperlukan. Alhasil, pasien harus bolak-balik ke dokter dan bayar ongkos konsultansi.

Penghasilan ketika sakit

Cuti sakit sendiri tak selalu dibayar penuh. Ada banyak perusahaan yang memberikan 100% gaji selama beberapa masa, lalu persentase ini akan diturunkan. Jika pasien masih sakit, ada asuransi proteksi penghasilan yang akan membayarkan persentase penghasilan.

Tak semua perusahaan membayar cuti sakit. Nah kalau perusahaan tak membayar cuti sakit, negara yang akan hadir untuk membayar cuti sakit. Ini gak gratis ya, karena uang ini datangnya ya dari pajak-pajak yang kita bayarkan. Jumlahnya tak banyak, maksimal 110 Euro per hari selama tujuh hari.

Sick payment ini baru diperkenalkan awal tahun ini, tujuannya supaya orang-orang yang sakit, misalnya kena covid, gak perlu ke kantor dan menulari rekan-rekan kerjanya. Angka ini sendiri kelihatan besar kalau dirupiahkan, tapi bagi mereka yang mendapatkan penghasilan di atas 110 Euro per hari, angka ini ya jelas recehan.

Cuti sakit bukan berarti harus di tempat tidur terus. Bisa jalan-jalan dan healing.


Cuti sakit adalah hak

Sekali lagi cuti sakit adalah hak pekerja. Kalau mereka sakit ya harus istirahat. Pemberi kerja pun tak bisa memaksa mereka untuk bekerja, apalagi kalau dokter sudah memutuskan mereka “gak sehat” untuk kerja. Kalau dipaksa kerja ya malah berisiko.

Sayangnya, tak semua orang melihat cuti sakit ini sebagai hak. Baru-baru ini saya melihat sebuah Thread yang ngomel-ngomel karena koleganya sakit, dianggap memanfaatkan situasi karena sering ijin sakit hingga beberapa minggu. Lalu masih ditambah stempel “sus”, mencurigakan. Bagi saya, ini sebuah komentar yang tak hanya sinis, tapi juga jahat dan tanpa empati. Mentang-mentang sehat, terus yang sakit harus dituduh ini itu…

Oh btw, di sini kita gak perlu tahu (dan gak elok juga untuk tanya) bagaimana kondisi kesehatan jiwa dan kesehatan fisik orang lain. Orang lain tak perlu menjelaskan masalah kesehatan mereka, ini urusan mereka dengan dokter. Kalau kemudian mereka cerita, itu sih lain cerita. Tapi sekali lagi, urusan kesehatan orang bukan urusan kita, dan kita juga gak berhak tanya, apalagi ngurusin. Dokter sebagai profesional berhak memutuskan apapun yang terbaik untuk pasiennya.

Penutup

Selama saya bekerja di Eropa, saya sudah bolak-balik melihat kolega yang kelelahan kerja, hingga harus istirahat dan cuti sakit panjang. Tak jarang ketika mereka sakit, mereka masih menikmati hidup dan jalan-jalan. Ketika mereka kelelahan jiwa, penting emang buat mereka supaya bisa jalan-jalan. Saya yang sehat, kerja normal dan tentunya mengerjakan kerjaan mereka yang sedang sakit.

Ketika saya sakit, hingga harus tak bekerja selama beberapa minggu, ya gantian, kolega saya yang ngurusin kerjaan saya. Gak perlu ikut kelelahan juga, cukup ngerjain apa yang bisa dikerjakan selama 8 jam. Kalau kemudian kerjaan menumpuk, ya tinggal minta bantuan kolega lain.

Terus kalau nggak pernah sakit dan gak pernah cuti? ya disyukuri, karena punya imunitas tubuh yang bagus itu kayak menang lotere!

xoxo,
Tjetje



Halloween: Tradisi Pagan dari Irlandia

Halloween baru saja usai pada pada akhir bulan Oktober kemarin. Di Irlandia, rumah dan tempat asal dari Halloween, perayaan ini disebut sebagai Samhain. Tradisi ini merupakan tradisi yang berasal dari Celtic pagan untuk memperingati perubahan musim, dari musim panas menuju musim dingin yang gelap. Oh ya, Halloween sendiri merupakan tradisi yang sudah ada jauh sebelum agama Kristiani masuk ke Irlandia.

Pada saat Halloween, masyarakat mempercayai bahwa tabir antara orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati semakin menipis. Tak hanya jiwa-jiwa yang berkeliaran, tapi juga para hantu dengan energi negatif. Makanya kemudian orang-orang berdandan menyerupai hantu supaya mereka tak diganggu dengan hantu dengan energi negatif.

Saya sendiri sangat percaya dengan tabir tipis pada saat Halloween. Beberapa tahun lalu, saat Halloween, saya sempat ditumpangi oleh jiwa yang lagi berkeliaran. Dia duduk di kursi penumpang di mobil saya, sampai lampu indikator sabuk pengaman tak mau berhenti berbunyi. Saya tak tahu nama jiwa yang lagi jalan-jalan, yang saya tahu dia seorang laki-laki dan saya tahu persis dimana hidupnya berakhir. Perlu beberapa tahun bagi saya untuk memecahkan misteri siapa pria ini. Ternyata, cara paling mudah untuk mencari tahu hal seperti ini adalah bertanya pada pemilik pub lokal. Mereka langsung tahu siapa pria ini.

Di masa lalu, orang-orang di Irlandia juga berkeliling di wilayah tempat tinggal mereka. Mereka juga memahat lentera, tapi bukan dari labu, melainkan dari turnip, sejenis lobak. Bagi saya, turnip yang dipahat ini jauh lebih menyeramkan daripada labu.

Lalu, bagaimana ceritanya turnip ini berubah menjadi labu? Para diaspora Irlandia membawa tradisi ini ketika mereka pindah ke Amerika. Mereka memahat labu, karena labu lebih mudah ditemukan di Amerika ketimbang turnip. Akhirnya, labu jadi lebih banyak digunakan ketimbang turnip. Mereka pulalah yang membuat Halloween menjadi perayaan meriah yang mendunia.

Di Irlandia sendiri perayaan Halloween bisa dibilang cukup meriah. Kantor-kantor biasanya mengadakan pesta Halloween bahkan memberikan hadiah untuk mereka yang menang kostum terbaik. Ada banyak festival dan juga parade yang dilakukan di banyak tempat di Irlandia. Salah satunya festival Púca. Tak hanya itu, di Irlandia juga banyak bon fire yang dibakar pada saat Halloween.

Kembang api dan petasan sendiri mulai sering dinyalakan beberapa minggu sebelum Halloween. Di kampung saya malah sudah mulai sejak awal Oktober. Yang kasihan tentunya hewan-hewan ternak dan hewan peliharaan seperti anjing, karena ketakutan bahkan bisa melarikan diri dari rumah. Di Irlandia, petasan ini merupakan barang terlarang, tak boleh diperjualbelikan. Biasanya, mereka yang menyalakan petasan ini membeli dari Utara Irlandia, karena mereka bukan bagian dari Republik.

Menjelang Halloween di sekolah anak-anak juga ada “dress up day”. Hari dimana mereka menggunakan kostum ke sekolah. Lalu pada tanggal 31, ketika matahari tenggelam, sekitar pukul 5.30 sore, anak-anak di desa saya akan berkeliling untuk mencari permen. Mereka melakukan tradisi “Trick or Treat”, lalu berdandan dengan aneka kostum dan juga menggunakan make up. Anak-anak ini kemudian akan mengetuk pintu untuk minta permen.

Tiap tahun saya menyiapkan wadah kecil yang saya isi aneka permen dan coklat untuk anak kecil-kecil yang mengetuk pintu rumah kami. Tahun pertama saya membuat 30 wadah, lalu tahun selanjutnya 40, angka ini terus naik karena anak-anak makin banyak yang mampir ke rumah kami. Tahun ini saya pecah rekor membuat 100 wadah kecil. Saya mengisi tas ini dengan permen lollipop, coklat, dan juga jelly. Tak cuma itu, anak pertama yang datang ke rumah saya juga dapat coklat spesial.

Tiap tahun saya selalu dapat komentar “niat banget bikin tas kecil gini”. Ya gimana gak niat kalau anak-anak ini bisa dapat secuil kebahagiaan. Anak-anak ini juga gak enggan untuk mengekspresikan kesenangan mereka.

Tahun kemarin, paska Halloween, beberapa anak kecil di komplek berlarian menemui saya dan bercerita kalau mereka dapat Kitkat Witch dari rumah saya dan mereka senang tak karuan. Tahun ini, seorang anak kecil berteriak dengan antusias di depan rumah saya: “Lindsay, we got a bag in this house”. Lalu Lindsay pun buru-buru lari menghampiri saya. Dan saya pun berteriak: “Come back again next year, we always do this every year”.

xoxo,
Tjetje

Diaspora Palsu: Duta Cuih & Dublin 18

Selama tinggal di Irlandia, saya sudah banyak melihat media sosial menjadi alat untuk berbagi kepalsuan yang sudah dipoles sedemikian rupa supaya supaya orang tampak “wow”. Tapi begitu layar disibak, banyak kebohongan yang diunggah di media sosial demi mencari validasi. Dari yang paling sederhana, gelas cocktail pinjaman untuk konten “have fun“, kunci rumah sewaan yang dipamerkan seolah hasil beli rumah baru, hingga pamer suami baru yang secara hukum masih menjadi suami orang. Semua demi validasi.

Studi kasus: Stephanie, Dymphna, or whoever her name is

Di Irlandia itu gak cuma nama chef aja yang dipasang di situs resto, sommelier pun juga suka ditulis di sana.


Salah satu kisah paling absurd yang pernah saya temui adalah dari seseorang yang menyebut dirinya Dymphna, Stephanie, istri Logan. Di Threads ia memperkenalkan diri sebagai guru lulusan kampus ternama Irlandia, istri selebriti chef yang punya TV show dan bekerja di restaurant Michelin berbintang dua. Suaminya diklaim sebagai korban bom Omagh. Tak cukup, ia pun mengaku sudah mendapat paspor Irlandia hanya dalam waktu 7 bulan ketika lari dari peristiwa politik di Indonesia. Keluarga suaminya dijabarkan sebagai anggota DPR Irlandia yang memiliki supir pribadi dan punya rumah berjejer di Dublin 18.

Ia menggambarkan diri sebagai diaspora yang masih sangat peduli dengan Indonesia. Tapi, kemudian ia dinobatkan sebagai “Duta Cuih” karena perilakunya yang menghina banyak orang Indonesia. “Dasar mikin, dasar 62” menjadi hinaan yang dengan mudahnya ia lontarkan kemana-mana. Tak terhitung berapa banyak diaspora yang suaminya dia hina. Belum lagi banyak ujaran kebencian terhadap seluruh pemeluk agama. Katanya paling peduli sama Indonesia, tapi perilakunya sangat membenci Indonesia dan masyarakat Indonesia.

Saya tadinya tak peduli dengan keanehan dia. Komen-komen dia tak saya gubris, karena saya tak mau berinteraksi dengan manusia sampah yang kerjannya menghina dina orang Indonesia. Sampai kemudian saya dan seorang netijen lain disenggol. Diumpat.

Kami pun menelurusi klaim dia dan menemukan cerita si Dymphna ini penuh dengan kebohongan. Dari soal suami yang tidak eksis dan nama sang chef tidak ada di restauran manapun di seluruh tanah Irlandia. Tidak ada kandidat ataupun TD dari partai apapun yang diklaim sebagai mertua dia. Bahkan cerita mendapatkan kewarganegaraan pun tidak masuk akal, karena bertentangan dengan aturan resmi imigrasi Irlandia.

Sementara di Irlandia pakai ISL, bukan BSL. Dan gak mandatory juga…



Lubang-lubang di cerita dia pun masih banyak, bisa jadi sebuah artikel berseri jika semua lubang ini saya buka. Tapi dari seluruh penelusuran ini, hasil temuan paling epik adalah mbak Stephanie ini masih tinggal di Indonesia, masih memegang paspor Indonesia, bahkan masih nyoblos di Indonesia, bukan di Dublin 18. Ada yang mengklaim ia seorang buzzer, makanya konten yang ia buat sangat vocal menyuarakan ketidaksukannya pada pemerintah dan rajin menyulut amarah dengan ujaran kebencian.

Pajak di Irlandia itu sama untuk seluruh lapisan masyarakat. Gak ada gaji TD bayar pajak lebih tinggi, apalagi gaji mereka gak gede-gede amat. Dokumen pajak di sini juga cuma selembar, bolak-balik, bukan segepok.


Kesimpulannya

Kebohongan si Stephanie ini mungkin terlihat gak harmful, tapi bagi saya, cerita-cerita dia yang tak akurat ini menyesatkan. Fakta kehidupan di Irlandia yang dia bagikan ngaco, sejarah Irlandia dikacaukan. Contoh sederhananya, harga tempe dan bahan pakan untuk masak makanan Indonesia yang murah dan mudah ditemukan ia diceritakan sebagai bahan mahal yang susah ditemukan.

Tempe di Irlandia cuma 2.8, sekilo engga sampai 7 Euro dan ini barang murah, bukan sebuah hal mewah.

Tak hanya itu, narasi palsu soal mencari suaka secara kilat di Irlandia ini juga berbahaya. Orang jadi melihat sistem imigrasi Irlandia itu longgar dan proses pengambilan kewarganegaraan bisa dimanipulasi “hanya dengan jadi mantu TD”. Padahal, prosesnya tak mudah, dan perlu waktu bertahun-tahun.

Stephanie menjadi pengingat bahwa sosial media bukanlan dunia nyata. Banyak orang terobsesi pada validasi hingga harus menciptakan cerita fiktif. Mereka haus dengan interaksi kita, karena interaksi yang kita berikan, memberikan traffic, engagement dan mungkin cuan. Akun dia juga mengingatkan kita untuk tidak mudah percaya dengan media sosial. Jangan pernah lupa untuk mengecek ulang cerita orang.
 
Lalu, dari sekian banyak pengguna media sosial, tetangga dan keluarganya Stephanie ada di mana? Sudah menyerahkan kalian dengan kehaluan dia?

xoxo,
Tjetje

PS: Rentetan kehaluan ini bisa dilihat di pin Thread saya

PPS: Sudah ada temen kuliahnya yang bahas, ternyata emang dia punya gangguan kesehatan dan hidupnya miserable banget. Jadi kehidupan daring adalah “segalanya” buat dia. Semoga dia dapat bantuan, karena dia bener-bener perlu.

Cinta Lintas Bangsa & Minta Uang Saku

Hubungan cinta lintas bangsa itu warna-warni. Di satu sisi ada yang diberikan kesejahteraan oleh pasangannya ketika masih pacaran, di sini lain ada yang bergulat bertahan hidup supaya anaknya punya perut kenyang di negeri orang. Tulisan ini hasil observasi saya ketika membaca, melihat, atau bahkan mendengar perjuangan diaspora pelaku kawin campur.

Ketika masih pacaran

Pernah lihat gak orang yang pamer ketika diberi uang oleh pacarnya yang orang asing? Glorifikasi seperti ini ada banyak di media sosial, dan opini orang terhadap topik ini beragam. Ada yang setuju, ada yang tak setuju, bahkan ada yang berkelahi internasional di TikTok antara bini bule vs pacar bule.

Berkelahinya kenapa? karena kepantasan meminta uang jatah bulanan pada pasangan secara rutin. Masalahnya, personal value dan nilai kepantasan tiap orang itu berbeda-beda. Mau berkelahi sampai pagi juga pasti ada kelompok yang merasa penting untuk bisa minta uang dari pria, yang belum menjadi suami sekalipun, tapi ada pula yang menolak dan minta split bill.

Minta uang sendiri, ketika dua belah pihak yang terlibat sama-sama dewasa dan setuju tanpa paksaan atau manipulasi, bukanlah sebuah hal yang melanggar hukum. Nah yang jadi “masalah” itu kalau ada proses meminta ini tidak dilakukan dengan cara yang tepat. Ekpektasi bahwa laki-laki harus bertanggung jawab dimunculkan ketika masih pacaran.

Nah kalau udah kayak gini jadinya urusan percintaan udah kayak transaksi aja. Apalagi kalau kemudian proses meminta ini diiringi dengan manipulasi secara emosi, berkedok tes cinta atau tes kesetiaan, yang memberikan tekanan luar biasa pada pihak pria.

Lalu, perilaku manipulasi ini tak jarang ditemani dengan komentar dan perlakukan yang membuat psangan jadi seperti ATM. Dipanggil ATM atau bahkan bank pusat. #KisahNyata Sungguh perlakukan tak manusia yang hanya berfokus untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Nah kalau sudah gini, jadinya ini ekploitasi, bukan cinta. Tapi ini ya jadi masalah mereka, bukan masalah kita. Kibarkan bendera merah.

Masalah keuangan ketika sudah mengikat janji

Nah kalau di atas soal minta uang saat pacaran, pada beberapa perkawinan, ada masalah yang berbeda. Uang belanja tak cukup dan pasangan, yang merupakan warga negara asing, tak mau atau tak mampu menambah uang belanja. Sementara ongkos hidup di negeri asing sangatlah tinggi. Minta uang, engga dikasih dengan banyak alasan.

Kalau sudah begini ya harus putar otak, salah satunya bisa dengan bekerja. Inipun dengan catatan, kalau diijinkan pasangan. Kalau tak diijikan, ya jadinya curhat di forum-forum diaspora, atau perkawinan campur untuk menemukan solusi gimana cara berkomunikasi dengan pasangan supaya duit bulanan ini bisa ditambah.

Berapa sih dana yang gak cukup ini? Seribu, dua ribu, tiga ribu, atau ribuan lainnya? Bukan, ini bahas yang di bawah 500 Euro sebulan, kurang dari 50 Euro per minggu, atau yang sama parahnya, mereka yang hanya diberi tunjangan anak dan harus mengelola dana tersebut untuk belanja selama sebulan. Sementara mereka tinggal di negara-negara Eropa Barat yang biaya hidupnya tinggi. Berapa rekor terparah yang saya pernah dengar? dua puluh Euro per minggu!

Akibatnya, mereka kesulitan untuk mencukupi hidup. Otak harus diputar, sementara bekerja kadang-kadang bukan pilihan, apalagi ketika punya anak kecil. Saking sulitnya, sampai ada yang harus menahan lapar di tengah gigitan musim dingin. Untungnya komunitas diaspora itu gotong-royongnya cukup kuat, jadi terkadang ada yang mengorganisir pengumpulan bahan-bahan pangan supaya mereka tak kelaparan. Tapi tentunya sumbangan seperti ini tak bisa dilakukan secara rutin.

Kesimpulannya?
Kultur kita menempatkan ekpektasi pembiayaan rumah tangga dibebankan pada pihak pria, sementara pihak perempuan mengelola dana untuk manajemen rumah tangga. Alhasil, ada rasa bergantung yang tinggi pada pasangan. Menggantungkan hidup, bagi saya, harus dibarengi dengan kepercayaan yang tinggi pada pasangan dan juga pengetahuan bahwa pasangan mampu dan mau membiayai hubungan.

Gimana cara tahunya? duduk bareng dan bicara. Harus bicara, jangan bermodalkan observasi. Apalagi jika ketemu dengan pasangan hanya dalam situasi liburan, dimana pasangan terlihat “makmur, sejahtera dan baik hati” akibat nilai tukar mata uangnya. Terlihat mampu di Indonesia tak menjadi jaminan, karena tak sedikit yang kembali ke negeri asal ternyata duitnya pas-pasan dan tak mau berbagi sama sekali, bahkan pada anaknya sendiri. Kita yang dewasa bisa nahan lapar, sementara anak kecil, tak tahu apa-apa & bisa berakhir kekurangan gizi.

Ah wis lah embuh…

xoxo,
Tjetje


Persyaratan Gaji Minimal Untuk Visa Pasangan Irlandia


Waktu saya pindah ke Irlandia dulu, saya takjub dengan proses pengajuan visa yang relatif santai. Slip gaji hanya diminta ketika saya mengajukan visa untuk pindah ke Irlandia. Begitu sampai Irlandia dan melaporkan diri ke imigrasi untuk perpanjangan visa, tak ada pertanyaan tentang gaji sama sekali. Tak ada proses screening untuk mengecek bahwa pasangan saya ini mampu untuk menghidupi istrinya. Waktu itu, kami juga sempat tahu beberapa orang Irlandia yang bergantung pada bantuan sosial yang bisa membawa pasangannya pindah ke Irlandia.

Sungguh sebuah proses yang bertolak belakang dengan tetangga seberang laut, Inggris, yang sangatlah ketat dalam urusan visa spouse. Saking ketatnya aturan ini, mahasiswa yang bertemu jodohnya ketika kuliah di London, misalnya, setelah kawin belum tentu bisa dapat visa tinggal, karena gaji pasangannya (yang baru lulus kuliah) tidak sesuai persyaratan. Alhasil, ada beberapa pasangan muda dari Inggris yang kemudian memilih tinggal di Irlandia karena urusan visanya lebih santai.

Itu dulu, sekarang ceritanya lain lagi!

Reflecting the balance of interests referred to and the economic factors that
must bear on decision making, sponsors will have to achieve minimum levels
of earnings prior to being eligible to sponsor a family member. This will be set
at a cumulative gross earnings figure of €40k over 3 years where the sponsor is
an Irish citizen and a higher level where the sponsor is a non-EEA national.
Social welfare payments will not be reckonable as earnings for this purpose.
Source: Policy Document on Non-EEA Family
Reunification


Sekarang, urusan gaji ini sudah mulai disorot oleh imigrasi dan yang bergantung pada bantuan sosial, gak bisa bawa pasangannya ke Irlandia lagi. Lalu, ada minimum gajinya, 40 ribu selama tiga tahun, ini kumulatif ya. Dana bantuan sosial juga tidak dilihat sebagai penghasilan. 40 ribu selama tiga tahun ini kecil banget ya, apalagi ini penghasilan kotor.



Ini artinya, mereka yang bekerja paruh waktu (20 jam), dengan upah minimum Irlandia dan masih bergantung pada bantuan sosial, masih bisa membawa pasangannya. Mereka yang bekerja paruh waktu ini, kalau menurut perhitungan saya, bisa membawa penghasilan kotor 14 ribu Euro per tahunnya. Ini rendah sekali kalau dibandingkan tetangga sebelah yang mengharuskan gaji minimal per tahun sebesar £29 ribu untuk membawa pasangan.

Walaupun persyaratan gaji minimal Irlandia ini cenderung kecil, saya masih mendengar beberapa kasus, sayangnya tak cuma satu, warga Indonesia yang tak bisa pindah ke Irlandia karena masalah gaji ini. Visanya ditolak! Kenapa? karena nanti jadi beban negara, jadi beban pembayar pajak dan malah ngerepotin dan tak mandiri di negara orang.

Nah kalau sudah gini apa solusinya? Sungguh ini pertanyaan yang susah. Bisa cari kerja dan nunggu selama tiga tahun, atau cari alternatif tinggal di negara lain, tapi tentunya dengan resiko kehilangan bantuan sosial dari Irlandia.

Lalu kesimpulannya?

Sebelum hubungan percintaan beranjak ke jenjang yang lebih serius, ada baiknya diskusikan dulu banyak hal dengan pasangan, termasuk soal kondisi finansial. Nah kalau sudah bahas soal duit, pola pikirnya juga jangan pakai pola pikir Indonesia. Jumlah Euro yang didapatkan oleh pasangan, jangan langsung dikalkulasikan ke dalam rupiah. Contohnya, ketika pasangan dapat bantuan sosial 4,5 juta per minggu, mata jangan langsung terbelalak dan kepala jangan langsung bikin rencana untuk belanja, jalan-jalan, serta foya-foya. Di Irlandia, dana segitu untuk seminggu sangatlah mepet.



Bicara soal keuangan ini penting ya, apalagi kalau ketemu pasangan cuma sesekali, bertemu dengan mode liburan, foya-foya di Indonesia (yang nilai tukarnya hancur dan jadi sangat “murah”), lalu selalu ditraktir. Mabuk nilai tukar rupiah namanya. Lalu, kepala mengasumsikan kalau pasangan ini mampu secara ekonomi dan tentunya mampu memberi sponsor visa. Jangan berasumsi, tanya dan diskusi.

Diskusi dengan pasangan yang bergantung pada bantuan sosial tentang rencana keuangan juga penting. Jangan enggan untuk menanyakan kenapa dan bertanya apa rencana mereka untuk keluar dari bantuan sosial? Apakah mereka mau bergantung seumur hidup, atau akan mandiri? Apakah kalau sudah pindah ke Irlandia, pasangan akan kembali ke bantuan sosial? Apakah kemudian akan cari rumah sosial? Apakah di masa depan pasangan diperkenankan bekerja dan menambah penghasilan? Apakah pasangan akan baik-baik saja jika bantuan sosial terkena dampak dari bertambahnya penghasilan? Soal pertanyaan terakhir ini, ada beberapa orang yang dilarang pasangannya bekerja, padahal masih muda dan masih dalam usia produktif, karena punya penghasilan berarti tak bisa dapat aneka bantuan sosial.

Perlu dicatat, bantuan sosial itu gak melulu jelek ya, sistem ini ada untuk membantu orang-orang yang mengalami kesulitan. Tapi pada saat yang sama, ada orang-orang yang memilih untuk bergantung pada bantuan sosial dan tak berdiri mandiri, karena “kenyamanan” yang ditawarkan.

Terakhir, ya mesti realistis. Kalau memang cita-cita pengen punya pasangan bule, tinggal di luar negeri, punya sawah luas di tanah air beserta sapi, kambing dan bebek, ya carilah pasangan yang bisa mewujudkan cita-cita ini. Kalau kemudian tak bisa, lebih baik cari pasangan yang lain. Daripada terlanjur mengikat janji, terus kecewa dengan kenyataan tak bisa pindah ke luar negeri, karena pasangan tak mampu menyeponsori visa.

xoxo,
Tjetje

Diaspora, Dana Darurat & Sumbangan

Salah satu hal yang WAJIB dimiliki oleh diaspora yang tinggal jauh dari tanah air adalah dana darurat. Ini wajib, gak ada pilihannya untuk tidak punya. Kita yang tinggal jauh dari tanah air dan keluarga ini harus siap ketika mendadak diperlukan kehadirannya di tanah air. Sebenarnya dana darurat ini tak hanya untuk pulang ke Indonesia, tapi juga jika terjadi bencana kecil hidup di tanah asing. Misalnya tiba-tiba sakit dan harus tak bekerja selama beberapa waktu dan mesti mondar-mandir ke rumah sakit. Biaya RS di sini gratis, tapi ongkos parkir, jika harus bolak-balik, tidaklah sedikit.

Masalah klasik dari diaspora Indonesia, tak semua tentunya, adalah hidup mereka terlihat sangat glamor dan mewah, tak jarang ditemani embel-embel bokap guwe kaya. Tapi begitu ada tragedi menyentuh hidup, ternyata tak punya dana darurat. Pergi ngopi-ngopi cantik dan fine dining bisa, bahkan media sosial bisa sampai bikin orang lain silau, tapi giliran kena musibah, ngerepotin orang dan mengandalkan bantuan orang lain. Biasanya, bukan mereka sendiri yang minta, tapi lingkaran sosial mereka, yang tahu kalau mereka gak punya duit. Saya sendiri guilty atas hal ini, karena pernah ngumpulin duit untuk diaspora glamor yang bokek. Menariknya, orang juga males ngasih duit karena keglamoran mereka. LOL

Komunitas diaspora Indonesia sendiri jika melihat orang lain tertimpa musibah masih sangat suka untuk menggalang dana dan merasa iba. Tak hanya membantu yang kurang mampu, tapi juga membantu para diaspora glamor bokek yang saya gambarkan di atas. Dari menggalang dana untuk yang sakit, kerabatnya meninggal dunia, diaspora meninggal dunia, hingga untuk orang yang anggota keluarganya masuk penjara. Saking senangnya menggalang dana, bahkan pernah ada yang ribut karena rebutan jadi pengumpul dana. Alamak apa coba ini, rebutan pengen kelihatan punya empati paling tinggi?

Di sini, jika ada penggalangan dana, biasanya uang dikumpulkan ke satu koordinator. Koordinator ini kemudian akan membuat grup chat, mengundang orang-orang dan meminta orang-orang ini untuk mengundang orang lain. Macam MLMlah. Penggunaan situs macam GoFundMe sendiri belum pernah saya lihat & semua masih dilakukan secara manual. Jadi tak heran kalau koordinator sampai rebutan menggalang dana, karena dana masuk ke rekening mereka semua dan mereka yang “akan dapat nama” karena melakukan hal terpuji. Makanya pada rebutan.

Dalam proses mengumpulkan sumbangan sendiri, orang-orang yang terkenal dermawan biasanya akan dicari untuk memberikan sumbangan dalam jumlah agak besar. Mereka ini pendongkrak supaya sumbangan terlihat besar. Mirisnya, mereka yang suka memberikan donasi lebih besar ini hanya akan diingat jika dompet mereka perlu dibuka & tak akan dicari untuk acara makan-makan. Bahkan ketika mereka sendiri mengalami tragedi dalam hidup, orang tak akan membantu. Boro-boro kirim sumbangan balik buat mereka, mengucapkan duka atau bahkan kirim kartu duka pun tak akan.

Pengalaman saya

Setelah bermukim di Irlandia cukup lama dan belajar dari segala macam sumbang-menyumbang, saya menjadi sangat picky. Saya belajar menolak untuk memberikan sumbangan, apalagi kalau alasannya tak masuk akal. Prinsip saya, menjadi diaspora itu harus belajar untuk bertanggung jawab terhadap diri sendiri, mesti punya dana darurat dan tak merepotkan orang lain. Lagipula, di belahan bumi dimana saya berpijak ada banyak bantuan dari dana pembayar pajak.

Saya juga belajar untuk tidak menggarami air laut, tak perlu segan untuk menolak menyumbang diaspora yang glamor dan hidupnya kaya-raya, pura-pura sekalipun. Sumbangan juga sebaiknya diberikan langsung kepada yang mengalami tragedi, gak lewat koordinator. Ini artinya, saya juga mesti benar-benar kenal dengan yang mengalami tragedi.

Jangan salah, sudah kenal pun bisa tertipu dan dimanfaatkan oleh diaspora lain. Kisah sedih tragedi dijual, bahkan lengkap dengan manipulasi supaya orang jatuh iba dan memberi sumbangan. Begitu menerima sumbangan, yang jumlahnya tak sedikit, pemberi sumbangan dijelek-jelekkan dan pertemanan diputus. Kisah ini, unfortunately, nyata.

Penutup

Beberapa waktu ini, saya mendengar ada adik-adik diaspora yang mengalami tekanan sosial untuk menyumbang. Mereka tiba-tiba dimasukkan ke dalam grup WhatsApp dan dimintai sumbangan untuk orang yang mereka hanya pernah bertemu sekali atau bahkan tak kenal. Keperluan sumbangan ini macam-macam, dari hadiah perpisahan hingga sumbangan dana kematian.

Beberapa dari mereka kemudian merogoh kocek, mengambil sisa-sisa koin.

Teruntuk adik-adik diaspora yang baru pindah ke Irlandia, yang baru meniti karir, yang masih menyesuaikan diri dengan tingginya biaya hidup di Irlandia, yang gajinya mepet UMR, yang baru mengumpulkan koin-koin untuk tabungan dana darurat, yang jadi generasi sandwich, belajarlah menolak menyumbang.

Jangan segan untuk menolak tanpa memberikan penjelasan. You don’t owe anyone an explanation gimana kalian ngurusin duit kalian. Kalau segan, bisa bilang sedang banyak pengeluaran. Gak perlu juga merogoh kantong mengambil koin recehan yang kalian genggam erat-erat. Koin-koin itu berharga, bisa untuk beli beras bagi keluarga yang kalian tanggung di Indonesia.

Memprioritaskan diri sendiri itu gak salah kok. Toh duit-duit kalian, hasil keringat kalian sendiri! Lagipula, nanti, kalau lihat diaspora yang mengalami tragedi tiba-tiba beli tas branded, atau pergi jalan-jalan ke luar negeri, bisa robek hati kalian. Teriris-iris rasa miris.


xoxo,
Tjetje



Malas Jalan Kaki

Kantor saya di Jakarta dulu terletak di area Senopati, kalau waktu makan siang, saya dan beberapa rekan kantor sering melipir ke Plaza Senayan (PS). Kendati jarak dari kantor ke PS tak sampai 15 menit berjalan kaki, saya selalu naik taksi dan menolak jalan kaki. Bagi saya, jalan kaki ketika makan siang itu menyiksa, karena tubuh harus bermandikan keringat terbakar teriknya panas matahari. Tapi, kalau disuruh lari-lari sore, ketika matahari tak tinggi, di GBK Senayan, atau jalan kaki di treadmill Fitness First saya tak keberatan.

Bagi saya, yang membuat saya malas jalan kaki di Indonesia itu ada beberapa hal. Pertama, cuaca yang terlalu panas, ditambah dengan asap kendaraan dan polusi Jakarta yang tak karuan di siang hari. Ketersediaan trotoar yang adem dan layak juga menjadi faktor lain. Trotoar di Sudirman mah nyaman, tapi pada jaman itu tandus, tanpa pepohonan. Entah sekarang yang. Selain itu, berjalan kaki di trotoar itu tak selalu nyaman, ada saja gangguannya. Dari lahan trotoar yang penuh dengan motor yang diparkir, hingga pedagang kaki lima yang menghabiskan banyak lahan untuk berjualan. Faktor lain adalah soal keamanan sebagai perempuan, karena males banget kalau mesti jalan kaki terus digodain orang-orang yang lagi nongkrong di pinggir jalan.

Jalan kaki di Irlandia
Begitu pindah ke Irlandia, penyakit malas jalan ini masih sempat terbawa-bawa. Kali ini bukan karena alasan-alasan di atas. Bukan juga karena hawa dinginnya, tapi karena ANGIN. Jalan kaki dalam kondisi dingin mah tak terlalu berat, selama menggunakan pakaian yang tepat. Tapi kalau sudah terterpa angin (dan hujan), ampun deh.

Dulu, waktu tinggal di Dublin rumah kami terletak tak jauh dari kaki gunung. Angin di daerah ini menusuk-nusuk ke tulang. Apalagi jika saya harus jalan dari rumah ke halte tram dan harus melewati lapangan luas yang tak ada pemecah anginnya. Perjuangan banget kalau harus geret tas belanja dan tertepa angin. Rambut yang baru dikeringkan pun dipastikan akan hancur berantakan.

Rumah kami ini dekat dengan aneka supermarket yang bisa ditempuh dengan jalan kaki. Nah, satu ketika, saya memilih naik tram untuk jarak sangat dekat, hanya dua stop. Saya pun ditegur kakek-kakek yang menuduh saya males karena dua stop saja naik tram. Tak kehilangan akal, saya pun berujar: “Eh, saya kan berkontribusi pada perekonomian Irlandia dengan bayar ongkos tram ini”. Diam deh itu kakek.

Malas jalan kaki sendiri di sini bukan pilihan, karena seringkali berjalan kaki menjadi moda transportasi yang tercepat ketimbang menunggu kendaraan umum. Apalagi kalau nunggu kendaraan ini harus berdiri beberapa menit di halte. Males deh, mendingan badan dibawa bergerak dan berjalan kaki.

Sejak pensiun dari lari, jalan kaki juga menjadi salah satu olahraga utama saya. Jalan kaki di negeri empat musim ini kalau menurut dokter saya sangat bagus, karena menurunkan resiko depresi. Memiliki anjing juga sangat membantu memotivasi diri untuk jalan kaki. Anjing saya hampir setipa hari minta dibawa jalan sedari pagi, terutama jika cuacanya bagus. Jika cuacanya buruk, dia menolak turun dari tempat tidur dan memilih tidur di bawah selimut.

Cuaca Irlandia yang tak tentu juga membuat perubahan kebiasaan. Pokoknya kalau matahari keluar harus cepat-cepat jalan kaki, karena beberapa waktu kemudian cuaca ini bisa berubah menjadi hujan badai. Makanya kalau cuaca sedang sangat baik, saya bisa mengelilingi desa tempat saya tinggal hingga tiga kali. Kadang saya juga jalan-jalan menyusuri kanal sambil melihat kuda, sapi, domba dan juga aneka burung. Bisa jalan kaki dengan kualitas udara yang baik itu menurut saya adalah sebuah kemewahan yang tidak didapat ketika tinggal di Jakarta.

Jalan kaki di sini tak melulu enak, karena ketika cuaca sudah mulai cantik, jumlah serbuk sari (pollen) yang bertebaran di udara meningkat dengan pesat dan banyak orang tenggorokannya gatal-gatal, kemudian bersin-bersin terkena hay fever. Ini penyakit khas musim semi dan musim panas yang cukup mengganggu di sini.

Eh btw, walapun sudah rajin jalan kaki setiap hari, saya kalau disuruh jalan kaki lagi dari Senopati ke Plaza Senayan untuk makan siang gak bakalan mau. Ogah, panas banget. Mendingan saya naik taksi aja, cari abang ojek, atau sekalian order makanan online aja. Gak tahan panasnya Jakarta membara.

Kamu, suka jalan kakikah?

xoxo,
Tjetje

Diaspora Tanpa Modal

Menjadi pelaku perkawinan campur itu sungguh penuh dengan tantangan. Mau di negeri sendiri atau bahkan di negeri orang lain, kami sering kali dicela karena pilihan hidupnya. Tak jarang bahkan kami digeneralisasi dengan aneka label-label negatif. Pada saat yang sama, hidup sebagai diaspora pelaku kawin campur itu juga dilihat sebagai hidup yang glamor, penuh kemewahan dan tentunya kemudahan.

Sungguh mudah, sampai-sampai pelaku kawin campur itu disebut-sebut sebagai diaspora jalur VIP, tanpa modal, atau bahkan disebut dengan sebutan negatif sebagai diaspora yang hanya bermodalkan anggota tubuh. Saya nggak sanggup kalau disuruh menulis ulang bagian ini, karena kejam. Sungguh kejam.

Salah satu celaan yang pernah saya ulas di X adalah tweet di bawah ini. Tweet menanggapi kasus salah satu diaspora yang dianggap tak mau berbagi kesempatan dengan orang lain, tapi kemudian menggeneralisasi diaspora secara umum. Bagi saya, generalisasi ini sangat problematik.

Modal bahasa

Menjadi diaspora itu tak ujug-ujug pindahan tanpa modal sama sekali. Salah satu kemampuan paling dasar yang harus dimiliki oleh diaspora yang pindah ke negara lain itu adalah kemampuan bahasa. Seperti kita semua tahu, mempelajari bahasa asing, entah itu bahasa Inggris, Melayu, Tetum, atau bahasa asing lainnya yang bahkan menggunakan alphabet non-Roman, seperti, Jepang, Rusia, Korea, memerlukan otak.

Aturan kemampuan bahasa di tiap negara berbeda-beda, tapi tak jarang kemampuan bahasa ini harus ada pada level tertentu. Ketidakmampuan menggunakan bahasa pada level yang ditentukan pemerintah negara tujuan bisa berdampak pada sulitnya mendapatkan ijin tinggal atau bahkan visa. Padahal, belajar bahasa itu perlu waktu, tak mudah, sementara otak dipaksa cepat-cepat menangkap ilmu baru supaya ijin tinggal bisa segera diproses.

Ambil contoh sederhana, saya. Visa saya ke Irlandia tak bergantung pada kemampuan bahasa Inggris saya. Tapi saya yang sudah bisa berbahasa Inggris sejak piyik menyiapkan diri dengan mengambil kursus IELTS serta ujian IELTS. Kilat, pakai modal bayar kursus, waktu serta otak. Begitu sampai Irlandia, buyar semua kemampuan bahasa Inggris saya. Di Irlandia, mereka menggunakan bahasa Inggris Hiberno.

Kosakata tak sama dengan American English yang saya pelajari seumur hidup saya, aksen dari satu kota ke kota lainnya tak sama. Otak saya tiba-tiba diperas untuk bisa segera mencerna Hiberno Inggris yang saya sama sekali tak familiar. Sampai satu dekade kemudian, saya masih terus-menerus belajar kosakata baru.

Oh ya, di Irlandia penulis tweet di atas itu bisa dipanggil GOBSHITE ataupun EEJIT!

Modal keterampilan

Komentar soal keterampilan atau skills ini menggambarkan betapa penulis tweet ini asal nyablak tanpa memahami kondisi lingkungan kerja di banyak negara di luar negeri. Ambil contoh saya sendiri, beberapa bulan pertama saya tinggal di sini, saya gak bisa mendapatkan pekerjaan. Padahal, pengalaman kerja saya tak buruk-buruk amat.

Tapi tunggu dulu, bersaing di luar negeri itu tak mudah. Prioritas pekerjaan di sini itu lebih banyak diberikan pada orang-orang lokal dan orang Eropa. Diaspora macam saya seringkali tak ditengok, apalagi karena pengalaman saya semuanya di Asia dan dianggap tak relevan dengan Eropa.

Saya tak sendirian, banyak diaspora yang punya pengalaman bagus dan skill harus menjalani pekerjaan yang tak sesuai dengan skill mereka. Makanya jangan heran kalau ada konten kreator yang sekolah S2 tapi kerjanya bersih-bersih di luar negeri.

Pekerjaan yang tak memerlukan banyak keterampilan ini seringkali tak dimaui oleh orang lokal dan menjadi pekerjaan yang paling mudah didapatkan oleh pendatang. Gak perlu makan gengsi juga karena pekerjaan ini memberikan gaji yang layak, bahkan tak jarang sama dengan pekerja kantoran, karena di sini banyak pekerja kantoran yang gajinya UMR.

Banyak orang yang kemudian lebih betah untuk tetap bekerja di area kerah biru, karena kerjanya lebih santai. Patut dicatat, di sini kerjaan tak mendefinisikan manusia dan kita tak perlu jadi manajer untuk bisa membuktikan diri jadi orang sukses. Jadi tukang bersih-bersih WC kalau happy jauh lebih menyenangkan ketimbang jadi manajer yang tiap hari olahraga jantung ngurusin masalah perusahaan.

Kalaupun ada diaspora yang tak memiliki skill (karena alasan apapun yang kita tak perlu tahu dan ngurusi) pemerintah di negara-negara maju banyak memberikan program-program gratis untuk menambah keterampilan. Tujuannya sederhana, supaya supaya orang-orang ini bisa maju dan kemudian berkontribusi membayar pajak. Tapi balik lagi ke individu masing-masing dan kondisi hidup mereka, karena tak semua orang mau ataupun mampu untuk membangun karir. Ada banyak yang memilih untuk menjadi ibu rumah tangga atau bekerja paruh waktu, dan ini bukan pilihan yang salah. Nah mbok pikir ngatur rumah tangga itu gak pakai skill?

Penutup

Menjadi diaspora itu tak selalu mudah. Di balik foto-foto indah di luar negeri, ada banyak tantangan yang harus dihadapi diaspora. Gak elok rasanya kalau kemudian kami yang berjuang memeras otak untuk bisa nyaman di rumah baru kami dituduh dengan semena-mena tak bermodalkan otak.

Semenjak munculnya #KaburAjaDulu, banyak pengguna media sosial yang tak mengerti tantangan hidup di luar negeri kemudian asal nyablak, membuka mulut dan memberikan opini tentang kehidupan kami tanpa tahu realitanya bagaimana. Seringkali orang-orang model begini justru tak pernah menjejakkan kaki di luar. Kalau sudah begini, saya cuma bisa bilang: kalau ngomong itu mbok ya pakai otak, asah dulu keterampilannya menulis, supaya tweet bisa bermutu dan menggambarkan realita sesungguhnya. Dasar gobshite!

xoxo,
Tjetje