Menjenguk Ronan Keating di Dublin

Ketika saya dan mas G menyusuri Dame Street sambil kekenyangan abis makan-makanan Asia (mendadak rindu makanan pedas, padahal gak doyan pedas) kami tak sengaja menemukan National Wax Museum yang di kota lain, dikenal sebagai Madame Tussaud. Biasanya, saya tak pernah tertarik melihat lilin-lilin mengerikan yang jauh dari mirip dengan pemilik wajah aslinya, tapi kemarin, saya tergoda untuk merogoh kocek 12 Euro *oh godaan yang mahal* dan pergi sendirian.

Museum ini sendiri terletak tak jauh dari kampus Trinity, pesonanya tertutup Starbucks dan deretan taksi yang lagi antri menunggu penumpang. Dengan harga segitu mahalnya, pengunjung dipersilahkan masuk sendiri-sendiri tanpa guide. Jika ingin mendengarkan penjelasan, tinggal baca atau pencet-pencet tombol khusus. Begitu tombol dipencet yang keluar suara berat yang menurut saya tak menenangkan hati, tapi malah semakin melengkapi kengerian lilin-lilin ini. 

Begitu masuk saya disambut oleh deretan penulis-penulis Irlandia yang saya tak kenal namanya. Guilty, saya emang jarang baca literatur. Satu-satunya penulis yang saya tahu cuma Samuel Beckett, penulis Waiting for the Godot. 

 beckett

Di bagian basement museum ini saya bertemu dengan St. Patrick. St. Patrick ini ngetop banget dan ada Katedralnya. Beberapa hari lalu saya sempat sok-sokan nyari Katedral ini dengan GPS handphone, hasilnya nyasar ke rumah susun *eh di negara maju ada rumah susun juga lho*. St. Patrick juga dirayakan besar-besaran di Irlandia (dan di negara lain) setiap tanggal 17 Maret. Kapan-kapan saya cerita tentang perayaannya ya.

patrick

Walaupun mengerikan, museum ini juga memberi cerita tentang sejarah Irlandia serta tokoh-tokoh pentingnya. Sejarah negeri tersebut dikemas secara menarik, walaupun dihiasi patung-patung yang mengerikan. 

Konon katanya nggak lengkap ke Wax Museum kalau gak ada ruang hantunya. Makanya, di basement ini ada Chamber of Ghost. Saya yang aslinya gak penakut mendadak takut. Gimana gak takut kalau ruangan ini ada di lantai paling dasar, kalau hantunya mendadak iseng jahil kan larinya harus naik tangga. Sementara dengan badan saya ini tak mudah untuk bisa lari cepat, ditambah jaket musim dingin, naik tangga gak bakalan mudah. Tak hanya itu, basement ini juga remang-remang, persis warung kopi di Pantura. Bedanya, disini tak ada orang apalagi supir truk dan mbak-mbak penyaji kopi, alias sepi banget. Lorongnya pun kecil banget, jadi kalau mau lari-lari zig-zag menghindari hantu bakalan susah. Ribet kan, mau masuk ruang hantu aja pakai dianalisa. 

Dan saya yang cerdas ini pun menanti turis lain untuk masuk bersamaan. Kirain kalau masuk sama bule bakalan berani, tapi ternyata turis Spanyol itu pun lari ketakutan, sambil teriak. Sementara saya, jaga image, jalan pelan-pelan sambil ngumpat-ngumpat. 

ghost

Museum ini tak hanya punya hantu, tapi juga punya alat-alat peraga science yang didedikasikan untuk para Ilmuwan Irlandia. Ternyata yang menciptakan lampu tanpa baterai di sepeda-sepeda, alat seismographic atau apalah buat ngukur gempa adalah orang Irlandia. Ruangan ini membuat saya yang seorang social scientist berasa bego. Bahkan lihat anatomi tubuh di bawah ini saya cuma ngerti beberapa hal aja.

science

Anak-anak juga dimanjakan dengan patung lilin kartun, dari Bart Simpson hingga versi muda Harry Potter. Bedanya, patung-patung lilin untuk anak-anak terlihat lebih manusiawi dan tak menyeramkan. Sama seperti di Chester Beatty Library, di berbagai sudut ruang terdapat meja-meja kecil untuk mewarnai dan menggambar. *aduh sumpah iri deh, hal kecil seperti ini diperhatikan banget.*

Di sudut ruang anak-anak juga terdapat Santa yang sedang tidur. Berhubung Santa lagi tidur, pengunjung pun meninggalkan surat yang berisi permohonan. Saya iseng membaca-baca permintaan orang dan ada satu mbak-mbak yang ingin tinggal di Irlandia selamanya. Mbak, serius mbak, betah apa sama hujannya Irlandia. Eh ternyata begitu dibaca, si Mbak dari Rusia. Pantesan, dia sudah bosan dengan salju dan pastinya belum pernah ke Indonesia yang kaya matahari. Saya sendiri minta jodoh untuk dua orang sahabat saya. Kalau tak dikabulkan, mungkin saya harus kembali bawa air satu ember untuk membangunkan Santa supaya bangun dari siestanya untuk mencari jodoh bagi teman-teman saya.

popes

Pope John Paul yang datang ke Phoenix Park di Irlandia dan membuat 1/3 populasi Irlandia datang. Konon saat kedatangan Pope John Paul ke Irlandia di tahun 1979, banyak anak-anak yang diberi nama John Paul.

Bagian terakhir dari museum ini adalah artis-artis, ada mas Ronan Keating, Jedwards (yang saya tak kenal, tapi difoto juga), Michael Jackson, Madonna dan tak ketinggalan Bono, kebanggaan Irlandia. Sayang One Direction, yang salah satu personelnya orang Irlandia, belum ada di Museum ini. Dan inilah hasil selfie saya dengan salah satu pria kebanggaan Irlandia, Ronan Keating:

keating

Ronan Keating kebanyakan pakai pemutih.

Kira-kira, kalau Indonesia bikin museum lilin gini, siapa aja yang pantas dimasukkan ya?

xx,
Tjetje
Advertisement

Melihat Koleksi Al-Qur’an di Chester Beatty Library

Terletak di belakang Dublin Castle, museum ini dinobatkan sebagai salah satu museum terbaik di Eropa. Tak heran jika Chester Beatty yang dinamakan dari nama sang kolektor penyimpan benda-benda di museum ini dinobatkan menjadi yang terbaik. Berikut cerita saya menyusuri satu-persatu koleksi museum yang digratiskan ini.

Membawa tas masuk ke dalam museum tak diperkenankan, sehingga kami harus menitipkan tas ke dalam loker. Awalnya, saya dan pasangan berkutat selama beberapa menit untuk mengunci loker ini, yang ternyata baru bisa dikunci jika kami meninggalkan deposit 1 Euro. Kenorakan kami ini sebaiknya tidak ditiru jika kalian berkesempatan menengok museum ini.

Koleksi di dalam museum ini merupakan hasil perburuan Sir Alfred Chester Beatty, pengusaha tambang yang juga warga negara kehormatan Irlandia yang pertama. Bapak kaya raya ini punya hobi unik mengumpulkan aneka rupa barang-barang bersejarah dari aneka sudut dunia. Nggak main-main, beliau juga mempekerjakan Kurator dari Museum di Perancis dan Inggris untuk membantu memilih “belanjaannya”.

Koleksinya beraneka rupa, tapi bagi saya highlight dari museum ini adalah koleksi aneka rupa Qur’an kuno dari berbagai wilayah. Konon koleksi Qur’an di Museum ini adalah yang terbanyak di luar Timur Tengah. Bahkan, ada juga Qur’an bergambar warna-warni, sangatlah cantik. Pewarnaan dari Qur’an ini juga menggunakan aneka macam batu berharga, seperti batu malachite untuk warna warna hijau), emas, perak dan batu-batu berharga lainnya. Rupanya, memberikan gambar pada Qur’an merupakan hal-hal yang dianggap tabu bagi agama Islam. Selain mengkoleksi Qur’an, ada aneka rupa koleksi dari berbagai agama lain, termasuk Sikh, Hindu, Budha dan juga Jainism. Ada juga aneka rupa koleksi bible. Saya bahkan menemukan sebuah lonceng/ genta dari Dalai Lama yang diberikan kepada Chester Beatty.

Jejak Indonesia sendiri bisa ditemukan pada sebuah sudut khusus yang memajang aneka rupa manuscript dari Batak. Selain itu, ada juga sebuah lukisan barathayuda dari Jawa yang konon dari tahun 1930an. Perasaan saya senang dan bercampur aduk ketika melihat jejak nusantara ini, di satu sisi karena barang-barang tersebut sangat terjaga, tetapi di sisi lain gemas karena barang tersebut berakhir di negara lain.

Banyak koleksi-koleksi lain yang menarik di museum ini, termasuk aneka rupa snuff bottle, botol kecil untuk menyimpan tembakau. Pada jamannya dulu, merokok rupanya tidak diperkenankan, sehingga orang-orang China menyimpan bubuk tembakau untuk dihirup. Botol-botol mungkin ini diukir dengan indahnya dan ukurannya sangatlah mungil.

snuff bottles

Photo: cbl.ie

Pada saat saya mengunjungi museum ini, ada pameran Costumes Parisien, pameran fashion plates dari tahun 1912-1914. Rupanya jaman dulu tante-tante Paris itu kalau ganti baju tiga sampai empat kali dan bajunya cakep-cakep. Tak hanya pakaian, tapi juga dipamerkan kipas raksasa berbahan bulu (yang saya lupa nama hewannya), saking gedenya kipas ini nampaknya harus dibawakan oleh orang lain. Konon istrinya Beatty ini juga suka belanja baju, kalau disamakan dengan dollar hari ini, si istri biasanya menghabiskan 21,000 dollar untuk belanja baju aja. Halah Tante, kalau jaman sekarang mah uang segitu cuma cukup buat beli sebiji tas di Hermes. Menariknya, pameran-pameran di Museum ini berganti tema setiap saat, karena banyaknya barang yang dikoleksi oleh Chester Beatty.

Museum gratisan ini tak main-main dalam menyediakan fasilitas. Pintu-pintu otomatis bahkan dilengkapi dengan tombol khusus bagi penyandang disabilitas yang duduk di kursi roda. Saya juga menemukan sudut dimana keluarga bisa duduk dan menggambar. Saya bahkan menemukan sepasang orang dewasa yang sibuk menggambar dan mewarnai di kartu sebesar kartu pos. Di lantai bawah museum ini juga disediakan coffee shop serta toko suvenir yang menjual pernak-pernik yang terinspirasi dari koleksi Cheaster Beatty.

Di bagian atas museum ini terdapat roof top garden, yang sayangnya pada hari itu tak dibuka karena alasan keselamatan. Beberapa hari ini di Irlandia memang hujan rintik-rintik tapi awet diwarnai dengan angin kencang (yang suaranya bikin gak bisa tidur). Dan saya pun semakin takjub lagi karena alasan keamanan supaya orang tak terpleset pintu pun ditutup.

Museum ini jadi mengingatkan saya pada Museum di Tengah Kebun di Kemang. Museum tersebut merupakan kediaman pribadi seorang Bapak yang doyan koleksi benda-benda antik. Salah satu koleksinya yang melekat di kepala saya adalah patung Budha Bule, dan juga kursinya Henry VIII yang sangat kecil.

Di akhir kunjungan, saya pun hanya bisa terpukau karena hobi belanja Chester Beatty, yang sangat berguna bagi generasi selanjutnya. Silahkan tengok disini untuk melihat informasi lebih lanjut tentang museum ini.

Xx,
Ailtje

[Irlandia] Negeri Hujan nan Hijau

Setelah menempuh perjalanan panjang, saya akhirnya tiba juga di Dublin. Yang menarik, begitu mendarat di Dublin tak ada petugas bea cukai yang menyapa saya, nampaknya semua petugas belum bertugas. Hanya ada hawa sedingin 3° yang menyambut saya. Kendati sudah pernah tinggal di negeri empat musim, saya masih tak profesional untuk urusan dingin. Hari itu saya sukses tiba dengan badan menggelembung karena banyaknya lapisan pakaian yang menempel di tubuh, lengkap dengan penutup telinga untuk melindungi telinga dari angin semriwing yang cukup dingin.

image

Seperti kebanyakan orang Indonesia lainnya, kesan pertama saya tentang Irlandia adalah mahal. Indonesia banget kan? Ongkos taksi dari airpor yang mencapai 38 Euro bikin saya hampir pingsan *lebay*. Kebiasan buruk ketika menjejak di negeri orang memang mengkonversi berapa harga jasa untuk kemudian dibandingkan dengan layanan taksi di Indonesia. Kebiasaan ini membahayakan apalagi ketika rupiah jatuh terpuruk tak berharga. Tentunya ini kebiasaan buruk yang harus dihilangkan.

Kesan kedua saya tentang Irlandia adalah hijau. Pagi saya disambut pemandangan yang cantik dengan matahari bersinar (jangan dibayangkan matahari itu sehangat matahari di Indonesia, bagi saya matahari itu hanya aksesoris tanpa efek apa-apa). Pagi itu banyak orang lari pagi. Anjing-anjing pun tak mau kalah berlarian dengan riang gembira. Serunya, di sungai itu banyak bebek liar. Dan lagi-lagi, saya tak pernah gagal  terpukau dengan bebek-bebek liar di ruang publik. Sungguh negeri yang cantik.

Kebiasaan membandingkan pun muncul lagi, kali ini saya membandingkan pemandangan ini dengan Jakarta. Pagi hari di Jakarta biasanya diwarnai dengan suara klakson, deretan kemacetan dan tentunya kemacetan luar biasa. Jangan bayangkan pula ada anjing-anjing yang berlarian kalau tak mau ditangkap orang untuk dijadikan santapan. Yang menyedihkan, apartemen seharga 3000 dollar pun di Jakarta tak akan bisa menawarkan pemandangan hijau. Begitu melihat keluar jendela, yang ada hanya hutan beton. Kalaupun ada pemandangan ‘cantik’ biasanya hanya kolam renang atau gunung yang baru muncul ketika tidak tertutup polusi. Kalau sudah begitu, siapa yang tahan buka jendela. Yang ada tutup jendela, nyalain TV untuk nonton sampahtainment.

image

Pemandangan dari jendela apartemen di kawasan Milltown Dublin

Soal pakaian musim dingin, saya yang novice ini kena batunya ketika harus bertemu calon mertua. Saya membawa jaket berwarna merah muda ngejreng yang saya padukan dengan boots berhak tinggi. Ternyata, keliling-keliling kota dengan hak tinggi hanya bisa bertahan selama beberapa jam. Kaki saya langsung teriak minta ganti sepatu, hore ada alasan untuk belanja sepatu. Begitu masuk toko sepatu, saya langsung kaget ketika sepatu biasa-biasa saja *cenderung jelek* dihargai dengan harga yang sama dengan sepatu bagus di Indonesia. Ternyata, barang-barang di Irlandia memang mahal, karena mereka menerapkan pajak yang lebih tinggi. Barang-barang dengan merek serupa pun bisa didapatkan dengan harga yang jauh lebih murah di Jakarta. Dengan pengembalian pajak pun masih lebih murah dari Jakarta. Wah kalau begini buyar sudah rencana belanja hura-hura macam anggota DPR.

Kembali ke jaket pink saya, begitu tiba di rumah mertua yang dekat dengan bukit, saya kedinginan tak karuan. Rupanya, jaket saya yang centil itu tak cocok untuk musim dingin. Kata mertua, jaket itu untuk summer. Saya pun makin shock ketika tahu harus mengenakan jaket saat musim panas. Lha ini negara apaan kok musim panas harus pakai jaket, bukannya jalan-jalan pakai bikini?

Ternyata Irlandia ini negeri hujan. Kalau dalam setahun kalender ada 365 hari, maka hujan pun mengguyur Irlandia selama 365 hari. Otomatis kemana-mana harus bawa payung, malah seringkali harus beli payung lagi karena payung jebol kena angin! Saking seringnya hujan, orang Irlandia jago melihat pergerakan awan dan memperkirakan datangnya hujan dalam hitungan menit ataupun jam. Kalau awan terlihat akan datang dengan hujan, kaki saya harus segera melangkah dengan cepat. Minggir menghindari hujan.

seasons in ireland

Saking seringnya hujan, ketika matahari bersinar pun akan hujan. Saya suka banget dengan sun shower, bukan dengan hujannya, tapi pelangi yang muncul bersamanya. Munculnya pelangi bagi saya adalah hadiah yang indah karena jarang terlihat di Jakarta. Orang Irlandia percaya bahwa konon di ujung pelangi terdapat pot of gold. Lha tapi ujungnya pelangi ada di mana?

Tak heran dengan hawa seperti ini, orang Irlandia doyan banget minum teh. Air putih kran yang gratis itu nggak laku karena semua orang ngeteh untuk menghangatkan badan. Sarapan minum teh, nyapu dikit minum teh, duduk nonton TV minum teh, nanti bertamu ke rumah orang minum teh lagi. Minum teh sehari di Irlandia bisa lebih dari lima kali, jadi jangan heran kalau banyak gigi orang tua berwarna coklat karena kebanyakan minum teh. Tradisi minum teh juga dilangsungkan ketika jalan-jalan, untuk menghangatkan tubuh. Banyak cafe shop yang menjual teh atau kopi ditemani dengan kue-kue manis. Secangkir teh sendiri di sini dihargai kurang dari 2 Euro. Yah kalau harga teh aja mah sama dengan harga ngeteh dan ngopi di Jakarta.

Pembicaraan tentang cuaca juga menjadi topik pembicaraan penting dalam kehidupan sehari-hari orang Irlandia. Ngobrol-ngobrol dengan orang yang nggak kita kenal itu biasa (dan mereka sangat ramah dan doyan bicara dengan orang tak dikenal) biasanya tak jauh dari cuaca. Dari satu orang yang tak dikenal saya pun belajar bagaimana mencintai hujan, terutama ketika kehujanan. “Ah aku nggak terbuat dari gula, jadi nggak akan meleleh kena hujan. No harm done.”

xx,
Tjetje

Cerita dari Irlandia lainnya: Mencicipi Guinness di Ketinggian